JUARA YANG LANCUNG



Majalah Ummi, Desember 2014

Isti kecewa. Pengumuman lomba mengarang cerpen di sekolahnya sudah dibacakan Bu Cici saat upacara bendera. Dan yang terpilih adalah Verni. Verni maju ke depan dengan diantar gemuruh tepuk tangan teman satu sekolah. Bu Cici sebagai kepala sekolah menyalaminya, memberinya piala, dan memeluknya. Guru-guru yang lainnya juga menyalami Verni yang tidak berhenti tersenyum gembira.
Bukan, Isti bukan kecewa tidak memenangkan lomba mengarang tahun ini. Tapi Isti kecewa yang menang adalah Verni. Seandainya yang menang adalah teman lainnya, Isti tidak akan sekecewa sekarang.
Kenapa mesti kecewa karena yang menang Verni? Karena Isti tahu rahasianya. Sebulan yang lalu Verni selalu datang ke rumahnya. Dia banyak bertanya tentang membuat karangan. Verni mengaku senang mengarang. Isti tentu senang menyambutnya. Isti merasa punya teman yang sehobi dengannya.
“Kita mengarang bareng saja. Siapa tahu di antara kita ada yang memenangkan perlombaan kali ini,” kata Isti waktu itu.
“Makanya aku datang ke sini,” sambut Verni. Sudah dua tahun kamu memenangkan lomba mengarang cerpen. Aku ingin tahu cara kamu mengarang. Sepertinya tahun ini pun kamu akan memenangkannya lagi.”
Isti tersipu malu. Katanya, “Belum tentu. Mengarang itu dipengaruhi oleh ide. Seandainya saya belum mendapatkan ide bagus, jalan cerita yang menyentuh, tentu cerpennya tidak akan bagus. Nah, bila ide bagus itu kamu yang menemukan duluan, tentu kamu lebih berpeluang menang.”
Isti lalu menunjukkan koleksi bukunya. Mengarang itu harus banyak membaca. Kita jadi tahu ide-ide karangan orang lain. Siapa tahu dari ide orang lain itu akan muncul ide kita. Lalu Isti pun mengeluarkan koleksi majalah warisan dari kakaknya.
“Setiap mau mengarang cerpen, saya membaca-baca lagi cerpen di majalah dan buku,” kata Isti. Verni mengangguk. Lalu mereka sibuk membuka-buka dan membaca buku dan majalah.  
Ketika mengarang Isti sudah melupakan buku dan majalah yang dibacanya. Tapi Verni tidak. Dia menyalin sebuah cerpen dari sebuah majalah.
“Kalau menyalin seperti itu tidak boleh, itu namanya plagiat,” kata Isti. “Lagipula kalau menyalin seperti itu, mana karangan kitanya?”
Verni malah cemberut. Dia merasa karangan di majalah itu bagus sekali. Dia merasa tidak akan bisa mengarang seperti itu. Karenanya dia menyalin sepenuhnya. Guru-guru kan tidak akan tahu, karena cerpen itu diambil dari majalah lama.
Itulah rahasia Isti. Dia ingin memberi tahu Bu Iis, wali kelasnya yang juga salah seorang juri. Tapi hatinya selalu ragu. Kalau dia melaporkan kecurangan Verni, apakah itu karena iri? Tidak, Isti tidak seperti itu. Dia berbesar hati tidak memenangkan lomba kali ini. Tapi dia gundah karena tahu yang memenangkan lomba kali ini adalah temannya yang curang.
Akhirnya Isti memutuskan untuk tidak bicara ke siapapun. Kalaupun Verni yang curang, itu tanggung jawabnya. Karenanya ketika Bu Iis memintanya untuk membantu Verni mempersiapkan lomba mengarang cerpen tingkat kabupaten, Isti membantunya. Dia mengumpulkan cerpen-cerpen dari buku dan majalah yang dianggapnya bagus. Semuanya diberikan kepada Verni agar ia rajin berlatih.
Hampir setiap hari sepulang sekolah Verni diberi pengarahan oleh Bu Iis dan Pak Didi. Isti memandangnya sambil tersenyum. Dia menginginkan sekali mengikuti lomba mengarang cerpen tingkat kabupaten. Tapi kesempatan itu diambil oleh temannya. Untuk mengobati kekecewaannya Isti setiap hari membaca-baca lagi buku dan majalah. Begitu mendapat ide sendiri, dia menuliskannya. Beberapa cerpen telah selesai ditulisnya.
Suatu hari Verni tidak masuk sekolah. Waktu istirahat Isti dipanggil oleh Bu Iis.
“Lomba mengarang cerpen tingkat kabupaten seminggu lagi. Lomba ini mengharuskan semua peserta mengarang langsung di tempat,” kata Bu Iis. “Nah, Ibu dan Pak Didi sudah sepakat, kamu yang terpilih mewakili sekolah kita.”
Isti terkejut. Gembira bercampur heran.
“Saya kan tidak memenangkan lomba di sekolah, Bu.”
“Hampir setiap hari Ibu dan Pak Didi melatih Verni. Tapi sepertinya dia tidak bisa-bisa. Verni sangat gelisah setiap dites mengarang. Akhirnya dia menangis, berterus terang apa yang sudah dilakukannya.”
Isti mengangguk mengerti. Siangnya sepulang sekolah, Verni sudah menunggu di rumah Isti. Verni memeluk Isti, menangis, memintanya maaf.
“Jangan meminta maaf kepada saya, Ver. Kamu tidak bersalah kepada saya. Kamu bersalah kepada dirimu sendiri. Meminta maaflah dengan tidak mengulanginya lagi.”
“Ya, saya tahu itu. Terima kasih. Saya sedih sudah melakukan kecurangan. Tapi saya bahagia telah mempunyai teman sebaik kamu.”
“Kita bisa memulainya lagi dari awal. Saya senang punya teman yang sehobi. Kita saling belajar, karena setiap kita mengarang kita itu belajar lagi.”
Verni tersenyum. ***




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "JUARA YANG LANCUNG"

Posting Komentar