UNGU BUNGA UBI


Cerpen ini pernah dimuat majalah Femina, edisinya lupa dan dokumennya tidak punya, jadi gambarnya yang ini gapapa ya.
Ingin baca cerpen ini dalam bahasa Sunda? Klik saja DI SINI


Tempat paling terkenal di kampung saya adalah Tanjakan Panjang. Jalan sepanjang hampir dua kilo meter itu memang menanjak, tanpa diselingi oleh datar sedikit pun. Jangankan pejalan kaki, rombongan sepeda gunung yang biasanya hari Sabtu-Minggu menjajal kekuatannya, selalu diselingi oleh istirahat. Mereka membuka perbekalannya, atau sekedar minum seteguk dua teguk air.
Istirahat di sepanjang Tanjakan Panjang itu memang menyenangkan. Jalannya sendiri termasuk lebar untuk ukuran jalan kampung, sekitar empat meter. Sekitar tiga tahun yang lalu, menjelang pemilu, sepanjang Tanjakan Panjang diaspal. Pinggir sebelah kanan penuh dengan pepohonan besar. Rumpun-rumpun bambu, sengon, suren, dan di puncaknya ada pohon bungur yang tinggi dan rimbun. Penduduk dari kampung-kampung sekitar Tanjakan Panjang itu membuat bangku-bangku bambu di beberapa tempat. Pinggir sebelah kiri berbatasan langsung dengan kebun-kebun penduduk. Pepohonan besar sengaja ditanam di dekat saung untuk berteduh. Selebihnya, semua kebun sepanjang Tanjakan Panjang itu ditanami ubi. Di kampung saya, ubi tidak pernah ada musimnya, karena setiap waktu adalah musim ubi.
Kampung saya, Ciwening, ada di kaki gunung Beser. Curah hujan hampir turun setiap bulan. Meski kemarau tiba, beberapa hari selalu diselingi oleh gerimis. Karenanya Ciwening seperti kampung yang selalu menangis. Pagi embun turun membalut dedaunan, menghalangi matahari yang terasa hangat di kulit yang keriput kedinginan. Menjelang senja matahari seperti sudah jatuh menyentuh pegunungan. Bila gerimis turun, suasana murung itu seperti menempel di wajah Ciwening.
Ah, tapi mungkin suasana murung itu hanya perasaan saya saja. Perasaan saya saat suatu pagi menuruni Tanjakan Panjang diantar Bapak. Saya membawa tas ransel dan menjinjing kantong plastik besar. Bapak memikul karung berisi ubi. Bapak akan mengantar saya ke pinggir jalan raya, menyetop kendaraan yang akan membawa saya ke stasiun kereta api, kereta api yang akan membawa saya ke Bandung.
Di sebuah undakan saya berhenti. Bukan kelelahan karena bila turun biasanya tidak pernah beristirahat. Tapi karena para petani sudah banyak di kebun. Bunga-bunga ubi bermunculan di mana-mana, ungu kecil, menjadi hiasan indah saat tersinari matahari. Anak-anak balita yang ikut kepada orang tuanya berlarian ketika melihat saya.
“Teh Nining, mau ke mana, Teh?” tanya mereka. “Kapan pulangnya? Bawa oleh-oleh, ya? Buku dongeng lagi, ya, dongeng yang rame.”
Saya mengangguk. Anak-anak itu menghampiri, mengelilingi saya, ingin dipeluk semuanya.
“Semoga berhasil, Neng. Ibi mah hanya bisa berdoa buat Neng,” kata Bi Inem mewakili yang lainnya. Bi Karti, Ceu Mumun, Kang Rukman, Mang Ema, mengangguk ketika saya menyalaminya. Semuanya seperti yang tidak mau bicara. Sama mungkin seperti saya. Kalau bicara takut yang turun bukan gerimis, tapi menangis.
Pagi itu saya pergi meninggalkan Ciwening yang ngungun dengan perasaan yang sama. Hanya bunga ubi yang ungu, yang bermunculan di sepanjang kebun, yang mengobati hati ini. Keceriaan itu, keindahan itu, semangat itu, masih ada menempel di ungu bunga ubi.
**            
Kaki gunung Beser seperti yang dikutuk oleh pemandangan indah dan kesuburannya. Air yang dikeluarkan gunung Beser seperti tidak ada habisnya. Air bening, bersih, dan besar. Beser sendiri artinya kencing terus menerus. Udara segar. Pemandangan membuat orang betah berlama-lama memandangnya.
Waktu kecil saya merasakan pemandangan indah dan tanah subur itu adalah berkah. Bermain di Ciwening seperti tidak pernah ada bosannya. Berburu burung puyuh, sosorodotan dengan upih jambe, merias diri dengan bunga ubi dan bunga rumput, berenang di sungai kecil yang berair bening, memancing ikan-ikan kecil di mataair, membuat rumah pohon, membuat kue-kue dari tanah dan daun-daunan.
Tapi sepulang sekolah dari kota, selama enam tahun, SMP dan SMK, saya merasa keindahan dan kesuburan gunung Beser adalah kutukan. Kebun-kebun ubi, singkong, rumput-rumput gajah, memang masih luas. Tapi saya merasa tidak bebas bergerak di kampung sendiri.
Ke mana pun kaki melangkah, tanah-tanah sudah dipatok, dipagar tembok atau kawat. Karena tanah-tanah itu sudah dibeli oleh orang-orang kota dari Jakarta, Bandung, dan beberapa orang dari kota lainnya. Tanah yang dulunya hanya berharga tiga ratus ribu rupiah per bata (satu bata  = 14 meter per segi), hanya dalam enam tahun sudah seharga dua juta rupiah per bata.
Para petani yang tadinya menggarap tanah sendiri, setelah tanahnya dijual kemudian jadi petani penggarap. Uang yang mereka dapatkan dipakai biaya anak-cucu mereka bekerja ke kota atau ke luar negeri. Beberapa tempat kemudian dibuat tempat wisata. Penginapan, outbond, playing fox, kolam renang, pemancingan, berkuda. Di tempat lain ada perusahaan air mineral.
Sebagian anak muda di kampung-kampung sekitar gunung Beser memang bekerja di tempat wisata dan perusahaan air mineral itu. Tapi hanya beberapa orang saja. Karena kebanyakan anak di sini, setelah lulus SD langsung ke kebun. Bosan berkebun mereka bekerja di kota atau luar negeri. Untuk ongkos ke kota dan luar negeri itulah kebanyakan kebun dijual.
Sebagai anak Ciwening saya merasa terpanggil untuk memberikan perbaikan. Saya merasa kebodohan adalah awal dari malapetaka itu. Memang saya hanya sekolah sampai SMK, tapi rasanya saya bisa menerima pelajaran apapun. Karenanya saya membuat Taman Kanak-Kanak, mengajar baca-tulis para petani yang buta huruf, menghimpun ibu-ibu untuk belajar membuat keripik, keremes, dodol, dan penganan lainnya untuk memanfaatkan limbah kebun. Saya biasa bekerja sama dengan pemerintah desa, instansi yang mengadakan bimbingan masyarakat, LSM, atau grup mahasiswa; untuk membuat program-program pedesaan.
Itu semua tentunya dibantu oleh teman-teman. Terutama oleh Kang Dadang, ketua Karang Taruna, yang berkesempatan bisa sekolah di perguruan tinggi. Kang Dadang adalah anak mantan kepala desa. Kebunnya luas, kekayaannya melimpah. Saya tidak pernah lelah dan kehabisan ide untuk memberi kebaikan bagi Ciwening dan kampung di sekitarnya. Apalagi saat Kang Dadang dan keluarganya datang ke rumah, melamar saya. Bapak, Ema, kerabat dan tetangga saya menyambut. Mereka bergembira. 
Tapi entah kenapa suatu hari utusan keluarga Kang Dadang datang memutuskan pertunangan. Bapak, Ema, kerabat dan tetangga yang sudah menyiapkan segalanya tentu kecewa. Apalagi saya yang menjadi tokoh utama. Sang utusan itu tidak menerangkan secara jelas apa penyebab putusnya pertunangan itu. Dua minggu kemudian Kang Dadang diwisuda, dan seminggu kemudian ada kabar bertunangan dengan anak pengusaha air mineral. Kata kabar burung, sudah begitu pantasnya, orang kaya berjodoh dengan orang kaya lagi. Sementara saya hanya orang miskin yang bernasib mujur bisa sekolah sampai SMK dan kebetulan dihormati karena membimbing masyarakat untuk banyak kegiatan.
Begitulah awalnya sehingga saya di hadapan Bapak dan Ema mengungkapkan keinginan yang tidak pernah terbayangkan. “Nining ingin bekerja ke luar negeri, Pak, Ma, seperti Teh Isoh, Teh Marni, Teh Dedeh, Kang Darman,” kata saya. Bapak terpana. Ema memeluk saya, mengusap-usap rambut saya. Besoknya, selepas sholat subuh, Bapak menghampiri saya. “Bapak masih punya tanah seluas tiga puluh lima bata, tanah di pinggir Tanjakan Panjang. Minggu lalu sudah ada yang menawar lima puluh juta rupiah.”
Saya tahu, itulah tanah terakhir yang dipunyai Bapak.
**
Bekerja di luar negeri ternyata tidak segampang yang diperkirakan. Ada daftar tunggu, latihan keterampilan, kursus bahasa, yang mesti diselesaikan. Bagi saya yang pikiran dan perasaannya sedang tidak menentu, tentu saja tahapan itu sangat berat. Waktu berjalan begitu lambat, seperti siput yang tidak ketahuan kapan majunya.
Tapi daftar tunggu dan kursus-kursus itu juga yang menyelamatkan saya. Selama di Bandung saya tinggal di rumah Bi Karsih, adik Bapak yang sudah belasan tahun merantau. Bi Karsih dan Mang Asip tinggal di Cicadas, di rumah-rumah petak yang padat. Untuk mengisi waktu, selain kursus-kursus di agen tenaga kerja, saya bekerja di sebuah warnet. Sambil menunggu para pemakai internet, saya pun belajar membuat email, bergaul di facebook, tweeter, belajar membuat blog, surfing ke web-web yang ingin saya ketahui. Tidak terasa, hampir enam bulan saya bekerja di warnet sambil melakukan kursus-kursus persiapan itu. Saat itulah ide itu melintas.
“Saya mau pulang besok, Bi, Mang,” kata saya malam harinya. “Mungkin saya tidak akan jadi bekerja di Arabsaudi. Saya akan bekerja di Ciwening saja. Terima kasih telah menampung saya selama ini.”
Bi Karsih dan Mang Asip awalnya banyak bertanya. Tapi setelah saya terangkan, saya ingin menjual potensi Ciwening dan kampung-kampung di seputarnya ke pasar internasional, mereka mengangguk dan mendukung. “Ciwening dan kampung lainnya punya potensi yang sangat besar, Bi, Mang. Dan kita harus mandiri untuk menjualnya. Kita jual hasil kebun kita, hasil keterampilan kita, bukan harga diri kita,” kata saya.
“Ibi dan Amang juga sebenarnya sudah lama ingin pulang, Neng. Kerja di kota belasan tahun, hasilnya hanya bisa membayar kontrakan sebesar ini,” kata Bi Karsih. “Ibi tidak mengerti apa yang Neng katakan, tapi Ibi berdoa semoga yang Neng cita-citakan tercapai.” Saya memeluk Bi Karsih.
Semalaman saya tidak bisa tidur. Yang terbayang adalah hamparan kebun ubi, bunga-bunga ungu yang bermunculan di antara kabut yang semakin menipis. Pagi yang indah, khas pemandangan Ciwening. Matahari tidak saja memberi kehangatan, tapi juga pemandangan menakjubkan ketika butiran embun yang menggantung di ujung rumput bercahaya berkelap-kelip.
Di hati saya, Ciwening adalah potensi yang tidak terbatas. Ubi yang dihasilkannya ternyata tidak saja terkenal di kota-kota besar negeri ini, tapi juga ke mancanegara. Rasanya yang manis, legit, tidak bisa dihasilkan di wilayah mana pun di seluruh dunia. Berbagai penelitian sudah dilakukan, berbagai percobaan dilakukan, tapi hanya ubi yang ditanam di Ciwening yang rasanya semanis dan selegit itu.
Tentu itu adalah modal untuk masuk ke pasar internasional. Apalagi kalau pasar tahu, petani Ciwening lebih percaya kepada pupuk kandang dan kompos buatan daripada pupuk kimia. Seandainya pasar tahu penganan dari ubi Ciwening seperti keripik, keremes, dodol, minim penggunaan gula dan bumbu, karena ubinya sendiri sudah mempunyai rasa manis yang khas. Selama ini, ubi-ubi kecil hanya jadi limbah kebun atau makanan ternak.
Kekayaan Ciwening seperti itulah yang ingin saya tawarkan ke pasar internasional. Saya pernah iseng kontak-kontak dengan kenalan di beberapa negara Erofa, ada yang pernah mengenal ubi Ciwening saat berlibur ke Bali. Mereka antusias untuk mencoba memasarkan ubi dan penganan lainnya yang contohnya akan saya kirim.
Bapak, Ema, tetangga dan saudara lainnya berdatangan ketika saya pulang. Saat semua tamu sudah pulang, Bapak memandang saya. “Kapan Bapak harus melepaskan kebun kita itu?” tanyanya, pelan seperti yang enggan mengucapkannya. Saya memeluknya, mencium tangannya.
“Tidak apa, karena sudah seharusnya begitu,” kata Bapak sambil mengusap-usap rambut saya. “Sudah waktunya kamu memikirkan diri sendiri, Neng. Ciwening akan kehilangan, tapi kehendak alam tidak bisa ditentang.”
“Nining akan bekerja di sini, Pak. Nining akan belajar banyak hal, bersama Ciwening, bersama semua warga Ciwening. Nining hanya perlu komputer buat modalnya.”
Ema merangkul, memeluk, dan menangisi saya. “Kamu tidak jadi pergi ke luar negeri, Neng?” katanya. “Ema juga tidak rela melepasmu.”
“Suatu waktu saya akan pergi, Ma, ke luar negeri. Tapi bukan sebagai babu, pembantu rumah tangga. Saya akan pergi sebagai pedagang. Atau mengantar adik-adik saya, anak-anak Ciwening, belajar di sekolah-sekolah di sana.”
Ema tersenyum. Air bening membasahi mata dan pipinya.
“Ema tidak mengerti apa yang Neng katakan. Tapi Ema melihat keindahan di matamu.”
****       


Saung = gubuk
Rame = seru
Neng = panggilan terhadap perempuan yang lebih muda
Sosorodotan = perosotan
Upih jambe = pelepah pohon jambe
Bi (bibi, atau ibi) = tante


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "UNGU BUNGA UBI"

Posting Komentar