TAMU
Padang Ekspres, 27-12-2015
Ingin membaca cerpen ini dalam bahasa Sunda? Klik saja DI SINI
Pukul dua belas malam saya terbangun. Suara
ketukan pintu. Siapa yang bertamu tengah malam begini?
Kain gorden saya singkap sedikit. Tamu itu
tersenyum dan mengangguk hormat. Beberapa saat saya menatapnya, tapi tidak
pernah ingat, siapa dan orang mana tamu itu? Pintu saya buka sedikit. Jaga-jaga,
bila ia berbuat jahat, saya bisa langsung menutup pintu dan menguncinya. Bagaimanapun,
menyapa tamu tidak dikenal tengah malam harus hati-hati.
“Mau ke siapa?” tanya saya.
“Mau ke... Tuan.”
Sekilas ide mampir di pikiran saya. “Oh,
mau bertamu ke Tuan pemilik rumah?” tanya saya cepat.
“Iya, betul.”
“Tunggu sebentar.”
Pintu saya tutup dan kunci lagi. Diam
sebentar di tengah rumah. Tengah malam begini bertamu, kurang ajar sekali. Untung
datang ide, pura-pura jadi pembantu rumah tangga sebentar tidak apa.
Pintu depan saya buka lagi sedikit. Tamu
itu tersenyum dan mengangguk lagi.
“Maaf, Tuan masih mengantuk. Nanti saja
datang lagi ke sini.”
“Oh, iya,” katanya maklum.
Pintu saya tutup dan dikunci tanpa
menunggu tamu itu pergi. Saya ke kamar lagi, tidur lagi di sebelah istri yang
tertidur pulas. Sekitar lima menit hanya menatap langit-langit. Tengah malam
begini bertamu, ada perlu apa? Tidak terlalu lama berpikir karena kantuk
kemudian datang, saya tertidur lagi. Tidur yang indah. Malah sempat bermimpi.
Mimpi berpacaran. Bukan, bukan dengan istri. Tapi dengan Neng Rani, pacar
semasa SMA.
“Kita jalan-jalan yuk, Neng,” kata saya.
“Jalan-jalan ke mana?”
“Ke mana-mana juga sama saja, asal bersama
Neng Rani.”
Senyum gadis cantik, membuat lupa
segala-galanya. Tiba-tiba saja sudah sampai ke sebuah telaga. Telaga berair
bening dan tenang. Sebuah sampan membawa kami ke tengah keheningan. Seperti
dalam lukisan China. Pantasnya saya sambil memetik kecapi. Dan Neng Rani
menyanyikan puisi Wang Wai atau Li Tai Po. Saya tatap Neng Rani, perlahan
wajahnya menjadi seperti Zhang Ji-yi. Oh, bukan, dia lebih mirip Gong Li.
“Neng Rani, bagaimana kalau kita ke
negeri Chi....” Belum selesai saya bicara, suara ketukan pintu semakin keras,
mengagetkan saya. Istri saya sudah tidak ada. Saya meloncat dari tempat tidur
waktu melihat jam dinding, sudah hampir pukul tujuh pagi.
Pintu saya buka lebih lebar. Tamu itu
tersenyum dan mengangguk. Bukan tamu yang semalam. Tapi senyum, angguk, dan
sopannya sama.
“Mau ke siapa?” tanya saya.
“Mau ke... Tuan.”
Seperti yang diingatkan dengan jawaban
itu. Saya langsung bertanya lagi, “Oh, Tuan yang mempunyai rumah?”
“Iya, betul.”
“Tunggu sebentar.”
Di tengah rumah diam sebentar. Malas
juga menghadapi tamu tidak dikenal. Saya ke depan lagi.
“Maaf, Tuan sedang siap-siap berangkat
kerja. Nanti saja ke sini lagi.”
“Oh, iya.”
Saya menutup pintu dan menguncinya tanpa
menunggu tamu itu pergi. Tersenyum sedikit. Kerja apaan? Setiap hari juga saya
ada di rumah. Ya, kerja saya kan hanya berjualan kartu pulsa di internet.
Keluar rumah hanya bila mengirimkan kartu itu ke jasa pengiriman. Itu pun ada
dua orang karyawan.
Setelah sholat subsi (subuh menuju
siang), saya memijit remot televisi. Istri saya datang membawa kopi dan pisang
goreng.
“Pak Wali sekarang sudah jadi tersangka
ya, Pak?” tanya istri.
“Soalnya tertangkap tangan menggelapkan
dana proyek stadion, masa tidak ditahan.”
Istri tidak membalas. Dia ke dapur lagi.
Begitulah, setiap pagi saya melihat
berita televisi, meski sebenarnya sudah tahu apa yang akan diberitakannya.
Kalau tidak korupsi, paling artis yang menikah atau bercerai, narkoba dan
bencana.
Ya, sebetulnya banyak permasalahan di
negara kita akhirnya berujung di masalah korupsi. Sementara korupsi, bukan saja
sudah membudaya, tapi juga para pelakunya sudah tidak merasa itu korupsi. Waktu
saya membeli tanah di kampung Wates, yang punya tanah memberi alasan kenapa
kebunnya dijual seperti ini, “Anak saya ingin masuk jadi guru, katanya harus
megang sekitar 75 juta rupiah.” Tarif gelap itu kemudian memanjang; menjadi
polisi seratus juta, menjadi kepala sekolah delapan puluh juta, menjadi pegawai
pemda tujuh puluh juta. Yang menggelikan, menjadi honorer PLN atau Disdik yang
katanya honornya hanya tiga ratus ribu rupiah, tarif gelapnya sampai sepuluh
juta rupiah.
Bagaimanapun, memang susah mencari
kepala dinas, atau kepala bagian saja, yang hidupnya pas-pasan. Rumah bisa
punya di beberapa tempat, ke mana-mana bawa mobil bagus, dan... rekeningnya
gendut. Seperti Sutardi, kabag sejarah di disdik kabupaten, rekeningnya gendut lebih
dari perutnya. Setiap proyek yang diajukannya, ternyata dia sendiri yang
menikmatinya. Pengusaha rekanan bisa fiktif. Atau pengusaha yang sudah
dimanfaatkan surat-surat badan usahanya, lalu didepak.
Saya sendiri hapal ke hal terkecil dari
korupsi. Jaman sekarang, siapa yang bisa bersembunyi di tempat gelap? Jaman
internet, jaman segala gerak-gerik bisa dipantau dari tempat terjauh.
“Pak, sudah ada gulai salmon dan opor
burung unta,” kata istri saya. “Sudah waktunya Bapak makan.”
Terkejut. Sudah siang lagi. Begitu
kebiasaan saya. Sarapan kopi dan goreng-gorengan pukul tujuh. Makan sekitar
pukul sepuluh. Selesai makan lalu membuka laptop. Memeriksa email, webite, facebook,
dan surfing ke banyak alamat. Apalagi di dunia maya, waktu tidak terasa sama
sekali. Saat sedang asyik surfing, terdengar ada yang mengetuk pintu.
Waktu pintu saya buka, tamu itu
tersenyum dan mengangguk. Bukan tamu yang tadi pagi, bukan tamu semalam, tapi
sama-sama tidak dikenali.
“Mau ke siapa?” tanya saya.
“Mau ke... Tuan.”
“Oh, Tuan yang punya rumah?”
“Iya, betul.”
“Tunggu sebentar.”
Di tengah rumah diam sebentar. Biar
dipercaya saja memberitahu yang punya rumah. Setelah sekitar lima menit, saya
ke depan lagi.
“Maaf, Tuan sedang istirahat, cape baru
pulang kerja. Nanti saja datang lagi ke sini.”
“Oh, iya, tidak apa.”
Pintu saya tutup lagi tanpa menunggu
tamu itu pergi. Saya meregangkan tubuh. Lalu menjatuhkan diri ke sofa.
“Pak, perasaan belum lihat Papa sholat
duhur,” kata istri.
“Ah, baru saja adzan.”
“Ih, si Papa, sudah pukul setengah tiga.
Setiap hari begitu saja; sholat subuh menuju siang, sholat duhur menuju ashar.”
Selesai sholat hursar (duhur menuju
ashar), saya menyuruh pegawai menghidupkan mobil. “Papa mau ke kurir pengiriman
dulu,” kata saya ke istri.
“Kenapa tidak menyuruh saja?”
“Sekali-kali sambil jalan-jalan.”
Padahal saya sudah ada janji dengan
Asip. Asip itu informen saya sekarang. Dia yang memberi saya segala informasi
tentang Sutardi pemilik rekening gendut itu.
“Kabag ini pintar ngumpulin duit,”
katanya saat pertama bekerjasama. “Ini nomor rekening yang gendutnya, nomor
kartu kredit, alamat facebook, twitter, dan pin BB. Terserah Bapak bagaimana
cara mengelabuinya.”
Saya tersenyum. Ya, sebenarnya saya ini
seorang hacker. Tinggal diserbu dengan fishing ke email atau facebook atau ke
alamat lainnya. Tentu sambil diawasi segala gerak-geriknya. Seksinya Gadis
Mabuk, begitu saya memberi judul fishing yang diberi ilustrasi seorang gadis
yang bajunya segala terbuka, kecuali ujung pahanya yang tertutup. Lalu saya
kirim ke banyak alamat Sutardi.
Begitu biasanya saya bekerja. Urusan
internet, dua karyawan saya adalah ahlinya. Setelah ada pancingan saya yang
mengena, saya menggenggam kata kunci atau PIN, tinggal mengalihkan isi rekening
gendut dan menguras kartu kreditnya. Ya, berjualan pulsa itu sekedar kamuflase.
Nah, bertemu dengan Asip sekarang
sekedar meminta informasi baru, siapa lagi yang layak dikerjai dengan fishing.
Tentu saja sambil berbagi penghasilan. Sutardi yang besok-lusa menjerit setelah
sadar kekayaannya hilang, biarkan saja, dia sendiri kan tidak pernah memikirkan
orang lain yang kesusahan.
Tentu saja saya mempunyai rekening
gendut juga. Kebun, rumah, mobil, villa, saham, tidak ingat lagi berapa
kepunyaan saya. Sertifikat dan surat-surat berharga menumpuk di bank. Sesekali
jalan-jalan, saya biasa keliling Eropa, menyusuri Afrika, beristirahat di
Australia. Tentu sambil ditemani oleh Agnes, Ayu, Cita, Nikita, Alisa, atau gadis
muda lainnya. Istri saya tentu tidak tahu. Setiap saya ke luar negeri, dia
tahunya saya berbisnis internet.
Tidak lama sebenarnya berbincang dengan
Asip. Tapi entah dari mana memulainya, perbincangan selanjutnya membuat saya
gerah.
“Dulu saya juga kalau main sama Ririn
sepertinya selalu ingin, setiap bersentuhan saya tidak tahan,” kata Asip. “Sekarang
jangankan begitu, mau hidup saja punya saya harus dimainkan dulu. Ya, mestinya
saya memang sudah berpikir lain. Sudah banyak kenikmatan yang berkurang, banyak
penyakit yang terasa. Penglihatan, kekuatan, sudah berkurang. Encok, asam urat,
gula, sudah datang. Usia memang tidak
bisa dikelabui. Saya ini sudah hampir enam puluh tahun. Bapak sendiri sekarang
berapa tahun?”
Terkejut tentu saja. Sudah lama tidak
ada yang bertanya usia. Saya sendiri sering melupakannya. “Saya sih sudah masuk
enam puluh,” kata saya pelan.
“Nabi saja hanya lebih tiga tahun dari
enam puluh. Nabi sejak kecil beristigfar, menyadari dan bertobat dari kesalahan.
Sementara kita?”
Deg! Baru kali ini saya merasa sudah
kakek-kakek. Kakek-kakek kurang ajar. Ya, kelakuan perasaan masih belum
berubah. Menipu sana-sini, mengumbar napsu. Sholat di rumah sekedar mengelabui
istri. Tuhan saja saya permainkan. Baru terpikir, yang tertipu sebenarnya saya
sendiri.
Tidak lama bertemu Asip. Saya cepat
pulang. Hati ini perasaan menjadi tidak enak. Sampai di rumah sudah gelap. Di
teras banyak tamu. Ada yang duduk di kursi, di teras, yang berdiri. Beberapa
orang menghampiri begitu melihat mobil saya masuk halaman.
“Mau ke siapa?” tanya saya tanpa turun
dari mobil.
“Mau ke... Tuan. Semua tamu itu mau
bertemu Tuan.”
“Oh, ada perlu apa, ya?”
“Ah, tidak apa-apa. Sekedar silaturahmi
saja.”
“Maaf, saya tidak mengenal Bapak-bapak.
Siapa dan dari mana, ya?”
“Oh, perkenalkan nama saya... Uban!”
“Kalau nama saya... Pikun!”
“Saya yang bisa dipanggil... Encok!”
“Kalau saya....”
Tidak terdengar lagi apa yang dikatakan
yang lainnya, karena saya sudah tidak ingat apa-apa lagi.
**
Pamulihan, 27 Februari 2015
Cerpen Ini Didukung Oleh:
Ingin tahu lebih banyak? Klik saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "TAMU"
Posting Komentar