PENCURI
Republika, 16 November 2003
Pukul tiga pagi Mama membangunkan semua pengisi rumah.
Nada marah masih terdengar dari gerutuannya. Papa memeriksa meja makan ketika
tahu makanan untuk sahur hilang lagi. A Adri yang semalam begadang bikin tugas
kuliah, hanya menguap.
“Harus ada yang mengaku, siapa yang mengambil makanan.
Bukan masalah harganya, tapi kita jadi tidak punya persediaan. Nasi pun harus
menanak dulu, kan lama.”
Bi Irah, pembantu yang sudah 5 tahun tinggal bersama
kami, tergopoh-gopoh menghampiri Mama. Dan katanya, “Sungguh, Nyah, saya juga
tidak tahu. Tadi malam, sepulang sholat tarawih di mesjid, saya periksa makanan
itu masih ada.”
“Memang bukan kamu yang mesti tanggung jawab, Irah,
tapi yang mengambil makanan itu. Masa dihabisin semuanya.”
Mama melirik ke arahku. Memang hanya aku yang
dicurigai Mama. Sudah seminggu, setiap malam, makanan yang disiapkan untuk
makan sahur, habis semuanya. Tinggal piring-piring kotor yang tersisa.
Ada dua alasan mengapa Mama mencurigai aku. Pertama,
karena hanya aku yang seringkali ikut i’tikap
di mesjid sebelah rumah. Mama curiga makanan-makanan itu diambil aku untuk
diberikan kepada jemaah mesjid lainnya. Kedua, karena setelah ribut-ribut
makanan hilang itu, aku cepat mengambil beras untuk menanak. Dimata Mama, ketidakherananku
akan hilangnya makanan, patut dicurigai.
“Sebenarnya Mama tidak apa-apa makanan dikasihkan
kepada siapa saja. Lagipula di bulan suci ini, menjelang Lebaran ini, kita
harus lebih banyak bersodaqoh. Hanya
harus terus-terang, jangan sampai kita tidak punya persediaan, kesusahan
memasak dari awal.”
Aku ngeloyor
ke dapur. Bi Irah mengikuti. Kami memasak nasi, ceplok telor dan membikin mie
instant. Itulah makanan yang bisa kami santap, setiap makanan di meja, yang
ditutup tudung saja, hilang.
**
Pencuri itu memang menguras habis semua persediaan
makanan matang. Yang ditinggalkannya hanya piring-piring kotor. Dan tak seorang
pun yang terbangun, karena pencuri itu datang dan pergi seperti angin kecil,
tanpa bersuara atau kelihatan. Tapi aku merasakannya, menyisir pipi, membisiki
hati, begitu sedih.
Saat itu aku sholat malam di rumah. Lebaran nanti,
Idul Fitri nanti, aku ingin kembali ke kesucian, seperti bayi. Kelahiranku di
hari suci dua puluh tahun lalu, bagiku adalah pertanda bahwa aku harus selalu
eling, ingat dan mawas diri. Namaku, Fitrani, adalah titipan kedua orangtuaku
agar aku tidak tersesat dalam pergaulan hidup yang begitu gerah.
Dan malam-malam di bulan suci ini, seringkali aku
menangis. Merasakan begitu senyapnya hidup. Begitu banyak teror yang menjadikan
banyak keinginan tidak dilakukan dan banyak kelakuan yang tidak diinginkan.
Begitu banyak ketakutan yang menjadikan hidup melenceng dari hati nurani.
“Ya Allah, bimbinglah hambamu ini untuk menikmati hidup yang lebih indah,” doaku, setiap malam,
sambil berurai airmata. Dan malam itu, aku merasakan kehadiran pencuri itu.
Begitu saja aku berdiri, mendekati ruang makan dan menyaksikan pencuri itu
dengan tenang memindahkan seluruh makanan ke plastik yang dibawanya, lalu pergi
begitu saja, seperti angin. Tapi tidak saja makanan itu yang diambilnya, hatiku
pun ikut dicurinya.
“Terus-teranglah, Rani. Mama merasa hanya kamu yang
tahu tentang makanan-makanan yang hilang itu. Bukan masalah harganya. Mama dan
Papa mampu untuk menyediakan makanan lebih banyak dari biasanya. Jadi kalau mau
diambil, disumbangkan, asal bilang dulu, tidak jadi masalah.”
Malam itu, sehabis sholat tarawih, Mama sengaja datang
ke kamarku. Entah yang keberapa kalinya wanita yang selalu melintas saat aku
berdo’a itu menanyaiku.
“Mengapa mesti bertanya sama Rani, Ma?”
“Karena semua penghuni rumah ini sudah terus terang
tidak tahu apa-apa. Karena hanya Rani yang selalu menghindar setiap ditanya.
Karena Mama juga merasa, Rani menyimpan sesuatu.”
Aku membuka jendela, membiarkan angin malam mengusap
pipi, begitu perih. Mama, maafkanlah. Bukan apa-apa, aku belum berani terus
terang, karena takut pencuri itu diusik. Dia telah mencuri juga hatiku,
membawanya ke keindahan yang begitu susah diceritakan.
“Percayalah sama Mama. Mama tidak akan marah, tidak
akan apa-apa. Mama hanya ingin tahu. Banyak hal yang begitu sulit diceritakan
di dunia ini, Neng. Sayang Mama sama Rani juga tidak bisa terucapkan.”
Aku memeluk wanita yang kemudian membimbingku ke
tempat tidur, membukakan jilbabku, membelai rambutku dan mencium keningku. Duh
Allah, perasaan ini.
**
Malam ini kami sholat tarawih di mushola keluarga.
Papa mengimami kami. Setelahnya kami membaca Al-Qur’an, berdo’a, berzikir. Ya
Allah, jangan lepaskan kebahagiaan seperti ini. Bertahun-tahu aku
merindukannya. Saat Papa, Mama, dan A Adri mencium keningku, aku merasakan rasa
sayang mereka menembus ke dalam hati. Saat Bi Irah mencium pipiku dan aku
mencium tangannya, aku merasakan keharuan dan ketulusannya.
Dan menakjubkannya, aku merasa hidayah ini diberikan si pencuri juga. Betapa tidak, semua mau
melakukan sholat berjamaah ini karena aku mau menunjukkan pencuri itu.
Sebelumnya, kami sholat masing-masing. Sebenarnya aku tidak tahu banyak
tentangnya. Aku hanya melihatnya saat dia mengalihkan makanan dari piring ke
plastik-plastik dan pergi seolah melayang. Tapi hatiku seolah mengenalnya
bertahun-tahun.
Tengah malam itupun aku merasakan kehadiran pencuri
itu. Aku berdiri begitu saja menuju ruang makan. Semuanya mengikuti tanpa
bicara sepatahpun. Dan di meja makan, tanpa menghiraukan kami, anak kecil
pencuri itu membuka tudung saji tanpa bersuara. Lalu mengalihkan nasi dan
makanan ke plastik. Begitu beres, juga tanpa menoleh sekalipun ke arah kami,
dia pergi seolah melayang, menembus pintu begitu saja. Kami mengikutinya,
membuka pintu, dan melihat anak itu berjalan di halaman.
Tanpa menghiraukan sandal, mukena yang masih kami
kenakan, kami mengikuti anak kecil pencuri itu. Jalanan begitu lengang. Ribuan
bintang berkelap-kelip di langit. Tapi cahaya yang paling menakjubkan hanya
keluar dari satu sumber, dari tubuh anak itu. Kami pun mengikutinya, tanpa
bersuara, karena memang tidak ada yang dibutuhkan sepatah katapun. Keheranan
kami, ketidakmengertian kami, tidak ada artinya dibanding keterpesonaan kami
oleh cahaya yang dikeluarkan anak itu.
Di sebuah pertigaan, entah jalan ke mana, anak itu
berbelok. Kami mengikutinya. Tidak kami hiraukan kerikil tajam menyakiti kaki.
Kegelapan jalan tanpa listrik ini tidak mengurungkan langkah kami. Entah sudah
berapa lama kami berjalan, sampailah kami ke sebuah perkampungan. Berderet
rumah-rumah panggung tanpa penerangan. Tapi kami masih bisa berjalan, dituntun
cahaya yang keluar dari anak kecil pencuri itu. Di sebuah belokan, anak itu
menghilang.
Sepanjang lorong begitu gelap. Anak itu entah ke mana.
Padahal jarak kami tidak begitu jauh. Di ujung deretan rumah, kami melihat
lampu tebeng dinyalakan. Meski
remang-remang, kami melihat pintu rumah itu terbuka. Pelan-pelan kami
menghampiri rumah itu. Barangkali itulah rumah pencuri itu. Tapi sebelum
mengetuk pintu, dari dalam ada suara memanggil. “Masuklah, jangan ragu-ragu,”
katanya.
Kami masuk hati-hati, takut membuat palupuh yang berbunyi itu roboh. Seorang
ibu memindahkan sebagian nasi dan lauk-pauknya ke sebuah piring. Rambut kusut
dan kelelahan di wajahnya tidak sanggup disembunyikan keremangan. Ibu itu
membawa makanan ke dipan di ujung ruangan. Ya Allah, di dipan itu tidur seorang
anak. Barangkali dia sakit. Kepalanya besar, perutnya buncit dan matanya yang
bulat tidak berhenti menatap kami.
“Makanlah, mumpung nasinya masih hangat, mumpung
anak-cahaya itu malam ini mampir ke rumah kita,” kata si ibu. Anak itu
menggeleng lemah. Matanya tidak lepas dari kami, membuat lutut ini begitu
lemas.
“Sudah berapa
malam anak-cahaya itu tidak mampir ke rumah kalian?” kata si ibu kepada kami.
Tangan kecilnya yang keriput membungkus kembali sisa makanan di plastik. Lalu
memberikannya kepada Mama seraya berkata, “Pulanglah, makan sahurlah dengan
cukup, jangan sampai lapar menjadikan anak kalian tidak mau makan.”
Mama malah terduduk di lantai. Tidak bisa bicara dan
airmatanya
membasahi pipi.
“Kami mencari anak-cahaya itu, Ibu,” kata Papa,
suaranya pelan.
“Jangan pernah mencari dia. Tidak pernah ada yang tahu
siapa dia,” kata si ibu sambil menyimpan plastik makanan itu ke tangan Papa.
Dari luar, sayup-sayup suara orang mengaji, entah dari surau mana. ***
Bandung, 11 November 2001
Keterangan:
1. Cerita anak pencuri itu terilhami kisah sufi
tentang burung pencuri roti yang menghidupi seorang yang kelaparan, diambil
dari buku Perjalanan Rohani Kaum Sufi yang ditulis oleh Ibnu Mahalli Abdullah
Umar.
A =
dari Aa atau Akang, panggilan kepada
lelaki yang lebih tua.
Neng =
panggilan untuk wanita yang lebih muda
Palupuh = lantai dari bambu di rumah-rumah
panggung
0 Response to "PENCURI"
Posting Komentar