SURAT CINTA
Tabloid NOVA, 10 Maret 2002
“Barangkali saya memang
mencintai Ibu. Apa namanya kalau seringkali saya mengingat Ibu, senyum Ibu,
kebaikan Ibu, perhatian Ibu, selain cinta?...”
Surat berwarna fink dan harum
bunga itu dibaca lagi oleh Ita. Surat khas anak-anak remaja. Sudah hampir
setahun Ita menyimpannya di laci meja kerjanya, menumpuk bersama surat-surat
lainnya. Akhirnya dia memang merasa surat-surat itu istimewa. Makanya Ita tidak
membuangnya, menyobeknya, atau membakarnya seperti surat-surat dari para
pengagum dadakannya sejak di kampus.
“Lama sebenarnya saya
menimbang-nimbang, dikirim atau tidak surat-surat ini. Akhirnya, dengan segenap
keberanian, saya memutuskannya untuk mengirim. Saya yakin, diterima atau tidak
cinta saya, Ibu akan tetap baik. Daripada saya hanya menulis di buku harian,
sampai berbuku-buku, tidak ada yang ngomentarin. Jadi mending dikirim ke Ibu,
ditolak atau tidak, berlapang dada saja...”
Seringkali Ita hampir menangis
setiap membaca lagi surat-surat itu. Dulu, ketika pertama menerima surat-surat
itu, dia hampir meledak. Marahnya bukan main. Pipinya merah. Untung saja surat
itu dibacanya setelah Ita sampai di kamar kostnya. Tadi, sepulang sekolah,
ketika Doni memberikan surat itu, Ita tidak menyangka itu surat cinta.
Sebagai guru, Ita memang masih
magang. Baru dua tahun dia ngajar setelah tamat kuliah. Tapi dikirim surat
cinta oleh murid, anak SMP yang masih memakai celana pendek, bagaimana
terhinanya?
Besoknya anak ingusan yang
masih jerawatan itu dipanggil oleh Ita ke ruang BP. Ita marah habis-habisan.
Segala perbendaharaan memakinya dikeluarkan. Doni tidak diberi kesempatan
menyela. Dan anak itu tiba-tiba keluar sambil membanting pintu. Bruk! Ita
merasa hatinya yang terbanting. Begitu menyakitkan.
Hari itu juga Doni tidak kelihatan
di sekolah. Mungkin dia kabur. Tapi Ita tidak perduli. Anak kurang ajar seperti
dia memang harus diajar adat, sopan-santun. Seminggu Doni tidak masuk sekolah
tanpa keterangan. Kepala Sekolah menulis surat teguran kepada orang tuanya. Ita
masih tidak perduli. Itu juga sudah lebih baik. Coba kalau dia ngoceh kepada guru-guru lainnya
bagaimana kurang ajarnya anak itu mengirim surat cinta kepadanya.
Entah hari ke berapa, ada
utusan orang tua Doni (entah paman, pembantu, atau apanya) datang dan meminta
surat pindah untuk anak itu. Ita masih tidak perduli. Tapi sekali waktu, ketika
dia terlambat pulang sekolah, ada murid yang mencegatnya di depan sekolah dan
memarahinya tanpa sebab; Ita mulai memikirkan Doni.
“Kamu brengsek! Guru brengsek!
Kamu tidak mengerti perasaan orang! Kamu nyatanya sama saja dengan orang
lainnya! Yang sok moralis padahal bobrok! Yang sok nasihat padahal sakit!”
teriak anak yang kemudian diketahui mabuk itu.
Astagfirullah. Ita terkejut
dan berulangkali mengurut dada. Barangkali dia akan pingsan ketakutan kalau
tidak segera satpam datang dan membawa anak itu. Besoknya murid sekelas dengan
Doni itu diskor oleh Kepala Sekolah. Tapi di rumah, Ita jadi tidak tenang. Dia
merasa, surat Doni itu tidak sekedar surat cinta. Masa anak ingusan seperti itu
naksir teteh-teteh yang pantas menjadi kakak tertuanya, wanita yang sudah
matang untuk menikah. Tapi di mana Doni sekarang? Pindah ke sekolah mana anak
itu?
Barangkali Ita harus bersyukur
karena kemudian surat-surat Doni datang ke tempat kostnya melalui pos. Anak itu
menceritakan segala hal.
“Saya memang sakit hati ketika
dimarahi Ibu. Saya tidak mau lagi bertemu dengan Ibu yang tiba-tiba saja jadi
begitu brengsek saat saya mengenangnya. Tapi lama-lama perasaan saya jadi lain.
Di pikiran saya, Ibu memang keterlaluan, tidak peka, sama saja dengan
orang-orang brengsek lainnya. Tapi perasaan saya tetap yakin, Ibu adalah wanita
yang paling baik yang pernah saya kenal. Makanya saya mengirim surat-surat ini.
Karena pelarian saya hanya menulis dan menulis. Saya tidak punya siapapun yang
bisa mendengarkan, yang mencintai saya, yang begitu baik dan perhatian seperti
Ibu. Kalaupun Ibu marah lagi, surat saya langsung dibakar atau dibuang,
terserah saja, saya kan tidak melihat.”
Kemudian surat-surat itu
mampir di tempat kost Ita hampir seminggu sekali.
**
Ita rasa tidak ada yang tahu
bahwa Doni sering menulis surat kepadanya. Guru-guru atau bekas teman sekelas
Doni tidak pernah ada yang membicarakan anak itu lagi. Ita sendiri tidak pernah
menceritakan surat-surat itu kepada siapapun. Sekali waktu, Ita membalas surat
itu dan jadilah mereka bersurat-suratan.
Ita sering menulis pernyataan:
“Ibu membalas surat-suratmu bukan berarti menerima cintamu, seperti cintanya
seorang wanita kepada lelaki yang dipujanya. Ibu mencintaimu seperti kepada
adik, murid atau sebangsanya seperti itu.”
Rasanya pernyataan itu memang
harus selalu diulang, biar Doni tidak mengumbar pernyataan-pernyataan cintanya
yang tidak wajar itu. Dan nyatanya anak itu memang mengerti. Sekali waktu dia menulis
seperti ini:
“Rasanya cinta saya kepada Ibu
memang tidak seperti cinta seorang lelaki yang berharap sekali waktu bisa
melamar. Saya tidak mau menikah. Saya hanya merasa Ibu adalah wanita terbaik
yang pernah saya kenal. Ibu tidak sebrengsek Mama, tidak sebajingan Papa, tidak
sekasihan kakak yang bertahun-tahun tidak sembuh-sembuh dirawat karena
kecanduan heroin, tidak se-sok orang-orang tua lainnya.”
Harus Ita akui bahwa
surat-surat Doni membawa kesadaran baru baginya. Kesadaran untuk lebih
memperhatikan, begitu banyak murid-muridnya yang mulai belajar merokok sampai
terlibat narkoba. Makanya ketika Kepala Sekolah memintanya untuk menjadi
pembimbing BP, Ita menyanggupinya dengan suka cita.
Tapi belum genap sebulan dia
mengajak bicara murid-murid yang bermasalah atau yang curhat, ada murid yang datang ke ruangannya dan marah-marah.
“Apa bagusnya kamu jadi guru BP! Doni dulu minggat dari sekolah ini
gara-gara kamu, gara-gara kebrengsekan kamu!”
teriak Roni, bekas teman sebangku Doni. Ita terkejut. Dia ingat, anak
ini juga yang dulu memarahinya di depan sekolah. Tapi Roni kemudian menangis
dan pergi begitu saja. Anak itu kemudian ketahuan sedang mabuk.
Ternyata, ketika diadakan
razia, seringkali ada anak yang mabuk, atau ngeganja,
saat istirahat di belakang kantin. Ibu Kantin bersumpah di depan Kepala Sekolah
dan guru-guru, dia tidak tahu minuman keji itu dari mana didapatkan anak-anak.
Mungkin ada yang sengaja menyelundupkannya. Ita tidak habis pikir, kok tega ada
orang yang menjual minuman beralkohol itu di seputar sekolah.
Berhari-hari mendekati
anak-anak bermasalah itu, Ita merasa frustrasi. Anak-anak itu sepertinya sudah
kebal dengan nasihat. Berulang kali dia membagikan brosur, menerangkan
bagaimana laknatnya minuman keras, ganja, dan benda-benda perusak lainnya. Tapi
selalu saja ada anak terlibat, meski seringnya di luar sekolah.
Diam-diam Ita mengeluhkan
frustrasinya kepada Doni. Segala cara memang telah dia tempuh. Buku-buku
psikologi telah dibacanya, shering
dengan guru-guru lainnya telah dilakukan. Nyatanya anak-anak itu bukannya
sadar, tapi malah bertambah anggotanya, bertambah kasusnya.
Meski lama, surat Doni datang
juga. Ita memang menjadi gemes akhir-akhir
ini. Anak itu semakin lambat mengirim surat. Diam-diam Ita memang merasa
kangen, kangen terhadap anak yang bicara jujur seperti Doni, yang mengeluhkan
segala masalahnya.
“Maafkan bila surat saya
terlambat. Saya memang kangen kepada Ibu, ingin bertemu Ibu, tapi saya tidak
punya banyak waktu lagi menulis surat. Saya ingin Ibu adalah sosok yang
benar-benar ada. Sosok yang baik, yang mencintai setulusnya, yang benar-benar
milik saya. Bukan sosok yang marah-marah ketika dikirim surat cinta. Bukan
sosok yang hanya ada dalam bayangan, dalam fly
saya. Saya sendiri semakin kecanduan Ibu. Saya ingin lepas dari neraka ini.
Saya ingin cinta Ibu. Saya rasa teman-teman yang lainnya pun sama. Mereka ingin
cinta Ibu.”
Ita hampir melonjak membaca
surat pendek itu. Selama ini Doni tidak pernah menceritakan suka mengkonsumsi
apapun yang membuat fly. Kecanduan apa
anak itu? Ita berharap mendapat kabar anak itu hanya bercanda. Tapi setiap kali
dihubungi ke rumahnya, dari data-data murid yang telah menumpuk di gudang,
tidak pernah ada Doni atau orang tuanya. Pembantunya yang mengangkat telepon
hanya mengatakan tidak tahu apa-apa.
Roni barangkali tahu tentang
Doni. Tapi anak itu tidak pernah datang ketika Ita memanggilnya ke ruang BP.
Terpaksa Ita yang menghampiri anak itu di belakang kantin saat istirahat. Tapi
Roni malah marah-marah ketika Ita menanyakan Doni.
“Buat apa nanya-nanya Doni.
Dia semakin terjerumus gara-gara kamu. Lapor saja ke Kepala Sekolah biar saya
diskor. Keluarkan saya dari sekolah ini. Saya tetap benci kamu. I hate you, Ibu
Rita!”
Roni pergi entah ke mana.
Murid-murid lainnya memperhatikan Ita yang bengong
sendirian. Hampir pecah tangisnya di tempat itu juga. Tapi Ita menahannya.
Dia berlari dan menangis sejadi-jadinya di kantor BP. Ketika Kepala Sekolah dan
guru-guru lainnya berdatangan, Ita tidak menceritakan apapun.
**
Doni memang dirawat di rumah
sakit. Dia tidak ingat-ingat, pingsan, setelah over dosis di kamarnya. Ita tahu
kabar itu setelah maksa kepada
pembantu yang selalu mengangkat telepon itu. Di rumah sakit, selain orang tua
dan teman-teman sekolahnya, Roni juga ada.
Dan senja itu, setelah enam hari dirawat, Doni melepaskan napasnya
yang terakhir. Ibunya menangis. Bapaknya menunduk. Roni memukul-mukul tembok
dan pergi begitu saja ketika Ita menghampirinya. Sampai Doni dikuburkan, ketika
teman-teman sesekolahnya, juga teman-teman sekolah dulu, ikut melepas
kepergiannya; Ita tidak lagi melihat Roni.
Ita merasa Roni dan Doni
adalah sahabat dekat. Tapi Ita tidak mengerti, kenapa Doni tidak pernah cerita
kepada Roni, tentang hubungan mereka selama ini. Ita ingin segera
memperlihatkan kepada Roni bahwa dia suka bersurat-suratan dengan Doni, bahwa
mereka berteman baik, tidak marah-marahan seperti dulu. Tapi Roni tidak pernah
ada lagi. Anak itu pindah sekolah seminggu kemudian.
Ita takut yang terjadi kepada
Doni, terjadi lagi kepada Roni. Tapi anak itu tidak bisa lagi dihubungi. Pindah
entah ke mana. Setiap rumahnya ditelepon, yang mengangkat selalu penjaganya.
Ketika Ita memaksa meminta nomor ponsel ayah Roni, penjaga itu memang memberi
tahu, tapi dengan syarat Ita tidak boleh mengatakan dari siapa nomor itu
didapatkan. Ita memang ngotot untuk menghubungi Roni. Tapi begitu ponsel
ayahnya dihubungi, dari sana terdengar nada yang marah.
“Apa urusannya Anda
nanya-nanya anak saya. Mau dipindahkan ke manapun si Roni, itu hak saya.”
Telepon itu pun terputus. Gagang telepon yang berdenging itu masih digenggam
Ita beberapa saat. Dia merasa ada yang bergetar di dalam hatinya. Barangkali
cintanya. Cinta yang terlambat tersentuh.
***
Cisitu-Dago, 6 Januari 2002.
Cerpen Ini Didukung Oleh:
Cerpen Ini Didukung Oleh:
Ingin tahu lebih banyak tentang Bait Surau? Klik saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "SURAT CINTA"
Posting Komentar