RABUN
Bandung Pos, 4 Mei 1994
“Sembilan,” kata Mirsam sambil
menunjuk angka tiga. Orang-orang kaget. Mereka berdesakan maju, ingin jelas
melihat angka yang ditunjuk Mirsam.
“Angka tiga,” kata yang
seorang sambil menunjuk papan pengumuman.
“Tiga,” kata yang lain,
mendukung.
“Sembilan!”
“Tiga!”
Tapi karena Mirsam tetap
menyebut angka sembilan, orang-orang marah. Mirsam ditarik dan ditendang ke
belakang, jatuh di bawah pohon beringin.
“Jelas angka tiga, dibilang
sembilan. Dasar mata rabun,” kata yang menggerutu sambil melihat lagi
pengumuman yang dikeluarkan oleh pemerintah itu.
Kata pengumuman itu, rakyat
mesti tahu jumlah uang yang tersisa untuk pembangunan yang akan datang. Sebab
tanggung jawab pembangunan bukan hanya disandang pemerintah saja, rakyat saja,
atau salah satu golongan.
Seminggu setelah itu, ketika
orang-orang melihat pengumuman baru, Mirsam menunjuk angka delapan sambil
bilang, “Ini angka lima.”
Orang-orang terkejut. Sebagian
menggosok matanya, biar yakin dengan apa yang dilihatnya. Sebagian lagi
mencari-cari orang yang tadi bicara.
“Pantas, yang barusan bicara
si Mirsam,” kata salah seorang setelah ia melihat Mirsam.
“Si Mirsam matanya rabun!”
kata yang lain.
“Mata ikan barangkali! Masa
tidak bisa melihat angka sebesar itu. “
Tapi Mirsam tetap menyebut
angka lima sambil menunjuk angka delapan. Akhirnya orang-orang tak lagi marah,
tapi mentertawakannya. Apalagi ketika malamnya mereka nonton tv di kelurahan,
Mirsam menunjuk sapi yang ada di tv dengan menyebut domba. Sejak itu Mirsam
menjadi tertawaan orang-orang, permainan anak-anak muda yang setiap sore
nongkrong di pos ronda, bahan olok-olok anak-anak yang sedang bermain.
“Mirsam, ini apa?” tanya
anak-anak sambil menunjuk gambar yang ada di koran.
“Badak,” jawab Mirsam tenang.
Anak-anak ramai mendengarnya.
“Kalau yang ini?”
“Gajah,” jawab Mirsam.
Anak-anak bersorak. Yang sedang bermain kelereng berhenti membidik. Yang sedang
mengadu jengkrik berhenti memanasi binatang kecilnya. Orang-orang tua yang
lewat berhenti, ikut tertawa dan bersorak.
Suatu hari, orang-orang
terkejut ketika sedang mempermainkan Mirsam. Sebabnya, mata Mirsam tidak hanya
rabun ketika melihat angka dan binatang saja, tapi juga sudah meningkat ketika
melihat manusia. Ketika Pak Hili, seorang pengusaha besar (orang-orang menyebutnya
konglomerat – yus) yang sedang membeli tanah untuk sebuah pabrik di kampung
Mirsam, berbicara di kelurahan, oleh Mirsam disebut ular. Pak Culna, seorang
mantan pejabat pemerintah (orang-orang menyebutnya koruptor – bukan yus) yang
sedang beristirahat di vilanya di kampung Mirsam, disebutnya harimau.
Yang paling mengejutkan ketika
ada orang kota lengkap dengan rombongan pengiringnya meninjau kampung Mirsam
yang akan dijadikan desa percontohan. Mirsam berbisik kepada orang yang dekat
dengannya ketika sedang melihat orang kota itu. Katanya, “Lihat, kepalanya
seperti lintah. Penuh darah di kepalanya.”
Orang-orang yang mendengar
terkejut. Apalagi ketika Mirsam mengulang kembali lebih keras apa yang
dikatakannya. Upacara ‘meninjau’ tiba-tiba terhenti. Orang kota yang tidak lain
pak gubernur itu tidak melanjutkan tugasnya. Dia marah mendengar perkataan
Mirsam yang kurang ajar. Panitia melotot
kepada Mirsam. Tapi Mirsam tenang-tenang saja, tidak ada yang ditakutkannya.
Panitia bagian keamanan cepat
membawa Mirsam ke belakang. Mirsam dibawa ke kantor polisi dan ditahan dengan
alasan mengganggu ketertiban. Hari keenam baru ia dikeluarkan. Orang-orang
berdesakan ingin melihat Mirsam.
“Mirsam, ini apa?” tanya salah
seorang polisi sambil menunjuk gambar yang ada di majalah.
“”Lintah,” jawab Mirsam
tenang. Orang-orang tak ada yang bicara. Apalagi tertawa. Sebab tertawa artinya
subversi. Foto yang ada di majalah itu adalah foto seorang pejabat negara yang
sangat dikenal
“Kalau ini?” tanya polisi
lagi.
“Harimau.”
“Ini?”
“Bunglon.”
“Ini?”
“Badak.”
Polisi berhenti bertanya.
Mirsam diantarkan ke rumahnya. Keputusan polisi, Mirsam adalah orang sakit
gila, sakit mental, hilang ingatan. Tapi Mirsam tidak boleh diganggu. Ini
adalah aturan baru. Sebab salah-salah nanya, yang nanya bisa dihukum.
**
Bagi saya Mirsam adalah guru.
Sejak kecil saya sering mengikuti ke mana Mirsam pergi. Baca Qur-annya bagus.
Pengetahuannya di bidang sosial, politik, dan kebudayaan cukup luas.
Pembicaraannya selalu berisi. Nilai falsafinya tinggi. Banyak pengetahuannya
yang diajarkan kepada saya, dari mulai mengaji kitab sampai mengaji diri.
Sebenarnya saya tidak terkejut
dengan yang dikatakan Mirsam. Bisa jadi ia yang benar dan orang-orang yang
salah. Sering mata fisik saya yang rabun diobati Mirsam. Sering yang belum
terlihat oleh mataku, oleh mata Mirsam telah diketahui. Maka ketika orang-orang
menyebut Mirsam gila, sakit mental, hilang ingatan, saya tidak percaya. Mirsam
orang sehat, waras. Ketika orang-orang tertawa mendengar jawaban Mirsam saat ditanya,
saya tidak. Ketika orang-orang menjauhi
Mirsam sebab takut disebut subversi, saya tidak. Mirsam tetap guru saya yang
selalu saya dengarkan dan renungkan apa yang dikatakannya.
Suatu waktu, ketika sedang
istirahat sehabis mencangkul kebun, saya bertanya kepada Mirsam.
“Apa benar yang terlihat
olehmu adalah lintah, harimau, ular, badak, dan bukan manusia?”
“Aku hanya jujur.”
“Tapi kejujuranmu membawa
petaka.”
“Memang seperti itu. Kejujuran
itu baik, tapi seringkali menyakitkan.”
Sejak itu saya selalu
bertanya-tanya, apa saya sudah jujur? Maka ketika saya melihat orang-orang
berjalan cepat dan tanpa menghiraukan sekelilingnya, saya jadi heran. Dan
lambat laun, saya juga melihat apa yang dilihat Mirsam. Banyak orang berkepala
binatang, apalagi kelakuannya. Tapi saya tidak yakin, apakah ini kejujuran atau
sakit. Ketika orang-orang saya tanya dan saya sebutkan apa yang terlihat,
mereka bergidik dan berjalan lagi cepat-cepat.
“Aku pun sebenarnya melihat
itu. Tapi kamu harus hati-hati, kamu bisa diasingkan seperti Mirsam,” kata
seseorang, entah siapa, dan pergi lagi cepat-cepat.
Saya sendiri bingung mesti
berbuat apa sekarang. Tapi tiba-tiba saya teringat seorang teman, Hermawan
Aksan, yang pernah bilang bahwa saya mesti cepat-cepat mencari kaca dalam
keadaan seperti itu. “Siapa tahu wajah kita pun sudah berubah dari aslinya,”
katanya.
Saya pun mencari-cari cermin.
Tapi di tempat-tempat umum cermin sudah pecah-pecah. ***
Ingin tahu lebih banyak tentang Bait Surau? Klik saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "RABUN"
Posting Komentar