NGIDAM


Tabloid NOVA, 21 Juli 2002

“Kak, bangun, Adek pingin jalan-jalan lagi,” kata Sandra sambil menepuk-nepuk pipi suaminya.
“Ke mana lagi?” Adri berusaha membuka matanya yang masih ingin terkatup.
“Sekali lagi aja, Kak. Adek nggak kuat....” Seperti malam lainnya, Sandra mulai terisak.
“Iya, kita pergi sekarang juga, tapi jangan nangis. Kakak cuci muka dulu.”
Malam itu, pukul 12.37, mereka berangkat menyusuri jalan. Adri mengendarai opel blazer dengan tenang. Tidak ada lagi gerutu seperti malam seminggu yang lalu saat Sandra memulai keinginannya. Di depan sebuah pertokoan, mobil mereka melaju pelan. Sandra membuka kaca jendela. Matanya tidak lepas dari orang-orang yang bergeletakan begitu saja di teras pertokoan. Bertiduran. Berselimut sarung kumal, atau karung. Pelan-pelan, dari ujung mata Sandra bergulir sebutir air. Tapi dia seperti yang tidak perduli, sehingga air itu menyusuri pipi begitu jelas. Adri menarik napas panjang melihatnya.
Ini malam kedelapan mereka menyusuri jalan-jalan tengah malam. Tidak ada lagi saling berdebat yang membuat Sandra menangis terisak-isak. Tidak ada lagi gerutuan jengkel dari mulut Adri. Tidak ada lagi pertanyaan bodoh dari mulut Sandra. Mereka hanya melaju pelan, melihat sekeliling, dan menikmati semuanya.
“Ini pukul berapa, Sandra?” Adri masih ingat bagaimana dia membantah keinginan Sandra untuk pertama kalinya. Nada suaranya tinggi. Panggilannya tidak lagi Adek atau Neng seperti biasanya. Tapi sudah nama, Sandra. Artinya Adri mulai jengkel dengan keinginan istri yang sudah enam bulan dinikahinya itu.
“Adek tahu, ini sudah mendekati subuh, tapi keinginan ini....” Sandra terisak. Suaranya yang pelan, begitu sedih, akhirnya membuat Adri tidak kuat juga.
“Adek tidak main-main, Kak. Adek juga tidak mengerti.”
Mereka pun pergi. Menyusuri jalan-jalan, pelan. Awalnya Adri begitu khawatir. Menjalankan mobil pelan-pelan, membuka kaca jendela, apa tidak mengundang kejahatan? Untungnya ini bukan kota sebesar Jakarta yang sering diusik kejahatan bila peluangnya terbuka. Ah, tapi kejahatan bukankah bisa terjadi di mana saja? Adri pernah berpikir begitu. Tapi anehnya, malam-malam kemudian dia bisa begitu tenang menjalankan mobilnya pelan-pelan, membuka kaca jendela, atau menghentikan mobilnya sebentar.
“Kak, apa mereka sudah makan?” Sandra pernah bertanya begitu sambil memperhatikan para gelandangan bergeletakan begitu saja di depan pertokoan. Sudah lama pertanyaan seperti itu tidak singgah di kepala Adri. Atau mungkin juga tidak pernah singgah. Dia lahir dari keluarga mapan secara ekonomi. Belajar di sekolah-sekolah elit, kursus di tempat-tempat favorit. Dan begitu mendapat pekerjaan, juga di perusahaan besar bertaraf internasional. Jadi, apa yang mengingatkannya untuk bertanya seperti itu?
Tapi Sandra pun lahir dari keluarga mapan di negeri ini. Adri yakin, belum pernah pertanyaan seperti itu singgah di pikiran wanita berbulu mata lebat yang begitu dicintainya itu. Bukankah mereka pun mulai kenal dan saling merasakan suatu getaran yang begitu aneh saat sama-sama tour kursus bahasa Inggris ke Australia? Kalaupun Sandra kemudian memilih bekerja di rumah, bukan berarti tidak ada perusahaan mapan yang menerima lamarannya. Atau dikekang Adri untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Tapi karena pilihannya. Sandra ingin menjadi seorang penulis lepas saja. Membuat cerpen, novel, atau skenario sinetron yang semakin banyak permintaannya. 
“Apa yang terjadi denganmu, Adek?” tanya Adri setelah mereka kembali lagi ke rumah, pada malam keempat. Di luar gerimis turun, memburamkan kaca jendela. Suara angin yang bermain di antara bunga-bunga di halaman, mempertegas sunyi.
“Adek juga tidak mengerti, Kak.”
“Mungkin karena Adek seorang penulis. Seringkali perasaan dieksploitasi begitu rupa.”
“Tidak juga. Perhatian Adek dari dulu ke masalah spiritual pergaulan yang serba modern. Mungkin ini bawaan calon bayi kita.”
“Ngidam merasakan penderitaan para gelandangan?”
Sandra mengangguk. Dan katanya, “Maafkan Adek, Kak. Ini memang keterlaluan. Tapi Adek tidak bisa menahannya.”
Adri menyelimuti istrinya yang sudah berbaring di kasur, membetulkan bantalnya, dan mencium keningnya. “Tidak keterlaluan, Adek. Kakak juga sudah merasakan getarannya. Bukankah kita ingin saling mencintai secara indah?”
Sandra memejamkan matanya. Di luar, gerimis sudah menjadi hujan.
“Kak, apa mereka tidak kedinginan?”
**
Sepengetahuan Adri, belum pernah ada yang ngidam merasakan kesengsaraan orang-orang miskin. Teman-temannya yang lebih dulu menikah, kakak-kakak, saudara-saudaranya, semuanya ngidam wajar-wajar saja. Kalau tidak menginginkan makanan susah seperti colenak, sampeu wedang, dan makanan tradisional lainnya yang susah didapatkan di kota; paling juga waktu yang tidak tepat. Ingin buah muda tengah malam, ingin pizza subuh-subuh. Tapi ngidam memperhatikan orang-orang miskin?
Adri tidak menceritakan ngidam aneh itu kepada siapapun. Dia merasa, siapapun akan tertawa mendengarnya. Atau mengejek sebagai sok humanis. ”Barangkali anakmu akan jadi Fatimah Az-Zahra, atau nabi sekalian.” Paling begitu mereka mengomentari. Tapi Adri sendiri memang merasa aneh. Sepanjang hidupnya dia tidak pernah digelisahkan oleh hal seperti itu.
“Apa mereka sudah makan? Apa mereka tidak kedinginan?” Pertanyaan Sandra itu terngiang kembali di telinganya. Pertanyaan yang awalnya dianggap bodoh. Makanya, sepulang kerja dia sering tanpa sadar ngelantur mengikuti mobil di depannya, seperti yang lupa arah ke rumahnya. Dia memperhatikan, begitu banyak orang yang berjuang mendapatkan sesuap nasi di jalanan. Para remaja mengamen di stopan-stopan, pedagang asongan tanpa lelah menawarkan dagangannya, pengemis mengetuk pintu dari mobil ke mobil (sebagian memperlihatkan cacatnya dengan atraktif). Bisa jadi sebagian dari mereka tidak punya tempat tinggal. Mereka tidur di emperan, di bawah jembatan, di gubuk-gubuk kardus. Apa mereka tidak kedinginan?
Baru kali ini Adri merasa, kota ini tidak demokratis. Sebagian orang hidup mewah dengan kendaraan bagus, makan di tempat mahal, hiburan up to date, baju mode terbaru, sekolah dan kursus elit dengan program pendidikan terbaru. Sebagian lagi mesti susah payah memenuhi untuk kenyang karena harga-harga begitu mahal. Sandang, pangan, dan papan mereka tidak layak untuk dikonsumsi manusia.
Sosialis? Adri tersenyum membayangkannya. Seandainya pendapatnya itu dibicarakan kepada teman-temannya, paling dia dicap sebagai sosialis baru. Aduh, Adri tidak mengingat ideologi itu ketika hatinya tersentuh. Dia tidak memperhatikan hal itu, apalagi dilanjutkan dengan gerakan-gerakan politik. Sewaktu mahasiswa, ketika reformasi diteriakkan teman-temannya, dia hanya mengikuti trend saja. Ikut turun ke jalan, berteriak-teriak, menggugat status-quo yang korup. Tapi begitu sampai di rumah, dia masih mengikuti film terbaru, surfing di web hiburan, nongkrong di kafe, menonton konser musik.
Lagipula, opininya itu teriyakan bukan untuk semua orang sama rata. Itu juga baginya tidak adil. Biarkanlah setiap orang untuk memacu potensi individunya. Tapi cara mendapatkan kesempatan atau materinya itu yang ia rasa tidak adil. Sebagai arsitek di sebuah perusahaan besar, dia tidak saja mengurus gambar-gambar, tapi juga ijin-ijin. Sepengalamannya, sampai pemerintahan berganti formasi dua kali, keadaannya tetap sama. Dia hapal, berapa meja yang mesti diberi amplop untuk mengurus imb (ijin membuat bangunan), berapa besar untuk setiap mejanya, dsb.
Kadang Adri ingin idealis. Tidak membayar sepeser pun kepada siapapun. Tapi ijin itu tidak selesai-selesai. Atasannya tentu akan menegur terus-menerus. Lagipula, mereka sendiri yang sudah memasang tarif. Seperti itu yang dialami Adri. Belum lagi yang dialami oleh teman-temannya dengan bidang pekerjaan berbeda. Sogok-sogokan, suap-suapan, bukan hal yang aneh di negeri ini. Dengan begitu, apa hidup sudah demokratis?
Sebagai seorang yang mapan secara ekonomi dan pengetahuan, Adri sendiri merasa bertahun-tahun tanpa kepedulian apapun. Lingkungan kerja tidak sehat secara profesional, tidak dibarengi dengan memperhatikan pemiskinan yang berkembang di sekitarnya. Berapa juta orang-orang desa yang datang ke kota dan hidup terlantar. Berapa juta orang yang mencari nafkah di negeri lain dan dikejar-kejar petugas imigran. Berapa juta yang hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, sementara kebutuhan lainnya seperti sandang, papan dan pendidikan, terlantar.
Adri tidak pernah memperhatikan hal-hal seperti itu. Setelah delapan malam mengantar Sandra mengelilingi sudut-sudut kota, kesadarannya begitu cepat tersentuh. Barangkali hidup memang bukan hanya untuk diri sendiri. Kenyang sendiri, enak sendiri, nyatanya belum tentu membahagiakan. Karena begitu banyak pihak yang dirugikan, diperkosa, dimiskinkan, dibodohkan, yang mesti dibela. Baru kali ini Adri merasa bisa memahami, mengapa ada orang-orang yang berani melawan meski penjara tarohannya.
Tapi perlawanan rasanya tidak hanya dengan jalan politik atau protes di jalanan. Ngidam Sandra barangkali sebuah peringatan, sebuah nasihat untuk menjalani hidup lebih indah. Nyatanya Adri memang lebih berbahagia ketika bersama Sandra mengunjungi rumah-rumah singgah, memberi bantuan alakadarnya, makan bersama di panti asuhan, mengoordinir pengumpulkan pakaian bekas yang masih bagus untuk diberikan kepada para pemulung. Dan ketika banjir melanda banyak wilayah, rumahnya menjadi posko pengumpulan bantuan.
**
“Apa kita berbahagia dengan segala perhatian seperti ini, Adek?” tanya Adri suatu malam. Seharian tadi mereka menyiapkan nasi bungkus begitu banyak. Memang ada ibu-ibu yang membantu masak, tapi Sandra ingin ikut menjadi bagian dari pemasak. Mereka membagikan ratusan nasi bungkus itu kepada para tukang becak, pemulung, gelandangan, dan siapapun yang ditemuinya di jalanan dan ingin menikmatinya. Hari itu Sandra ulang tahun.
“Adek menikmatinya, Kak. Rasanya hidup lebih indah, lebih penuh cinta. Kalau Kakak ingin mendengarkan bagaimana perasaan Adek, dengarkanlah berdenyutnya perut ini,” kata Sandra sambil mengusap perutnya yang mulai membesar. Adri menempelkan telinganya.
“Seperti itulah perasaan Adek, Kak. Barangkali cinta bukan hanya saling mengangeni kalau kita berpisah, tapi menebarkan cahayanya kepada siapapun dan apapun.”
Adri tersenyum. Tidak bosan dia merasakan denyut-denyut perut istrinya. Ah, cinta ... begitu aneh dan menakjubkan. Adri tidak menyangka bahwa itulah terakhir kalinya dia mendengarkan denyut-denyut indah itu. Karena besoknya, ketika sedang mengerjakan rancangan gambar di kantornya, ibunya menelpon.
“Cepat pulang, Sandra jatuh di kamar mandi,” kata ibunya.
Adri tidak menyangka kecelakaan itu akan berakibat patal. Nyatanya dia harus menerima ketika beres-beres hendak pulang, ibunya nelpon lagi mengabari bahwa Sandra dibawa ke rumah sakit. Dan ketika sampai di rumah sakit, dokter sedang mempersiapkan operasi untuk mengeluarkan janin yang sudah meningal di perut Sandra.
**
“Kita tidak pernah tahu, kemana nasib akan membawa kita,” kata Sandra suatu senja. Setangkai mawar disimpan di kuburan kecil di hadapannya. Senja itu hari ke-20 mereka selalu menengok anaknya yang tidak sempat menghirup udara dunia. 
“Kak, nasib barangkali seperti mobil tanpa pengendara. Kita tidak pernah tahu ke mana akan dibawa, berbelok atau lurus saja.”
Adri memeluk istrinya.
“Tapi anak kita telah mengingatkan siapa sopirnya, Adek. Ke manapun nasib berbelok, cinta akan mengindahkannya.”
Sandra mengusap airmatanya yang selalu tidak bisa ditahan saat menengok kuburan anaknya. Airmata yang selalu akan mengalir begitu teringat, berapa juta anak yang lahir ditelantarkan, tidak diberi pendidikan memadai, tidak diberi gizi memadai, tidak diberi cinta yang tulus….
**
Juni 2002, Cisitu-Dago

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "NGIDAM"

Posting Komentar