SURAT PEMBACA
Pikiran Rakyat, 5 November 1995
Begitu datang, Barid langsung
menanyakan mesin tik.
“Buat apa?” tanya Fahrul.
“Aku mau bikin surat
pembaca.”
Fahrul yang sedang membaca
buku tidak lagi mengacuhkan Barid. Pikirnya, tidak ditunjukkan pun Barid pasti
menemukan mesin tik yang dicarinya. Seluasnya juga kamar kost yang
sudut-sudutnya sudah dikenal Barid. Lagipula, bukan sekali dua kali Fahrul
mendengar niat Barid untuk membuat surat
pembaca. Surat
itu memang dibuat, tapi tidak pernah sampai ke meja redaksi koran atau majalah.
Barid hanya menumpuknya di rak buku atau membuangnya ke tempat sampah.
“Aku benar-benar kecewa dan
sakit hati, Rul. Sebagai manusia yang bercita-cita berlaku manusiawi, aku
tersinggung,” kata Barid.
“Tentang apa lagi?”
“Coba bayangkan, Rul. Aku naik
angkot mau ke terminal, tapi baru setengah jalan angkot itu berhenti. Aku
pikir, aku mau dioper ke angkot lain. Tapi setelah aku turun dan bayar ongkos,
sopir yang kurang ajar itu pergi begitu saja. Yang aku masalahkan bukan
ongkosnya yang setarif dengan ke terminal, tapi pelecehannya itu, Rul. Aku
benar-benar tersinggung.”
“Kamu mau apa sekarang?”
“Aku mencatat nomor mobilnya.
Aku mau bikin surat
pembaca. Nanti, bila Syarif Abdulah, si wartawan itu datang, tolong titipkan
suratku.”
Fahrul mengangguk.
Perhatiannya tertuju kembali pada buku yang masih dipegangnya. Barid mengetik
dengan kecepatan 10 jari. Lima
belas menit surat
itu selesai. Sebelum dimasukkan ke amplop, surat itu dibacanya sekali lagi. Setelah
dikasih alamat, baru surat
itu disimpan di atas meja dan Barid pamitan.
Sorenya, Barid datang lagi ke
tempat kost Fahrul.
“Rul, si wartawan itu belum
datang?”
“Kalau ke sini, ia biasanya
datang pukul sembilan malam ke atas. Tapi hari ini biasanya ia lembur, mungkin
tidur di kantor redaksi. Wartawan muda, semangatnya tinggi.”
“Untung kalau begitu.”
“Memangnya kenapa?”
“Suratku tidak jadi aku
kirim.”
“Kenapa?”
“Aku pikir, kejadian seperti
itu biasa saja. Orang mementingkan dirinya sendiri, bukan lagi barang aneh
sekarang. Waktu aku naik angkot, penumpangnya hanya aku. Seandainya aku jadi
sopir itu, aku pun akan berpikir untung dan rugi. Jika penumpang hanya seorang,
rugi kan membawa ke terminal.”
“Iya, tapi kemanusiaanmu
tersinggung.”
“Hal seperti itu biasa, Rul.”
Fahrul tidak lagi memberi
komentar. Sudah tidak aneh pikiran Barid seperti itu. Beberapa kali Fahrul
menerima pengaduan Barid, tapi kemudian pengaduannya itu dicabutnya lagi.
Ketersinggungan perasaannya ketika menyaksikan ketimpangan selalu diakhiri
dengan menganggap biasa dan wajar.
Barid membuka dan membaca surat yang tadi
dibuatnya. Beberapa kali diulang, kemudian disobek dan dimasukkan ke tempat
sampah.
**
“Aku jadi takut, Rul,” kata
Barid, suatu sore, ketika ia berkunjung ke tempat kost Fahrul. “Apakah
anggapanku dan yang aku lakukan selama ini wajar dan biasa, atau telah melewati
batas dan tidak wajar?”
“Maksudmu?” tanya Fahrul tidak
mengerti. Seingatnya, selama ini Barid tidak pernah melakukan hal-hal yang
diluar ketentuan umum.
“Selama ini, semakin lama, aku
menganggap biasa dan wajar pada hal-hal yang tadinya aku anggap tidak wajar.
Ketika aku kecewa dengan iklan lowongan kerja di koran yang setelah dicek
ternyata tempat kursus yang tidak menjamin mendapatkan pekerjaan, aku kecewa
dan protes, tapi kemudian aku berpikir bahwa hal itu wajar. Penipuan seperti
itu aku anggap bukan lagi penipuan, apalagi setelah aku sering mendapatkannya
di berbagai promosi. Hal seperti itu kan cuma trik
dan ilmu persuasif saja.”
“Maksudmu?”
“Apakah aku ini wajar
mengalami hal-hal seperti itu?”
Fahrul tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Kamu terlalu berpikir
macam-macam. Kamu perlu tidur yang tenang. Kamu mengalami stress.”
Barid diam. Apakah benar aku
stress? tanyanya kepada diri sendiri. Berhari-hari Barid memikirkannya. Siang
dan malam otaknya terus bekerja dan menimbang-nimbang. Apakah selama ini yang
dilakukannya wajar dan biasa bagi seorang manusia yang mencoba untuk manusiawi?
**
Barid protes pada semua yang
dianggapnya tidak wajar dan tidak biasa. Itu sudah keputusannya. Ia membuat
Surat Pembaca ketika menemui sesuatu yang dianggapnya tidak wajar dan tidak
biasa.
“Sebagai manusia yang mencoba untuk manusiawi, sudah semestinya kita
tidak menggunakan ukuran-ukuran umum, bila kesepakatan umum itu tidak benar.
Pakailah kejujuran hati sebagai ukuran.” Begitu biasanya Barid menganjurkan
kepada teman-temannya. Tapi hanya Barid seorang yang melakukan serangkaian
protes kepada sesuatu yang dianggapnya tidak wajar dan tidak biasa.
Setiap pagi ia membaca koran.
Mengikuti berita-berita yang berkembang bisa diperkirakan sebelumnya,
berita-berita yang selama ini seringkali ditutup-tutupi, atau fakta yang
seringkali dipakai istilah penghalusannya, eufemismenya. Barid protes ketika
ada koruptor milyaran rupiah dibebaskan dan masih memimpin lembaga negara, ikut
terharu ketika puluhan kecamatan di pedalaman pulau Jawa mengalami kelaparan,
bicara mewakili petani dan peternak yang dirugikan perilaku ekonomi seenaknya
anak pejabat negara, sampai marah-marah ketika warga Palestina dianggap teroris
dan dibantai di mana-mana.
“Ini ironis, Rul,” kata Barid
suatu sore. “Negara kita kan
sedang ramai-ramai membicarakan pemerintahan yang bersih. Pikiran untuk
mengadili seluruh tindak korupsi juga bermula dari sikap itu. Tapi
penerapannya, yang diungkap hanya yang berkaitan dengan masalah politik saja.
Sementara korupsi yang lainnya, berlangsung menjadi rahasia umum. Tidak salah kan aku bikin Surat Pembaca tentang itu.”
“Iya, tidak. Tapi kamu mesti
mempertimbangkan siapa yang kamu protes itu.”
“Lho, protes macam apa seperti itu? Protes ya jangan melihat
orangnya, tapi lihatlah apa yang dilakukannya.”
“Lalu hasilnya?”
Barid diam. Tapi kemudian ia
bicara: “Orang-orang menganggapku tidak wajar. Mungkin karena setiap hari surat pembacaku ada di
koran-koran. Tapi itu kan mengenai hal-hal yang tidak wajar dan
tidak biasa? Apakah aku tidak wajar memprotes sesuatu yang aku anggap tidak
wajar?”
Fahrul tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Kamu stress oleh pikiranmu.
Kamu mesti istirahat dan merenungkan apa yang pernah kamu lakukan.”
Barid tidak bicara.
**
Seminggu kemudian, Barid
datang lagi ke tempat kost Fahrul.
“Aku malu sama orangtuaku,
Rul.”
“Kenapa?”
“Bertahun-tahun aku
disekolahkan, tapi sampai sekarang aku masih bimbang untuk menentukan ukuran
wajar dan tidak wajar, biasa dan tidak biasa.” ***
Ingin tahu lebih banyak? Klik saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "SURAT PEMBACA"
Posting Komentar