SECANGKIR ANGGUR
Bandung Pos, 15 Februari 1992
Emak, saat ini hampir jam dua belas
malam. Aku, anak bungsumu itu, sekarang ada di tempat hiburan. Bersama Anita,
teman kuliah yang bekerja di tempat ini.
Sejak tadi sebenarnya aku merasa pusing. Suara hingar musik dan
lampu menyebabkan mataku kecapean, membuatku tak betah tinggal di tempat
seperti ini. Beda dengan di rumah kita, Emak. Kalau kebetulan kita duduk-duduk
di teras rumah, suara jangkrik dan binatang malam lainnya, begitu lembut,
seperti tangan Emak waktu mengusap-usap kepalaku. Apalagi kalau kebetulan bulan
dan bintang bersinar. Meski bintang itu banyak, jauh lebih banyak dibanding
lampu di tempat ini, tapi tidak membuat mataku letih. Aku selalu ingin
menatapnya lama-lama. Mengapa, ya, Emak, lampu di dalam ruangan ini
galak-galak? Mataku saja sampai berair menahan perih.
Di bawah gemerlap lampu itu, berpuluh
pasang manusia asyik berdisko. Gayanya banyak yang aneh-aneh. Lucu-lucu. Aku
senang melihatnya. Dulu pun kalau ada acara dangdutan, aku dan teman-temanku
biasanya mencari gaya yang aneh-aneh. Biar jadi perhatian penonton.
Tapi Emak, saat kutelusuri pakaian
orang yang sedang berdisko itu, tiba-tiba jantungku berdenyut kencang.
Bayangkan, ada rok yang sejengkal di atas lutut. Ketat-ketat. Dan sebagian
pasangan, berangkulan. Ini mungkin tidak termasuk kategori aneh, karena mereka
melakukannya tanpa canggung. Ah, kenapa justru aku yang jadi malu ya, Emak.
Aku ingin pulang, Emak. Tak kuat
telingaku dengan suara hingar dan mataku perih dengan lampu-lampu silau itu.
Tapi untuk menyatu dengan lingkungan yang baru, bagaimanapun aku harus
mengetahui kebiasaannya. Maka malam ini, ketika Anita, Boy dan Rista mengajakku
ke tempat ini, aku ikut. Aku memang harus mengetahui kebiasaan orang-orang di
kota ini. Setelah aku lulus sekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi,
kebiasaan aku di kampung rasanya harus diganti juga.
Meski sudah diperkirakan, aku tetap
bingung berada di tempat seperti ini. Anita mungkin melihat kebingunganku. Dia
menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Kenapa tidak ikut disko?”
“Tidak bisa,” jawabku jujur. Kenapa
tiba-tiba aku mesti malu? Padahal itu wajar, karena aku baru masuk ke tempat
seperti ini. Kalau saja musiknya dangdut, aku pasti bisa berjoget.
“Tidak bisa?” tanya Anita kaget. Tapi
kemudian dia biasa lagi. Mungkin baru ingat, asalku adalah kota kecil yang
masih sederhana.
“Bagaimana caranya, Nit?”
“Biasa saja. Perhatikan mereka.”
Anita menunjuk pasangan di hadapannya. “Pokonya bebas, asal kita menikmatinya.
Ayo, coba.”
Aku mulai menggerakkan tangan dan
Anita tertawa menyaksikanku. Aku pun tertawa, menertawakan ketololanku.
Emak pasti nanya, siapa Anita? Bukan,
Anita bukan pacarku. Dia hanya teman yang sejak mulai kuliah selalu bareng ke
mana-mana. Anita baik, Emak. Dia yang telah bercerita banyak tentang kota ini.
Anita pun anak bungsu, semua kakaknya telah menikah. Bapaknya telah meninggal.
Itulah alasannya mengapa dia bekerja di tempat seperti ini. Dia memang
perempuan yang hebat, Emak. Meski karena pekerjaannya, banyak temanku yang
menyebutnya bondon atau perek, tapi ia tetap teguh.
Malam-malam berikutnya aku rajin
mengikuti Anita ke tempat kerjanya, meski Rista dan Boy berhalangan hadir.
Dialah yang banyak bercerita tentang keadaan tempat ini. Selain berdisko,
bagaimana tempat ini dipakai minum-minum, menghilangkan stress, atau
sekedar bersantai saja.
Seperti suatu malam, Anita duduk di
hadapanku dan menuangkan anggur yang dibawanya.
“Minumlah, biar badanmu hangat,”
katanya sambil mengangkat cangkirnya.
Aku meminum anggur itu. Badanku
hangat, tapi tenggorokanku serasa dibakar. Anita kemudian banyak bercerita
tentang minuman itu. Dia melarangku untuk minum terlalu banyak, karena minuman
itu dapat memabukkan. Kalau sudah mabuk, orang tidak lagi berpikir dengan otak
dan akalnya. Kalau hidup tidak lagi menggunakan otak dan akal, kita tidak
berbeda dengan binatang. Begitulah, Emak, aku banyak belajar dari Anita, gadis
yang rambutnya seperti bunga mayang itu.
Bermula dari secangkir anggur yang
ditawarkan Anita itulah, aku banyak mengenal cangkir-cangkir lainnya. Tapi aku
tidak terbuai. Tidak mungkin aku menyatukan minuman itu dengan butir-butir pil
warna-warni yang sanggup membuat kita lebih mabuk. Tidak mungkin aku mau ketika
perempuan setengah baya menawarkan beberapa cangkir anggur dan beberapa butir
pil kepadaku, lalu mengajakku untuk
nginap di hotel atau villa. Ya, aku memang tak akan mungkin minum terlalu
banyak dan mabuk.
Aku hanya berusaha memahami keadaan
di tempat ini. Tapi semakin aku banyak tahu, aku semakin merasa tersiksa. Tapi,
kalau aku tak lagi datang ke tempat ini, aku takut dikatakan berselera rendah oleh teman-temanku. Padahal
aku tak yakin, apakah keadaan di sini berselera tinggi? Tiba-tiba aku begitu
ragu untuk menentukan sikap. Mungkin mereka pun sama-sama tersiksa sepertiku, tapi
tak kuasa untuk melepaskan diri.
“Kenapa mau melakukan pekerjaan
seperti ini?” tanyaku pada suatu kesempatan kepada seorang perempuan yang
mungkin umurnya lebih tua dariku beberapa tahun. Dia datang ke tempat ini untuk
mencari seorang remaja lelaki untuk memenuhi pesanan seorang tante, atau
seorang gadis yang dipesan seseorang. Di meja yang kami hadapi ada sebotol
anggur yang tadi dipesan perempuan itu.
Perempuan itu malah tertawa mendengar
pertanyaanku. “Kenapa kamu mesti sok menjadi orang baik? Kalau tidak mau ya
sudah, masih banyak orang lain yang mau,” kata perempuan itu judes sambil
meminum anggurnya. Lalu dia pergi meninggalku aku. Beberapa saat dia telah
merayu lagi seorang remaja lelaki.
Anggur yang dituangkan secangkir demi
secangkir itu, dan pil yang ditelan coba-coba itu, telah mempengaruhi remaja
lelaki itu. Dan setelah otak dan akalnya dipengaruhi anggur dan pil, remaja
lelaki itu pergi dengan perempuan itu.
Begitulan permulaannya, Emak.
Malam-malam berikutnya remaja lelaki itu tidak lagi susah untuk diajak pergi.
Pasangannya gonta-ganti dan dia sudah mulai sebagai profesional merayu
gadis-gadis yang baru terperangkap tempat ini. Generasi demi generasi.
Mengerikan, Emak, tempat ini seperti serangga yang melahirkan korban begitu
banyak.
Seperti waktu yang lalu,
keterkejutanku berubah pelan-pelan menjadi biasa. Begitu juga ketika kuketahui
bahwa Anita pun melakukan apa yang dikerjakan perempuan yang pernah mengajakku
kencan itu. Selain itu, seperti yang dituduhkan banyak orang, Anita ternyata suka
dibawa oleh lelaki yang mau membayarnya, entah ke mana.
Ketika kusaksiakan Anita merayu
seorang remaja lelaki yang betul-betul buta tempat ini, suatu malam, aku tidak
lagi heran. Dan dengan anggur dan pil yang ditawarkannya, remaja lelaki itu
mulai terbuai dan menyerah. Malam demi malam remaja lelaki itu semakin
dimatangkan oleh pengalaman, akhirnya dia pun menjadi pemangsa yang lihai.
Anggur dan pil itu memang keparat,
Emak. Telah banyak korban yang dijerumuskannya, meski akhirnya yang menentukan
adalah diri kita sendiri. Tuduhan kepada anggur dan pil itu mengungkapkan bahwa
yang menuduh itu memang kerdil.
Malam ini lelaki itu telah minum
bercangkir-cangkir anggur dan sebutir pil kualitas tinggi. Lalu dengan dibopong
perempuan setengah baya, dia masuk ke dalam mobil, entah mau ke mana.
Kasihan ya, Emak, lelaki itu. Otak
dan akalnya telah benar-benar dikalahkan. Kalau kebetulan Emak melihatnya, Emak
pasti terkejut, karena lelaki itu... adalah aku, anak bungsumu itu.
***
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "SECANGKIR ANGGUR"
Posting Komentar