BULAN DI TROTOAR
Pikiran Rakyat, 24 Maret 1996
Kang Hamid selalu terkesiap
setiap memandang lelaki muda yang duduk mencangkung di trotoar.
“Matanya itu, Dul, yang membuatku merinding,” katanya suatu kali
kepada tetangganya. “Kalau sudah menatap sesuatu, bisa tidak pindah berjam-jam.
Bola matanya kadang seperti berapi, menyimpan kekuatan yang dahsyat.”
“Kekuatan apa?”
“Mungkin dendam, mungkin sakit
hati yang mendalam, mungkin seperti bendungan yang tidak lagi kuat menampung arus. Tapi kadang seperti yang
melamun, matanya kosong. Mungkin putus asa yang dalam, mungkin ekspresi dari
ketidakberdayaan.”
Kang Hamid yang telah
bertahun-tahun menunggu kiosnya di ujung trotoar hapal betul apa yang akan
tejadi selanjutnya dengan anak muda yang duduk mencangkung di trotoar itu.
Kalau tidak terjadi perkelahian bersenjata tajam esok lusanya, penodongan atau
pencopetan yang semakin sering, biasanya kabar meninggalnya seseorang akan
masuk ke telinganya.
“Begitulah, Dul, anak muda
yang duduk mencangkung di trotoar itu menyimpan dendam yang dahsyat,” kata Kang
Hamid kepada tetangganya.
“Dendam kepada siapa?”
“Entahlah, mungkin dendam
kepada dirinya sendiri.”
Sebagai satu-satunya kios yang
buka dua puluh empat jam, kios Kang Hamid memang dikenal oleh anak-anak muda
yang biasa nongkrong di trotoar itu. Meski kios Kang Hamid tidak menjual
minuman keras, tapi rokok dan makanan ringan yang dibutuhkan anak-anak muda itu
sangat tergantung kepada kios Kang Hamid.
Sebagai penjaga kios, Kang
Hamid memang berbeda dengan penjaga kios lainnya yang biasa mangkal di trotoar
dan buka 24 jam. Kang Hamid tidak pernah diganggu (diperas, disuruh setor,
diambil dagangannya tanpa dibayar) oleh anak muda yang biasa nongkrong di
trotoar itu. Seolah ada suatu kesepakatan di antara anak-anak muda itu bahwa seboke apapun mereka tidak boleh
mengganggu Kang Hamid.
Bisa jadi keseganan anak-anak
muda itu karena Kang Hamid selalu baik dan siap menampung keluh kesah mereka.
Suatu hal biasa bila di antara anak-anak muda itu ada yang diam-daiam datang
kepada Kang Hamid dan mengeluhkan masalahnya. Kang Hamid tidak pernah
mentertawakan mereka. Kalau perlu, Kang Hamid memberi nasihat. Dan anak-anak
muda itu tidak pernah marah dinasihati Kang Hamid. Seandainya yang memberi
nasihat itu orang lain (orangtuanya sekalipun) bisa dipastikan mereka mencibir
dan memberi tindakan secara fisik.
Kedudukan Kang Hamid yang
istimewa itu sudah berlangsung beberapa tahun. Beberapa generasi hapal
‘kebijaksanaan’ Kang Hamid sejak mereka bergabung dengan geng trotoar itu.
Karenanya Kang Hamid tahu betul apa yang sedang dipikirkan anak-anak muda itu.
Kalaupun Kang Hamid yang selalu menasihati agar anak-anak muda itu mengurangi
ketergantungan mereka kepada minuman keras atau obat-obatan tidak menjual
barang-barang itu, mereka tidak pernah protes. Mereka mengerti benar bahwa Kang
Hamid memperhatikan mereka, sayang kepada mereka.
**
Berita ditangkapinya geng anak
muda di trotoar itu sedikit melegakan Kang Hamid. Seperti yang ditulis
koran-koran, yang sempat dibaca Kang Hamid dan kemudian sangat diharapkannya,
penangkapan itu akan dilanjutkan dengan pembinaan terhadap mereka. Mereka akan
dididik untuk mempunyai keahlian tersendiri agar nanti punya posisi yang tidak
terpinggir setelah bermasyarakat lagi. Kang Hamid terharu membaca berita-berita
itu.
Dari dalam kiosnya Kang Hamid
memandang sepanjang trotoar yang tiba-tiba terasa sepi. Malam belum begitu tua.
Lampu merkuri bersinar pucat. Bulan yang malu-malu memandang bumi dari balik
awan, tinggal sendiri, tanpa teman-temannya yang setiap malam setia menatap dan
menikmati keindahannya.
Tiba-tiba Kang Hamid begitu
rindu melihat anak-anak muda yang setiap malam bergerombol di ujung trotoar
itu. Sebagai laki-laki yang hanya hidup berdua bersama istrinya, Kang Hamid
memang merindukan anak. Anak mereka satu-satunya telah pergi ditelan buasnya
kota. Kata orang, anaknya dulu adalah ‘penguasa’ stasiun. Badannya tegap.
Otot-otonya menonjol. Kang Hamid tidak memperdulikan segala berita yang
didengarnya tentang anaknya. Tapi yang Kang Hamid masih ingat, ketika ia sedang
mengadukan nasibnya di meja judi, tiba-tiba ada orang membawa kabar bahwa anak
satu-satunya ada yang menusuk. Itulah kekalahan Kang Hamid yang paling
menyakitkan. Berhari-hari ia tidak mau bicara dengan siapapun. Kang Hamid shock dengan nasib yang mengejutkan itu.
Waktu yang kemudian membawa
Kang Hamid ke trotoar itu dan menemukan kembali anaknya di gerombolan geng
ujung trotoar. Kang Hamid yakin, kelakuan anak-anak muda itu adalah kelakuan
anaknya. Siang mereka bekerja mengatur parkir sepanjang jalan yang dikuasainya.
Tidak jarang mereka berkelahi untuk membela apa yang telah mereka anggap
haknya. Malamnya mereka berkumpul. Minuman keras dan obat-obatan murahan selalu
menemani mereka. Kadang mereka pun melakukan kejahatan. Menodong, menjambret
atau memukul orang karena tersinggung atau sekedar dendam. Kang Hamid hapal
betul semua itu. Kang Hamid memang ingin membawa mereka dari hidup yang keras
dan tegang seperti itu. Tapi bagaimana caranya? Dia sendiri tadinya hidup
seperti mereka. Kang Hamid mengerti betul bahwa mengajak mereka tidak cukup
dengan nasihat. Harga diri dan kepercayaan terhadap diri sendiri lebih penting
untuk dijaga. Mereka peka, cepat tersinggung.
Maka Kang Hamid merasa sangat
terwakili ketika mereka ditangkapi dan akan dididik untuk bergaul dengan
masyarakat secara wajar. Meski perasaan kehilangannya selalu muncul ketika
memandang trotoar yang lengang, tapi penangkapan itu lebih baik bagi mereka.
Kang Hamid berharap begitu mereka keluar dari ‘sekolah’nya, mereka bisa
merasakan hidup yang lebih baik.
**
Setelah berbulan-bulan Kang
Hamid kesepian, malam itu ia melihat kembali ada anak muda yang duduk
mencangkung di trotoar. Matanya tidak lepas dari bulan yang bersinar penuh.
Sekali waktu ia datang ke kios Kang Hamid dan bicara, “Kang, aku tidak bisa
bekerja. Seluruh orang yang kudatangi menolakku, apalagi masa laluku yang
mereka anggap hitam.”
Tapi bukan itu yang membuat
cemas Kang Hamid.
“Matanya itu, Dul yang
membuatku merinding,” kata Kang Hamid kepada tetangganya. “Sama seperti yang
dulu kulihat.”
“Mata yang penuh dendam?”
“Mungkin.”
“Bukankah mereka telah
ditangkapi dan disekolahkan?”
“Mereka telah dikeluarkan
lagi. Sebagian ada yang datang kepadaku, Dul. Mereka ada yang pulang ke
desanya, ada yang kembali ke orangtuanya, ada yang bekerja di pabrik. Aku
terharu mendengar cerita mereka, Dul.”
“Tapi anak muda yang setiap
malam menatap bulan itu?”
“Dia juga salah seorang di
antara mereka. Aku harap dia sedang berpikir untuk menjalankan kehidupan baru.”
Tapi besoknya Kang Hamid
mendengar kabar ada penodongan di ujung trotoar itu. Dan anak muda yang selama
ini sering menatap bulan itu malam berikutnya datang kepada Kang Hamid. Dari
mulutnya tercium bau minuman keras.
“Kang, nasib telah membawaku
untuk hidup seperti ini. Kehidupan telah menghinaku. Aku harus melawannya,
Kang.”
Malam berikutnya, Kang Hamid
menyaksikan beberapa anak muda berdatangan. Mereka duduk mencangkung di
trotoar. Matanya tidak lepas dari bulan yang pucat. Diam-diam ada air bergulir
dari mata Kang Hamid. Baru kali ini malam terasa begitu sunyi. ***
0 Response to "BULAN DI TROTOAR"
Posting Komentar