PENJARA 2 (GRASI BARDAN)


Pikiran Rakyat, 14 Januari 1996     

Bardan marah ketika dirinya dinyatakan mendapat grasi, potongan tahanan, di hari kemerdekaan. Dia mendesak para sipir untuk bertemu dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
         “Ini memang inisiatif saya. Saya melihat kamu bertingkah baik di LP ini,”  kata Kepala LP ketika Bardan menghadap. “Kamu rajin sholat, mengajar ngaji, mengajar baca tulis. Saya pikir tempat kamu bukan di sini. Dengan grasi, kamu cuma beberapa hari lagi tinggal di sini.”
“Tapi belum tentu semua orang suka dengan potongan tahanan.”
“Lho, jadi kamu tidak suka?”
“Iya.”
Kepala LP memandang tajam wajah Bardan. Baru kali ini selama berpuluh-puluh tahun kerja ia mendapatkan tahanan aneh. Berkali-kali ia memergoki berbagai trik tahanan untuk kabur. Dia menganggap itu wajar. Tapi narapidana yang tidak mau dipotong masa tahanannya? Atau hanya trik saja untuk kabur? Konyol sekali seandainya orang ini merencanakan kabur, pikir Kepala LP. Seingatnya belum pernah ada napi yang berusaha untuk kabur ketika masa tahanannya tinggal beberapa hari lagi.
Keheranan Kepala LP semakin menjadi ketika hari kebebasan bagi Bardan telah tiba. Bardan dipanggil dan diberi nasihat yang isinya agar berusaha jangan kembali lagi ke LP. Tapi Bardan menolak untuk keluar. Bardan ingin tetap tinggal di LP.
“Saya tidak mau keluar dari sini. Saya tidak mau kembali ke tempat yang dulu memerangkap saya,” kata Bardan.
Para sipir yang akan mengucapkan selamat jalan, selamat menempuh hidup baru, terkejut.
“Tapi masa tahanan kamu telah habis di sini,” kilah Kepala LP.
“Karena saya selalu dikasih grasi. Saya tidak suka dengan kesewenangan seperti ini. Pokoknya, saya belum siap untuk keluar dari sini.”
“Tapi masa tahanan kamu telah habis. Artinya, bagaimanapun kamu harus keluar dari LP sekarang juga.”
“Kalau begitu, saya pun akan berusaha untuk kembali lagi ke sini.”
“Maksudnya?”
“Terlalu banyak jalan menuju ke sini. Saya nyuri, dibawa ke sini. Saya menodong, nyopet, nipu, merusak mobil orang, memasang bom, membakar rumah, dibawa ke sini.”
Kepala LP dan sipir lainnya tidak ada yang bicara. Mereka terpaksa memasukkan kembali Bardan ke selnya. Kepala LP besok akan melaporkan masalah aneh itu kepada atasannya.
**
Ketika masuk kembali ke dalam  sel, Bardan disambut teman sekamarnya dengan senyum sinis.
“Kenapa tidak jadi keluar dari sini?” tanya teman sekamar yang sudah dianggap guru oleh Bardan itu.
“Seperti yang saya ceritakan semalam, saya lebih senang di sini.”
Teman sekamar yang selalu berkopiah itu memandang Bardan lama. Mereka tidak saling bicara. Dan kata lelaki bertubuh sehat itu, “Kamu pengecut!”
“Maksudnya?” Suara Bardan tinggi.
“Hidup yang sebenarnya bukan berada di dalam sel ini. Di sini serba enak. Serba dijaga, serba tidak ada kesempatan. Sementara hidup yang sebenarnya harus selalu berperang. Ya atau tidak. Baik atau buruk. Lakukan atau tidak lakukan. Tapi semua pilihan harus punya kesempatan yang seimbang. Dan itu hanya ada di luar. Hidup harus berani menghadapi kedua kemungkinan itu.”
Bardan diam. Tapi sebelum teman sekamarnya bicara lagi, ia protes: “Kamu sendiri kenapa tidak minta grasi? Kenapa ingin enaknya saja hidup di sini?”
“Saya di sini seumur hidup. Tapi di sini pun saya berperang. Saya mesti memilih, apakah menganggap tempat ini penjara atau bukan. Pilihan itu selalu dihadapkan setiap waktu dan saya mesti berperang untuk memilihnya. Saya pikir, hidup di luar sel pun, tidak jauh berbeda. Segala pilihan hanya akan berujung pada apakah yang kita lakukan merupakan penjara atau bukan. Bahayanya, bila kita menganggap ya pada yang tidak dan tidak pada yang ya. Kamu tidak akan bisa seperti saya, karena hanya sayalah penghuni sel yang abadi.”
Besoknya, sebelum Kepala LP melapor kepada atasannya, Bardan datang menghadap dan meminta dikeluarkan dari sel waktu itu juga.
**
Bardan pulang ke rumah dan disambut oleh keluarganya. Istrinya tersenyum dan merangkul. Anak-anaknya yang tidak kumplit (ada yang tidak pernah lagi pulang ke rumah, ada yang kabur dengan pacarnya) tersenyum dan merangkul. Orangtuanya tersenyum dan merangkul. Mertuanya tersenyum dan merangkul. Tapi Bardan tahu, senyum di depan bukan berarti senyum juga di belakangnya.
Seminggu dua minggu Bardan dimanja oleh keluarganya. Makanan selalu istimewa dan enak-enak. Tapi setelah itu, ia dituntut kembali untuk menghasilkan materi. Ketika itulah, Bardan melihat berbagai ruang penjara di mata istrinya, mertuanya, anak-anaknya, orangtuanya. Bardan menolak untuk masuk penjara.
“Ketahuilah, yang kalian tawarkan kepada saya itu penjara,” kata Bardan suatu waktu, ketika istrinya mendesak Bardan untuk menghubungi Pak Anu, mantan rekan kerjanya dulu. “Dan saya tidak mau lagi masuk penjara.”
“Bapak ini bagaimana? Kita perlu makan, perlu menyekolahkan anak-anak, perlu ini dan itu agar tidak ketinggalan dalam pergaulan.”
Karena Bardan menolak, istrinya marah. Hari berikutnya, mertuanya marah, anak-anaknya marah, orangtuanya marah. Mereka menuntut Bardan untuk menghubungi Pak Anu, menandatangani surat-surat dan mendapat bagian. Tapi Bardan tetap menolak. Hari berikutnya, istrinya mendesak dan mengancam, anak-anaknya mendesak dan mengancam, mertuanya mendesak dan mengancam, orangtuanya mendesak dan mengancam. Mereka mengusir dan Bardan pergi.
Di luar rumah Bardan semakin banyak melihat penjara. Orang-orang membangun penjara di mana-mana. Ruangan yang lembab dan sunyi itu menyekap mereka. Tapi mereka tidak sadar. Mereka tertawa. Mereka tamasya. Mereka saling membanggakan. Hanya ketika sendirian dan berkaca pada dirinya, Bardan melihat mereka bersedih. Seperti inilah kebahagiaan semu, pikir Bardan. Mereka harus diberitahu tentang kebahagiaan yang sesungguhnya.
“Kalian mesti sadar, apa yang kalian kerjakan itu adalah membangun penjara,” kata Bardan di hadapan orang banyak. “Hanya ruangan sunyi dan lembab yang akan kalian masuki. Kalian tidak bisa menutupinya dengan tertawa, dengan pakaian, dengan kendaraan, dengan tamasya. Akhirnya, kesadaran kalian yang akan bicara. Itu semua bukan kebahagiaan, saudara-saudara.”
Orang-orang mencibir. Mereka mencemooh. Mereka bubar dan menggerutu tak henti-henti.
Bardan terus mengembara. Dia bicara di hadapan orang-orang. Memperingatkan akan penjara yang ia lihat di mana-mana. Tapi orang-orang marah. Tidak suka Bardan membongkar-bongkar kejujurannya. Mereka terhina dengan kata-kata Bardan. Mereka lapor kepada polisi dan menganggap Bardan telah mengganggu stabilitas, meski diam-diam mereka merenungkan apa yang dikatakan Bardan di rumah masing-masing.
Bardan ditangkap oleh polisi. Tapi ia tidak dimasukkan ke LP seperti dulu. Bardan dibawa dan disimpan di rumah sakit jiwa.
**
“Begitu menyedihkan ketika kejujuran dan kebenaran hanya dianggap kegilaan.” Kalimat itu ditulis Bardan di tembok-tembok rumah sakit jiwa, seumur hidupnya. ***

Bandung, 21 September 1994






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENJARA 2 (GRASI BARDAN)"

Posting Komentar