ULAR
Pikiran Rakyat, 30 Mei 2004
Mula-mula ular itu aku pergoki di semak-semak belakang rumah. Tubuhnya sebesar jari kelingkingku. Panjangnya tidak lebih dari mistar 30 cm. Warnanya hitam. Tapi meski kecil, ular itu membuatku tidak berani meneruskan mencari kelereng yang hilang. Aku memperhatikannya dari teras belakang rumah dengan dada berdegup kencang. Bulu kudukku merinding. Dan si ular, melata dengan sesekali mendongakkan kepala, di tanah menuju semak-semak.
Sejak itu aku tidak berani lagi lewat, atau sekedar
menyibak pepohonan, di belakang rumah. Aku takut ular itu menghadang dan siap
mematuk ketika aku berjalan, menyibakkan pepohonan, atau mengerjakan apapun.
Sepulang sekolah, aku lebih suka main di dalam kamar, bersama si Tiger, si
Kura-kura, atau membaca. Kalaupun ingin bermain di luar, aku lebih memilih di
depan rumah.
Tapi siang itu, aku menjerit sekuat tenaga. Di
depanku, di rerumputan taman depan rumah, si ular sedang mendongak. Kepalanya
menganga, siap mematuk. Tubuhnya sebesar ibu jari. Panjangnya lebih dari mistar
30 cm. Warnanya kehijau-hijauan. Sepintas, aku tidak bisa membedakannya dengan
rerumputan.
Ibu dan Bapak keluar rumah.
“Ada apa?”
“Ada ulaaarr….”
Aku menghambur ke pelukan Ibu. Bapak mengorek-ngorek
rerumputan dengan tongkat.
“Di mana?”
“Di situ. Di atas rerumputan itu.”
Sekali lagi Bapak mengorek rerumputan, lebih ke
pinggir-pinggir taman.
“Mungkin sudah pergi.”
“Makanya jangan main di luar. Ayo masuk, di kamar
saja.”
Sejak itu aku tidak berani main di taman. Kalau ingin
bermain di luar rumah, cukup di teras. Saat si kupu-kupu hinggap di
bunga-bunga, aku sudah tidak tahan untuk turun dari teras. Biasanya aku memang
bermain dengan si kupu-kupu, berkejaran, menghirup bunga-bunga sambil
membayangkan apa yang dirasakan si kupu-kupu kalau melakukan hal yang sama.
Tapi bayangan si ular yang mendongak, siap mematuk,
mengurungkan keinginanku. Aku perhatikan sekeliling, siapa tahu ular itu memang
sedang menunggu aku turun. Di bawah mawar, di sekeliling kembang kertas,
rerumputan, tidak ada. Tapi aku tetap tidak berani turun ke taman. Siapa tahu
ular itu memang tidak bisa dibedakan dengan tanah, rerumputan, batang
pepohonan, daun, bunga. Siapa tahu ular itu sudah berada di atas pohon,
menggelantung di rerimbun daunan.
Aku merasa ular itu memang berbeda dengan ular biasa.
Dia seperti bunglon, bisa merubah warna tubuhnya. Besarnya begitu cepat
bertambah. Aku yakin, ular yang di taman ini adalah ular yang dulu aku temukan
di belakang rumah. Entah juga, kenapa aku yakin seperti itu. Mungkin berbeda
dari cara mendongaknya. Cara memandangku ketika minggu lalu saling berhadapan.
Dan nyatanya seperti itu. Aku hampir terjatuh ketika
si kupu-kupu yang mau hinggap di bunga matahari, dengan sekejap dicaplok ular
yang melingkar di situ. Warna tubuhnya kuning. Tubuhnya hampir sebesar
pergelangan tanganku. Aku menarik nafas panjang, bersyukur tidak jadi turun ke
taman. Seandainya aku turun, bermain dengan si kupu-kupu, bisa jadi aku yang
menjadi korbannya. Tapi lengking menyayat si kupu-kupu itu, memenuhi telingaku,
mengganggu syukurku.
Malamnya, ketika aku mau tidur, jerit kesakitan itu
terdengar lagi. Aku berjingkat keluar, membuka pintu pelan, takut Ibu, Bapak,
atau kakak-kakak, terbangun. Di rerumputan taman, aku melihat puluhan kodok
melompat tergesa. Dan ular yang sudah sebesar lenganku itu, mengejar satu per
satu.
Ular itu memang bukan ular biasa. Dia tidak diam,
menunggu mangsanya mendekat seperti di televisi. Tapi mengejar, memburu, dan
mencaplok puluhan kodok. Seperti tidak pernah kenyang. Lebih ganas dari
singa-singa yang memburu rombongan bison. Aku menutup telinga. Karena suara jerit kodok yang kesakitan itu sambung
menyambung. Memenuhi udara. Menembus langit. Dan bergaung-gaung di gendang
telingaku.
Aku merasakan kesakitan kodok-kodok itu. Mereka
menjerit, mengaduh, resah tidak tahu mesti lari ke mana atau berbuat apa. Aku
tidak kuat lagi mendengarnya. Menutup telinga tidak menjadikan jerit sakit itu
menghilang. Dengan gemetar aku mengambil sapu. Tapi begitu berhadapan dengan
ular itu, dengan cepat sapu itu dicaploknya. Aku mundur dan lari ke kamar.
Besoknya, ketika sedang sarapan, aku melapor kepada
Ibu dan Bapak.
“Ular yang minggu lalu itu?” tanya Ibu.
“Iya. Sekarang sudah sebesar tangan, mencaplok
kupu-kupu, memburu puluhan kodok, mencaplok sapu.”
Bapak dan kakak-kakakku tertawa.
“Itu artinya Rei jangan main di taman, kotor,” kata
Ibu.
“Ular itu tidak akan apa-apa. Dia baik kalau kitanya
juga baik.”
“Tapi ular itu jahat! Dia menyakiti kodok-kodok dan si
kupu-kupu!”
Kakak-kakakku tertawa lagi.
“Kalau jahat lagi, laporkan saja kepada si Tiger dan
si Kura-kura,” kata salah seorang dari kakakku.
“Tapi ini ular beneran! Bukan boneka seperti si Tiger
dan si Kura-kura!”
Mereka tertawa berbarengan. Aku berlari ke kamar dan
menangis.
**
Pagi itu aku sedang bermain mobil-mobilan di teras
depan. Ketika mobilku menderum-derum di tanjakan, aku merasa ada yang menyaingi
derumannya. Mobilku berhenti berderum. Suara itu semakin jelas, seperti sesuatu
yang pecah, bersahut-sahutan. Aku mengikuti asal suara itu. Dan di bawah
kembang kertas yang rimbun, puluhan, atau mungkin ratusan, telur menetas. Dari
dalamnya menjulur kepala-kepala kecil, lalu melata. Ular-ular kecil berhamburan
ke segala arah. Ketika mereka menemukan lalat, kecoa, serangga, mereka segera
menyerbu. Mereka memburu, seperti yang kelaparan.
Jerit kesakitan melengking di mana-mana. Aku menutup
telinga, tapi jerit sakit itu terus bergaung. Aku membawa tongkat. Aku akan
usir ular-ular itu. Tapi saat aku memukul seekor ular, dengan sigap dia
menangkap tongkat dengan mulutnya. Giginya begitu kuat sampai tongkatku remuk.
Aku berlari ke kamar. Aku menggigil di bawah selimut.
Sampai malam aku tidak keluar. Ketika Ibu membujuk
untuk makan, aku habiskan juga semangkok sup hangat. Sesiangan tidak makan
apa-apa memang membuat perutku keroncongan. Tapi ketika ke teras, untuk melihat
bulan, karena tanggal seperti ini aku biasa bercakap-cakap dengannya, aku
terhenyak. Hampir saja semangkok sup itu keluar lagi dari perutku. Ratusan ular
melata di teras, kesana kemari seperti sedang berjalan-jalan. Tubuh mereka yang
pagi tadi sebesar lidi itu telah menjadi sebesar jariku. Aku menutup pintu,
menguncinya, dan berlari ke kamar.
Tuhan, ular apa sebenarnya mereka? Tubuhnya begitu
cepat membesar. Mungkin karena makannya yang rakus. Apakah memang ada ular
seganas itu? Di televisi tidak seperti itu. Sekali makan, ular bisa
beristirahat berhari-hari. Kata Bapak, ular juga tidak suka sapu, tidak suka
tongkat, tidak suka lalat, tidak suka serangga. Apa mereka ular jejadian?
Aku menggigil di bawah selimut. Tidak bisa tidur.
Keringat membasahi tubuhku. Aku takut ular itu masuk ke dalam rumah.
Menghabiskan apa saja. Memakan Ibu, mencaplok Bapak, memburu kakak-kakakku,
menyerang dan memakan seluruh dagingku.
Entah berapa jam aku tertidur. Begitu bangun, matahari
menyusup lewat gorden yang tidak rapat menutup jendela. Astagfirullah, aku
kesiangan. Kenapa beker yang semalam kusetel itu tidak berdering? Mengapa si
ayam yang biasa berkokok di kandang belakang itu tidak membangunkan?
Tapi begitu turun dari ranjang, aku terkejut, karena
karpet menggelembung-gelembung. Ketika aku singkap, puluhan ular tertidur. Di
pojok, si beker tinggal sepotong. Tapak gigi membekas di tubuhnya. Siapa tahu
si ayam pun tidak berkokok karena telah dimangsa ular-ular sialan ini. Aku
berlari keluar. Ibu dan Bapak, juga kakak-kakak sudah tidak ada. Mereka sudah
berangkat ke kantor dan sekolah, kata Mbok Nah. Aku singkap karpet tengah
rumah, bantal kursi, taplak meja, keramik hiasan yang dikumpulkan Ibu.
Semuanya, semuanya menjadi tempat persembunyian ular-ular yang tidur melingkar.
Aku telepon Ibu, telepon Bapak, melaporkan penemuanku
yang menakutkan itu. Tapi mereka malah menyuruhku sekolah. Aku berangkat
sekolah dengan perasaan jengkel. Kenapa mereka tidak mengkhawatirkan ular-ular
itu? Ketika sedang belajar, aku menyesal. Kenapa ular-ular itu tidak aku racun,
atau aku pukuli sampai mati, mumpung mereka sedang tertidur.
Hari itu aku sekolah sampai bel istirahat. Tanpa
bicara kepada siapapun, aku menyelinap lewat pintu belakang, kabur. Di jalan
aku memilih potongan kayu yang cukup besar. Ular itu bisa saja mencaplok sapu,
mencaplok tongkat, tapi saat sedang tidur, mereka tidak akan bisa berbuat
apa-apa.
Pintu hampir aku tubruk. Tapi ketika aku menyingkap
seluruh persembunyian mereka, ular-ular itu sudah tidak ada. Di bawah karpet,
di balik bantal kursi, di dalam guci keramik, ular-ular itu tidak ada. Mbok Nah
juga tidak tahu apa-apa ketika aku tanya. Sampai sore, ketika Bapak, Ibu, dan
kakak-kakak pulang, aku masih mencari. Tapi ular-ular itu tidak kutemukan
seekor pun. Kemana mereka sembunyi? Tidakkah mereka tahu akan aku bunuh?
Malamnya, aku terbangun mendengar suara-suara aneh.
Seperti orang sedang makan kerupuk. Seperti suara desis yang berkepanjangan.
Aku lihat dari balik pintu, ratusan ular sedang menggigit-gigit karpet, meja,
kursi, keramik-keramik hiasan. Apakah mereka kelaparan karena tidak ada lagi
makhluk hidup yang bisa dimakan? Ketika aku membuka pintu lebih lebar, akan
melapor kepada Ibu dan Bapak, ular-ular itu menghentikan makannya. Mereka
memandangku dan pelan-pelan menghampiri. Aku menutup pintu, mengunci dan
meloncat ke kasur. Tapi dengan sekejap pintu kayu itu digigit-gigitnya sampai
jebol. Ratusan ular itu menghampiriku dengan mengangkat kepalanya. Aku menjerit
sekuatnya, dan tidak ingat apa-apa lagi.
Ketika terbangun, aku sudah berada di rumah sakit. Di
sekelilingku ada Ibu, Bapak, kakak-kakak, dan seorang dokter dengan baju
putih-putihnya. Mereka tersenyum. Tapi aku melihat Ibu menangis.
“Apa ular-ular itu sudah dibunuh, Bu?”
Ibu tersenyum. Menyusut airmatanya. Lalu mengangguk.
“Tidak ada lagi ular di rumah.”
“Ibu sudah membunuhnya?”
“Ya, membunuhnya.”
“Semuanya?”
“Semuanya.”
Dokter dan Bapak bercakap di dekat pintu. Kata dokter
itu sebelum pergi: “Kondisi fisiknya sebenarnya tidak apa-apa. Tapi jiwanya
terguncang hebat. Ada indikasi skizoprenia, halusinasi terhadap sesuatu yang
tidak nyata. Biar istirahat saja. Jangan dulu dibawa pulang.”
**
Aku memang tidak mau pulang. Aku tidak mau lagi
melihat ular-ular itu. Aku takut. Tapi terbayang, ular-ular itu akan memakan
apa saja, dan setelah semuanya habis, pasti Ibu dan Bapak pun diincarnya. Aku bertekad
untuk pulang. Aku harus menunjukkan sampai Ibu dan Bapak percaya bahwa
ular-ular itu memang ada. Tapi dokter melarangku.
“Apa Dokter pun tidak percaya ular-ular itu ada?”
“Percaya, Rei. Dan sekarang, rumah sedang diperbaiki.
Karpet, kursi, meja, keramik, semuanya diganti. Ular-ular itu sudah diusir.
Rumah sakit ini telah meminjamkan semua perabotan rumah anti ular. Rei
istirahat dulu di sini, biar segar dulu badannya.”
Waduh, aku lega mendengarnya. Tapi aku semakin ingin
cepat melihat rumah. Aku ingin pulang. Baru dua hari kemudian Ibu dan Bapak
menjemput.
“Hari ini di rumah akan ada syukuran, ulang tahun
perkawinan Ibu dan Bapak yang kedua lima. Nanti siang akan berdatangan seluruh
saudara kita. Sekarang kita pulang,” kata Ibu.
Di depan rumah nyatanya sudah menyambut semua
saudaraku. Selain kakak-kakak, juga ada tante, oom, kakek-nenek, dan
saudara-saudara lainnya. Mereka menyalamiku, menciumiku. Mbok Nah dan beberapa
orang lainnya memasak di dapur.
Tapi aku tidak memperhatikan mereka. Aku terkejut
karena rumah seperti bangunan yang tidak diurus bertahun-tahun. Karpet, meja,
kursi, keramik, lemari, seperti rongsokan. Di sana-sini robek-robek,
patah-patah. Tapak gigi-gigi membekas di semua perabotan. Tembok bolong-bolong.
Aku rasa ini tapak ular-ular itu. Dokter itu berbohong!
Syukuran itu berlangsung sorenya. Masakan sudah
diangkut semuanya ke meja di faviliun. Ibu dan Ayah menceritakan masa-masa awal
perkawinannya. Saudaraku yang lainnya mengatakan kesan-kesannya. Semuanya tertawa
ketika ada yang lucu. Tapi aku tidak memperhatikan lagi. Telingaku menangkap
gemuruh dari lubang-lubang tembok. Lalu ratusan, atau mungkin ribuan, ular
keluar. Mereka berdesis-desis. Lalu mulai memakan apapun yang ada di
sekelilingnya. Karpet, meja, kursi, lemari, gorden, keramik, hiasan dinding, dan
apapun yang ada di rumah.
Suara jerit kesakitan terdengar melolong. Karpet
menangis, lemari mengaduh, kursi menjerit, gorden meraung-raung. Aku menutup
telinga. Aku menjerit. Tapi Ibu, Bapak, kakak-kakak, dan saudaraku yang lainnya,
tidak lagi mendengar suaraku. Mereka asyik memotong kue, membagi-bagi ayam
bakar, meminum jus, sambil tertawa-tawa.
Cisitu-Dago, 19 Agustus 2002
Cerpen Ini Didukung Oleh:
Ingin Tahu Lebih Banyak? Baca saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "ULAR"
Posting Komentar