PENJARA
Bandung Pos, 8 Februari 1995
Baru tiga hari Bardan masuk penjara, badannya telah turun lima kilo.
Wajahnya yang seminggu lalu banyak digelayuti lemak dan berminyak, kerutnya
semakin jelas dan pucat. Bertambah hari turun berat badannya bertambah juga.
Keluarganya yang menengok seminggu kemudian terkejut melihat Bardan yang
kerempeng dan pias. Istrinya
menangis. Anaknya menangis. Orangtuanya menangis. Mertuanya menangis.
Kawan-kawan dan anak buahnya di kantor yang juga menengok, pada menggelengkan
kepala.
“Sudahlah, jangan menangis
kalian, karena airmata hanya menambah
ruwet pikiran saya,” kata Bardan. Matanya dialihkan ke luar sel, menghindari
orang–orang dekatnya yang bersedih.
“Penjara memang neraka di dunia. Dia telah mengotori dan merusak kita. Kehormatan
kita. Semuanya berantakan,” lanjutnya dengan suara bergetar.
Para penjenguk semakin menjadi
tangisnya.
“Saya tidak pernah berpikir
akan menjadi salah seorang penghuninya.”
Istrinya mencium tangan
Bardan. Ibunya memeluk Bardan. Anak-anaknya menangis di pangkuan Bardan.
Bapaknya mengelus rambut Bardan. Mereka menangis. Juga Bardan.
Malamnya Bardan tidak bisa
tidur. Pikirannya melayang menemui orang-orang yang dicintainya. Dia
membayangkan bagaimana sedih istrinya yang biasa serba mewah sekarang mesti ngirit,
karena tabungan dan harta lainnya, kecuali rumah tinggalnya sekarang, disita
pengadilan. Anaknya yang biasa memakai mobil ke sekolahnya, mesti susah
berjejal di bis kota. Belum lagi teman-teman anaknya yang menghina dengan
mengatai:
“Ih, bapaknya koruptor!”
“Sana pergi, anak pencuri
harta negara!”
“Beli apa saja hasil dari
ngejarah uang rakyat?”
“Kasihan ya anak pencuri,
sekarang tidak lagi bawa mobil, hihihi...”
Teman-teman dan anak buahnya
di kantor, juga akan membicarakannya setiap hari. Bisa jadi ada di antara
kawan-kawannya yang justru bersyukur. Bardan memang belum pernah melihat salah
seorang kerabat kerjanya di kantor yang menentangnya. Tapi Bardan yakin, tidak
semua senyum di hadapannya adalah senyum juga di belakangnya.
Itulah yang menjadi pikiran
Bardan setiap menitnya. Dia tidak bisa memberikan apa saja yang dimaui
orang-orang yang dicintainya. Dan itulah siksaan. Apa lagi yang lebih
menyakitkan selain ketika kita hanya bermimpi dan tidak bisa mewujudkan mimpi
itu, pikirnya.
Selain itu, mental Bardan pun
diteror setiap waktu. Setiap pengadilan digelar, orang-orang meneriaki dan
menyumpahinya. Wartawan yang berhasil menanyainya menyudutkan dengan
bukti-bukti barunya. Bardan yang biasa memerintah apa saja, down diperlakukan seperti itu. Dia jatuh
menjadi orang yang paling bawah. Orang yang mesti nurut pada pangkat sekecil
sipir sekalipun.
**
Setelah palu hakim mengetuk
vonis 5 tahun penjara buat Bardan, kesedihannya semakin menjadi. Bardan dibawa
petugas pengadilan dan dijebloskan ke ruangan yang sumpek dan sunyi. Badannya
semakin menyusut. Tinggal kulit dan tulang
bukan lagi perumpamaan bagi Bardan.
Sebulan kemudian, setelah
keluarga dan kerabat lainnya semakin jarang yang datang, berhembus kabar
menyakitkan ke telinga Bardan. Katanya, istri Bardan sekarang sering pergi
dengan direktur anu dan disinyalir ada afair.
Belum lagi kabar buruk itu dapat dikuasai, datang lagi isu bahwa anak gadisnya
kabur dari rumah karena hamil oleh laki-laki tidak jelas.
Bardan memukul tembok dan
menangis.
“Penjara memang neraka!”
teriaknya.
Tapi belum sempat Bardan
meneriakkan kesumpekan selanjutnya, tetangga selnya memukul-mukul besi sel.
“Kenapa kamu mengganggu?”
bentak Bardan.
“Memalukan sekali menangis.”
“Kamu siapa?
Berani-beraninya...”
“Sebenarnya sejak dulu kita
sederajat!” potong orang itu. “Tapi kalau kamu merasa lebih tinggi waktu masih
jadi direktur, bolehlah. Tapi itu masa lalu. Kamu sekarang jadi tahanan. Sama
dengan saya.”
Bardan tidak menimpali.
Matanya memandang tetangga selnya. Laki-laki bermata tajam itu begitu cerah
wajahnya. Badannya tegap. Bardan tidak yakin dengan penglihatannya. Apakah bisa
orang sesehat itu di dalam penjara?
“Sesungguhnya sekarang kamu
merdeka. Kamu bebas dari penjara yang dulu mengekang kamu.”
Bardan terkejut. Baru kali ini
dia mendengar orang merasa merdeka di dalam penjara. Bardan menghampiri orang
aneh itu.
“Apa maksud kamu?”
“Kamu bisa merdeka sekarang,
asal kamu mau.”
“Merdeka di dalam penjara?”
“Ini bukan penjara.” Orang itu
memegang besi sel. “Penjara itu hanya ada di sini.” Orang itu menunjuk dadanya.
“Meski mayoritas orang yang dimasukkan ke sel bersalah, tapi tidak semua
begitu. Sejarah telah mencatat bahwa orang yang kita anggap pahlawan saat ini
banyak yang pernah mendekam di dalam sel.”
“Tapi sekarang saya tidak bisa
ke mana-mana. Tida bisa bekerja.”
“Dan tidak bisa korupsi. Itu
kemerdekaan kamu. Kamu bebas dari rengekan istri-istrimu yang ingin dibelikan
ini-itu. Kamu bebas dari rengekan anak-anakmu yang ingin dibelikan ini-itu.
Kamu bebas dari tuntutan harga dirimu yang merasa naik bila memiliki ini-itu.
Kamu bebas dari kebanggaan orangtua dan mertuamu yang merasa hebat bila kamu
bisa membawa ini-itu. Kamu bebas dari segala tetek bengek yang menuntutmu untuk
mencari penghasilan tambahan selain gaji, meski tidak halal.”
Bardan tidak bicara. Matanya
menerawang ke balik tembok-tembok, ke masa lalunya. Dia tidak sadar bahwa
tetangga selnya telah menjauh dan duduk di bangkunya.
**
Berhari-hari Bardan
membolak-balik apa yang pernah dikatakan tetangga selnya. Apa memang benar
penjara itu ada di dalam hati? Apa memang benar ia sekarang merdeka dan dulu
terjajah? Setelah dipikir-pikir, Bardan berkesimpulan bahwa tetangga selnya itu
benar tapi masih belum lengkap. Dalam pikiran Bardan, manusia tidak bisa hidup
sendiri. Setiap manusia punya harga diri, punya nama baik, dinilai oleh orang
lain.
“Memang punya harga diri dan
nama baik dan orang lain menilai seseorang itu dari sana,” kata tetangga sel
itu ketika Bardan mendebatnya suatu hari. “Tapi harga diri pun ada di sini.”
Orang itu menunjuk dadanya.
“Maksudnya?”
“Apa kamu merasa punya harga
diri ketika korupsi? Apakah kamu tidak tahu bahwa korupsi itu merugikan orang
banyak? Merugikan rakyat, orang-orang kecil yang tidak jarang juga busung lapar
karena tidak ada yang bisa dimakan?”
Bardan tidak bisa mendebat
lagi. Dia balik ke bangkunya. Tidak
berapa lama datang lagi ke tatangga selnya.
“Tapi dulu saya merasa punya
harga diri dibanding sekarang di dalam sel ini.”
“Itu harga diri yang salah!
Harga diri palsu! Kalau diibaratkan buah, harga diri kamu itu seperti buah yang
bagus tapi dalamnya telah habis dimakan ulat!”
Bardan diam.
“Harga diri yang sesungguhnya
itu ada di sini.” Orang itu menunjuk dadanya. “Sejauh mana kita dapat mengakui
dan memperbaiki segala kesalahan, itulah harga diri. Nama baik seseorang bisa
saja dihancurkan oleh musuhnya, tapi baik tidaknya orang hanya ada di hatinya.”
“Apa kamu juga orang baik?”
Bardan protes karena merasa digurui. “Kenapa orang baik ada di dalam penjara?
Kamu hanya pintar omong!”
“Baik tidaknya seseorang tidak
bisa dikatakan. Kamu merasa saya orang baik atau tidak? Sel seperti ini bukan
ukuran. Di luar sel ini, banyak orang yang memperdaya orang lain, banyak orang
yang menjual orang lain. Kamu juga baru masuk sel sekarang padahal telah berapa
lamu kamu mengambil harta yang bukan hakmu?”
Bardan pergi meninggalkan
orang itu.
**
Diam-diam Bardan berguru
kepada tetangga selnya. Diam-diam Bardan meyakini bahwa penjara memang ada di
dalam hati. Dia tenang lagi. Badannya sedikit-sedikit pulih kembali. Banyak
yang ia lakukan setiap harinya. Dia merasa merdeka sekarang. Dan lebih merdeka
dibanding dulu sewaktu sering mendapat tekanan dari istrinya, anak-anaknya,
orangtuanya, mertuanya dan lingkungannya yang menghendaki Bardan memiliki
ini-itu.
“Kamu itu guru bagi saya,”
kata Bardan suatu hari.
“Hahaha, kamu ini lucu sejak
dulu. Setiap manusia itu tidak ada yang sempurna. Apakah kamu merasa bisa
belajar dari sesuatu yang tidak sempurna?”
“Jangankan tidak sempurna,
kesalahan pun bisa dijadikan guru.”
Semakin hari Bardan semakin
sehat dan kuat. Wajahnya cerah dan selalu berseri. Dia banyak membantu
rekan-rekannya. Dan karena tingkah lakunya yang terpuji, usulnya untuk
disatuselkan dengan tetanggalnya dikabulkan. Bardan belajar ngaji kepada orang
yang dulunya guru madrasah itu. Dia sholat lima waktu dan kadang mengajar
kepada rekan lainnya yang tidak bisa sama sekali.
Ketika waktu penahanannya
habis, Bardan menolak untuk keluar sel.
“Saya merdeka di sini. Saya
tidak mau kembali lagi ke tempat yang banyak menjajah saya!” katanya kepada
kepala Lembaga Pemasarakatan. ***
Bandung, 21 September 1994
Cerpen ini pernah dimuat HU
Bandung Pos, 8 Februari 1995
0 Response to "PENJARA"
Posting Komentar