JANJI SAHABAT

Lampung Pos, 18 Oktober 2015

Jaman dahulu ada dua orang anak yang bersahabat. Namanya Kicaka dan Kiciki. Mereka tinggal di sebuah desa terpencil. Sejak kecil Kicaka dan Kiciki selalu bersama. Mereka bermain di sungai bersama. Mereka menyabit rumput bersama. Mereka belajar mengaji di surau bersama. Mereka menggembalakan kambing bersama.
Bila Kicaka punya makanan, Kiciki pasti diberinya. Bila Kicaka punya kesusahan, Kiciki pasti membantunya. Begitu juga sebaliknya. Mereka sudah seperti saudara saja.
“Kedua anak itu seperti madu dengan manisnya, tidak bisa dipisahkan,” kata orang sekampung.
Memang begitulah adanya. Mungkin persahabatan itu disebabkan oleh sipat mereka yang hampir sama. Kedua anak itu sama-sama suka mengalah kalau bertengkar dengan anak-anak lainnya. Kacaka dan Kiciki sama-sama giat bekerja, membantu orang tua. Mereka menganggap mengembala kambing, menangkap ikan di sungai, menyabit rumput, sebagai bermain. Jadi tidak pernah mereka mengeluh kalau disuruh oleh kedua orang tuanya.
Setelah beranjak remaja Kicaka dan Kiciki mengembara ke kota. Kicaka mendapat pekerjaan di sebuah warung nasi. Kicaka setiap hari menyapu, mengepel, mencuci piring, dan membantu memasak. Kicaka tidur di warung itu. Menjaga warung itu kalau malam. Juga tugasnya menghangatkan makanan dan membuka warung pagi-pagi.
Kiciki mendapat pekerjaan di sebuah pabrik penggilingan padi. Kiciki setiap hari mengangkut padi dan menggilingnya. Kalau sedang musim panen, pekerjaannya bertambah banyak. Kadang dari subuh sampai tengah malam masih bekerja. Majikannya sering membawanya berkeliling ke sawah-sawah yang sedang panen, membeli padi dari petani.
Meski bekerja keras, upah mereka tidaklah terlalu besar. Karenanya mereka tidak sanggup menyewa kamar sendiri. Kicaka tidur di lantai warung nasi bila warung nasi itu sudah tutup. Alas tidurnya hanya sehelai tikar dan sebuah bantal. Kiciki tidur di lantai penggilingan padi. Alasnya juga sehelai tikar dan sebuah bantal.
Suatu hari Kicaka mendapat musibah. Dia dituduh telah membunuh seseorang. Ada mayat tergeletak di depan warung nasi tempatnya bekerja. Kebetulan orang pertama yang menemukan mayat itu adalah Kicaka. Karena tidak ada yang tahu siapa yang membunuh mayat itu, maka Kicaka pun dituding membunuhnya
“Hamba tidak membunuhnya, Tuan Hakim. Subuh itu hamba terbangun karena ada ribut-ribut di depan warung. Begitu hamba melihatnya, ternyata ada mayat,” kata Kicaka.
“Tapi tidak ada yang menjadi saksi bahwa kamu tidak membunuh. Karenanya kamu tinggal menunggu keputusan apa hukumannya,” kata Hakim.
Hukuman yang dijatuhkan Hakim ternyata hukuman gantung. Tentu saja Kicaka terkejut. Besoknya di alun-alun sudah dibuat gantungan. Pagi itu Kicaka digiring ke tiang gantungan. Wajahnya begitu bersedih. Airmatanya mengalir perlahan. Orang-orang berkerumun menyaksikan. Mereka ingin tahu bagaimana hukuman gantung itu dilaksanakan. Mereka sebenarnya kasihan kepada Kicaka. Mereka percaya, Kicaka tidaklah bersalah.
“Sebelum Engkau digantung, apakah ada permintaanmu yang terakhir?” tanya Hakim.
“Saya rindu sekali dengan Emak, Tuan Hakim. Ijinkanlah hamba menengoknya sebentar saja. Hamba hanya ingin meminta maaf, dan mencium kakinya,” kata Kicaka dengan suara terbata-bata.
“Berapa lama perjalanan yang akan Engkau habiskan?”
“Perjalanan dari sini ke kampung hamba dua hari dua malam, Tuan Hakim. Jadi pulang pergi empat hari empat malam.”
“Pengadilan mengijinkanmu. Tapi harus ada pengganti yang mewakilimu. Bila kamu tidak datang, maka pengganti itu yang akan dihukum.”
Tuan Hakim lalu menawarkan kepada orang-orang, siapa yang mau jadi pengganti Kicaka? Orang-orang iba kepada Kicaka. Tapi siapa yang mau jadi pengganti? Kicaka menunduk sedih. Matanya berkaca-kaca. Pikirnya, tidak akan ada yang mau jadi pengganti.
Tiba-tiba ada orang mengacungkan tangan. Dia sanggup menjadi pengganti.
“Saya sanggup menjadi pengganti, Tuan Hakim. Bila Kicaka tidak datang, hamba rela dihukum gantung,” kata orang yang ternyata Kiciki itu. Kedua sahabat itu lalu berangkulan. Kicaka pun berangkat menemui ibunya.
Empat hari sudah berlalu. Pukul dua belas yang menjadi batas waktu hukuman gantung sebentar lagi tiba. Kicaka belum juga datang. Bila Kicaka tidak datang, maka Kiciki harus digantung.
Orang-orang yang menyaksikan merasa khawatir. Mereka merasa kasihan kepada Kiciki. Tapi Kiciki tetap tegar. Dia percaya janji sahabatnya. Tapi karena pukul dua belas segera tiba, tali gantungan pun dikalungkan ke leher Kiciki.
“Pengadilan telah memutuskan, bila pukul dua belas Kicaka tidak juga datang, maka Kiciki yang akan digantung,” kata Tuan Hakim. “Kamu jangan menyesali apa yang telah kamu sanggupi, Kiciki.”
“Saya tidak menyesal Tuan Hakim. Saya percaya janji sahabat saya.”
Ketika tali gantungan mau ditarik, di kejauhan ada orang berlari dan berteriak-teriak. Dialah Kicaka yang memenuhi janjinya. Orang-orang menahan napas melihatnya.
“Maafkan, Sahabat. Bukan maksud untuk terlambat dan membuat khawatir. Tapi di perjalanan sedikit terhambat. Saya menolong dulu anak yang terbawa hanyut di sungai,” kata Kicaka.
Kiciki memeluk sahabatnya. “Tidak apa, Kawan. Saya percaya janjimu, kata Kiciki.
Orang-orang terharu mendengarnya. Diam-diam mereka meneteskan air mata. Tuan Hakim juga terharu. “Pengadilan rasanya tidak adil bila harus menghukum orang-orang baik seperti ini,” pikir Tuan Hakim.
Maka kedua sahabat itu pun dibebaskan dari hukuman. Polisi yang kemudian ditugaskan pengadilan untuk mencari pembunuh yang sebenarnya. **

Dongeng ini didukung oleh:

Ingin tahu lebih banyak tentang Dongeng Mendidik Dari Dunia Binatang? 
Klik saja DI SINI

Harga : Rp 40.000
Pemesanan: 
WA 085772751686
BBM: 5CEFDB37

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "JANJI SAHABAT"

Posting Komentar