Ambilkan Bulan, Bu 1


SATU

ambilkan bulan, Bu
ambilkan bulan, Bu
yang bersinar terang di langit
untuk menemani tidurku
di malam gelap

ANAK usia enam tahun itu menyanyi sambil memandang bulan. Ibunya yang duduk di sebelahnya, membelai dan mendekapnya. Taman di belakang rumah mungil itu begitu lengang. Angin kecil menyisir wajah, menebarkan harum sedap malam yang mulai mekar.
“Masuk, Ayu. Kita harus tidur, biar besok tidak kesiangan pergi ke kebun binatang.”
“Ayu belum ngantuk. Ayu ingin menemani dulu bulan.”
Ibunya memandang bulan yang bulat penuh. Cahayanya menyebar, membuat pendar-pendar di daun dan bunga-bunga. Apakah ada manusia yang hidup seperti bulan, pikir Ibu Ayu, hidup sendirian, menerangi kegelapan dan selalu setia.
“Apakah bulan tidak kesepian, Bu?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kan punya teman, bintang-bintang itu.”
“Ayu kasihan. Meski tidak punya Bapak, tapi Ayu punya Ibu, punya Bi Ami, punya Om Iwan. Coba kalau bulan, punya siapa? Setiap malam selalu sendirian.”
“Kan punya banyak teman, bintang-bintang itu.”
“Tapi teman-teman sering jahat. Ayu saja suka dijahili.”
“Bintang-bintang tidak jahil.”
“Mereka baik-baik, ya, Bu?”
“Iya. Karena itu, mari kita tidur, biarkan mereka bermain.”
“Tapi Ayu juga biasa main dengan mereka. Kalau Ibu kerja, Ayu kan selalu ditemani mereka.”
“Kan Ayu ditemani Bi Ami.”
“Bi Ami cepat tidur.”
Ibunya mendekap dan mencium rambut Ayu.
“Ibu punya cerita buat Ayu. Tapi ceritanya sambil tiduran. Tidak baik terlalu lama di luar malam-malam.”
“Kenapa, Bu?”
“Angin malam jahat.”
“Kalau begitu, kasihan bulan. Setiap malam dia kedinginan.”
Ibunya tersenyum.
“Bu, Ibu bisa ambilkan bulan, biar Ayu mendengarkan ceritanya berdua.”
“Jangan.”
“Kenapa?”
“Karena yang mau diceritakannya juga tentang bulan. Nanti dia malu kalau ikut dengan kita.”
Ayu menyusup ke dalam dekapan ibunya.
“Ayo, sekarang kita ke kamar.”
“Tapi nanti ambilkan bulan, ya Bu, biar Ayu punya teman.”
Ibunya mengangguk. Mereka masuk ke dalam rumah. Ayu melambaikan tangan ke bulan yang sendirian di langit luas. Cahaya bulan bermain di antara daun dan bunga yang bergoyang-goyang.
“Eh, Bu. Om Iwan kok tidak pernah ke sini? Kita saja yang mesti ke rumahnya.”
“Om Iwan kan lagi belajar. Nanti juga pulang, karena pasti kangen sama kita.”
“Ayu juga kangen, Bu. Sudah lama Ayu tidak ada yang ngedongengin Si Kabayan yang lucu. Om Iwan tidak boleh ke sini, ya, Bu?”
“Boleh. Tapi nanti.”
“Nanti setelah punya uang buat beli boneka, ya, Bu?”
“Ya, bawa boneka.”
“Ayu inginnya boneka bulan. Biar bulannya nanti bulat terus, tidak seperti yang di langit.”
“Iya, tapi sekarng Ayu cuci kaki dulu. Kan mau mendengarkan dongeng.”
**

DUA


Bulan yang Sendiri


SETIAP bulan bersinar penuh, seperti biasa, anak-anak bermain di halaman. Berlari-larian, saling kejar, tertawa-tawa. Ada juga orang tua yang menyaksikan mereka sambil ngobrol di tepas, beranda rumah. Ibu-ibu membuat makanan sederhana. Kalau tidak urab jagung atau pisang goreng, rebus singkong atau ubi pun jadilah. Sesekali, kalau lagi ada baterainya, kaset kecapi suling diputar keras-keras.
Kegembiraan di Lembah Ngahgar memang selalu ditandai dengan bulan yang bersinar penuh. Panen dari huma di lereng gunung mulai bisa dipetik. Singkong, jagung, ubi jalar, meski ditanam sekedarnya sebagai tumpang sari dari padi, tapi hasilnya bisa berlebihan untuk bulan pertama setelah panen. Merayakan kegembiraan setiap musim hujan tiba itu rasanya belum lengkap bila tidak menyertakan bulan yang bersinar penuh. Meski bagi sebagian penduduk, bulan bulat itu selalu mengingatkan akan bencana yang pernah menimpa Lembah Ngahgar.
Lia selalu menyaksikan semua itu dari tepas bersama Nenek. Hanya sesekali dia ikut bermain dengan anak-anak lainnya. Dia lebih senang memandang bulan atau pucuk kelapa yang melambai-lambai. Atau merasakan kesedihan yang ingin diceritakan kecapi suling  atau kerisik daun-daun itu. Kalau sudah begitu, Lia merasa betapa sepinya hidup. Dan tanpa terasa, selalu ada yang mengalir di pipinya.
“Kenapa begitu lama kita bersedih dengan hal yang telah terjadi,” kata Nenek sambil mengusap pipi Lia.
Lia sebenarnya tidak ingin mengenang segala kesedihan itu. Tapi bulan yang selalu sendirian mengingatkan akan dirinya yang juga sendirian. Pucuk kelapa yang melambai-lambai itu mengingatkan akan perpisahan, selamat tinggal yang diucapkan dengan bahasa alam. Kecapi suling seperti soundtrack dari segala kesedihan.
Kalau sudah begitu, Lia akan menumpahkan segenap perhatiannya kepada teman-temannya yang sedang bermain. Lia hapal, setelah bulan tergelincir sedikit, anak-anak akan ribut menghabiskan makanan. Beristirahat sebentar sambil bercerita mengenai permainan tadi. Tapi kemudian satu-satu mengundurkan diri dan suaranya tak lagi kedengaran. Tinggal bulan sendirian. Kadang ada codot yang berkeliling mencari buah-buahan. Jerit jengkrik begitu jelas, mempertegas sunyi.
Lia baru masuk ke dalam rumah kalau sunyi sudah menguasai sekitarnya.
“Tidurlah, besok kita harus bangun pagi, agar dapat padi yang lebih banyak.” Nenek selalu mengatakan begitu bila Lia susah tidur.
Tapi Lia tidak bisa tidur sebelum lamunannya menerawang  ke suatu malam, ketika bulan bersinar penuh, dua tahun yang lalu. Dia sedang bermain di halaman ketika Mang Adang datang membawa kabar bahwa telah terjadi bencana di lereng gunung tempat penduduk membuka kebun. Gubuk tempat mereka tidur yang dibangun di bawah tebing, terkena longsoran. Kata Kang Adang, hanya yang tidur di tengah kebun, yang kebagian menjaga binatang liar, yang selamat.
Malam itu juga banyak penduduk yang berangkat ke lereng dan membantu menggali longsoran. Malam itu Lia mendengarkan suara anjing hutan begitu lain. Dia tidak bisa tidur. Besoknya, ketika penduduk membawa para korban, Lia histeris. Kedua orangtuanya ada di antara sepuluh orang korban. Nenek mendekapnya. Para tetangga membesarkan hatinya.
Kampung yang terdiri dari puluhan rumah panggung itu berkabung. Tidak ada lagi anak-anak yang bermain di halaman. Setiap pagi para tetangga mengirimi Lia dan anak lainnya yang orangtuanya jadi korban bencana longsor itu, sepiring nasi dan lauk alakadarnya. Tapi itu hanya terjadi beberapa hari saja. Setelahnya mereka tidak punya tenaga untuk terus-terusan ikut memikirkan keluarga lain. Anak-anak mereka pun belum tentu setiap malam bisa tidur dengan perut yang kenyang.
**

Airmata yang Berurai


HIDUP bertahun-tahun tanpa orang tua telah mengajarkan kepada Lia bahwa kesengsaraan dan kesedihan tidak cukup hanya ditangisi. Begitu banyak keinginan Lia yang menjadi impian belaka. Setiap Idul Fitri tiba, anak-anak tetangga bergembira dengan baju baru, Lia menangis karena rengekannya kepada Nenek tidak menghasilkan sepotong baju pun. Lia hanya berandai-andai; andai saja orang tuanya masih ada, andai saja Kakek masih ada.
Waktu yang kemudian mengajarkan kepada Lia bahwa manusia bisa bersahabat dengan kesengsaraan dan kesedihan. Tidak ada lagi rengekan untuk keduanya. Karena Lia mengerti kenapa Nenek selalu membawanya setiap hari bekerja di rumah-rumah orang kaya di kampung-kampung tetangga. Kalau tidak menumbuk padi, Nenek mengajarkan bagaimana caranya mencuci piring atau baju, menanak nasi, memasak sayuran atau ikan.
“Hanya nasi yang berasal dari keringat sendiri yang begitu nikmat,” kata Nenek suatu malam. “Tapi juga bukan dari keringat kotor yang pernah kamu lakukan.”
Lia tersenyum di lahunan Nenek. Dia ingat sewaktu mencuri singkong di kebun Mang Nanang. Lia yang merasa berhasil mencuri tanpa diketahui oleh orang lain, berteriak memanggil-manggil Nenek. Dia pikir Nenek akan senang dengan hasilnya karena sudah tiga hari mereka makan alakadarnya, sekali sehari. Tapi Nenek malah marah ketika tahu singkong itu hasil curian. Lia disuruh untuk mengembalikan singkong itu. Lia menangis. Mang Nanang memang memberikan singkong itu ketika Nenek mengembalikannya. Tapi singkong itu tidak dimasak sampai besoknya.
Lia tidak bisa mengerti waktu itu. Mengapa Nenek mesti marah dengan usaha yang telah dilakukannya. Padahal itu semua dilakukan Lia karena kasihan melihat Nenek begitu pucat karena makanan bagiannya sebagian besar diberikan kepadanya. Lia merasa sakit hati yang paling diingat dalam hidupnya adalah waktu itu. Berhari-hari dia tidak bicara dan tidak ikut bekerja dengan Nenek. Saat malam keempat Lia melihat air mata meleleh di pipi keriput Nenek, Lia ikut menangis sejadi-jadinya.
“Kita memang tidak punya apa-apa, tapi tidak mesti bertahan hidup dengan mencuri. Jangan sekali-kali lagi kamu lakukan itu,” kata Nenek sambil mendekap Lia. Lia merasa kesedihan yang begitu nikmat waktu itu. Dia bahagia masih memiliki Nenek yang menyayangi dan disayanginya. Lia bangga dan begitu beruntung punya Nenek.
Maka ketika suatu hari Nenek tiba-tiba pingsan dan dua hari kemudian meninggal saat mencuci piring di rumah kepala kampung, Lia tidak bisa menerima kenyatan yang dialaminya. Peristiwa-peristiwa yang menimpanya terasa seperti pisau yang sengaja ditusukkan. Lia menangis sejadi-jadinya. Pelajaran tentang kesalehan menerima kenyataan yang diberikan kesengsaraan dan kesedihan hilang seketika.
“Kekayaan ada saat kita merasa cukup dengan hasil yang telah kita perjuangkan,” kata Nenek, dulu sebelum meninggal. “Tidak ada kekayaan selama kita menyesali nasib. Semua manusia punya kekayaan selama memelihara semangat untuk merubah nasib, selama tidak takut kekurangan. Itulah satu-satunya kekayaan kita. Semangat. Jangan sampai kita diperbudak harta.”
Tapi kata-kata yang pernah diyakininya itu hilang dari ingatan Lia. Berhari-hari dia merasa disakiti oleh segala peristiwa yang menimpanya. Dia tidak begitu mendengar para tetangga yang memberi wejangan dan nasihat untuk sabar dan menerima. Karena segala wejangan dan nasihat itu sudah didapatkan Lia dari pengalaman.
Dulu, saat Nenek memberi wejangan setelah mendongeng sebelum Lia tidur, Lia pernah menyangkal.
“Mengapa kita mesti selalu sabar sementara orang lain hidup enak padahal tidak begitu kerja keras,” katanya.
Nenek marah mendengarnya. “Apa jadinya hidup kita kalau selalu membandingkan dengan orang lain. Kita akan selalu kekurangan dan merasa disudutkan nasib. Setiap orang punya garis nasibnya sendiri-sendiri. Kita harus sabar, menerima, sadrah, berdoa dan bekerja. Hanya itu tugas kita. Itu semua akan membawa kita kepada ketenangan. Sementara hasil dari kerja kita, dikabulkan tidaknya doa kita, itu bukan urusan kita.”
Saat itu Lia merasa Nenek memang orang hebat. Kekurangan dan kesedihan tidak membuatnya menyesali nasib. Apalagi setelah dari cerita-cerita Nenek setiap menjelang tidur, Lia tahu telah begitu banyak peristiwa menyedihkan yang menimpa Nenek. Suaminya, kakek Lia, meninggal saat terjadi kekacauan PKI (Partai Komunis Indonesia). Kakek yang guru ngaji di surau dianggap tidak revolusioner dan dipancung beramai-ramai oleh para pemuda PKI. Lia tidak mengerti apa yang diceritakan Nenek. Tapi setelah besar dan belajar sejarah, Lia tahu peristiwa yang menimpa Kakek itu terjadi juga di desa-desa lainnya. Teror-teror dilakukan para pemuda PKI terhadap keluarga yang dianggap antirevolusi.
Lia membayangkan bagaimana Nenek setiap hari harus menghindar dari sergapan PKI sambil menghidupi dua orang anaknya. Anak pertama, kakak Emak,  meninggal karena muntaber. Bertahun-tahun Nenek pindah dari satu keluarga ke keluarga lainnya membantu-bantu pekerjaan dapur. Tentu hasilnya hanya cukup untuk makan sekedarnya berdua. Tentu tidak menyenangkan bekerja seperti itu.
Sering Lia mendengar Nenek bercerita tentang majikan-majikannya yang marah hanya krena gelas pecah atau karena Emak menangis. Tentu tanpa kesabaran, menerima dan bekerja keras, hidup Nenek dan Emak sudah tamat. Tapi Lia tidak pernah mendengar nada kesedihan dalam setiap cerita Nenek. Juga Lia tidak pernah mendengar Nenek mengeluh meski setiap bekerja dia selalu batuk-batuk. Nenek memang tidak pernah mempersoalkan penyakitnya. Setelah besar, Lia memperkirakan Nenek waktu itu terkena TBC. Penyakit itu memang tidak mesti dipermasalahkan karena memerlukan biaya untuk mengobatinya.
Satu-satunya saat yang membahagiakan Nenek, sepanjang ceritanya yang didengar Lia, adalah saat Emak dilamar Apa. Apa memang bukan orang kaya, tapi Nenek selalu menceritakannya sebagai pemuda yang baik dan pekerja keras. Hasil kerja kerasnya itu terasa saat mereka bisa membeli sebidang tanah di Lembah Ngahgar dan sedikit-sedikit membangun rumah. Itulah rumah panggung yang ditempati Lia dan Nenek, satu-satunya harta yang mereka miliki.
Setelah itu tentu kisah hidup Nenek penuh dengan kesengsaraan karena harus bekerja keras lagi untuk menghidupi makan sehari-hari bersama cucunya. Nenek memang tidak mesti menceritakan kisah kesengsaraan itu, karena Lia sebagai cucunya telah mengalami secara langsung. Meski sengsara tapi Lia merasa bangga dengan Nenek. Nenek memang tidak mampu menyekolahkannya. Tapi Nenek telah mengajarkan banyak hal. Pekerjaan dapur, memberesi rumah, sampai belajar membaca Al-Qur’an, berdoa, meminta ampun atas segala prasangka buruk, ketidakkuatan hati karena Tuhan memberikan nasib yang menyedihkan. Lia merasa tenang setiap bersimpuh di belakang Nenek sambil berdoa.
Dan sekarang, satu-satunya orang yang dicintainya itu meninggalkannya untuk selamanya. Kesabaran dan kesadrahan seperti apa lagi yang mesti dilakukannya? Lia merasa sah kalau dirinya protes kepada Tuhan atas nasib yang menimpanya. Lia merasa sah kalau dirinya ingin melepaskan segala kesedihannya dengan menangis dan tidak menghiraukan dirinya. Dia tidak mau makan kecuali bila lapar tidak kuat lagi ditahannya meski tetangganya bergantian membawa makanan untuknya. Setiap malam Lia tidak ingin tidur kecuali bila ngantuk benar-benar tidak bisa ditahannya. Lia tidak ingin memperhatikan dirinya. Kalau bisa dia ingin ikut bersama Nenek.
Tapi pengalamannya terus-terusan mengingatkan bahwa kesedihan dan putus asa tidak ada gunanya. Saat tetangganya tidak kuat lagi membantunya, Lia kembali mengerjakan pekerjaan dapur dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung. Karena hanya hidup sendirian, Lia sering tidur di rumah-rumah yang dibantunya.

**

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ambilkan Bulan, Bu 1"

Posting Komentar