PERTEMUAN MALAM
Suara Karya, 23 Oktober 1994
Gerimis masih turun satu-satu ketika aku keluar dari rumah. Malam
begitu gelap. Listrik memang padam sejak hujan membadai tadi sore. Kupikir,
untung tidak ada pohon yang tumbang dan menghalangi laju kendaraan.
Toko-toko yang berjajar
sepanjang jalan tampak menghitam bagaikan raksasa penunggu yang angkuh. Hanya
kelap-lelip lilin dari kios yang masih buka yang punya cahaya. Kupikir, seperti
inilah hidup akan terus berlangsung. Kekuatan kecil hanya akan mendapatkan sisa.
Saat toko-toko besar tidak lagi menjual barang-barang kecil, karena
keuntungannya kecil, dari sanakah kios-kios bisa hidup.
“Rokoknya De,” pintaku kepada
penunggu kios. Lelaki yang kira-kira berumur lima belas tahun itu mengambil
tiga batang rokok dengan diterangi lilin.
Aku rasakan udara bekas hujan
menusuk-nusuk kemeja lusuhku. Kuhisap rokok dalam-dalam. Ah, kalau saja ada
kopi panas, tentu akan lebih enak menghadapi dingin seperti ini. Tapi uangku
tidak akan cukup untuk membeli kopi. Penghasilan pelayan tukang tembok memang
kecil. Cukup untuk makan pun sudah untung. Rokok hanya sekali-kali aku beli,
kalau keadaan mendesak untuk menghadapi dingin malam seperti sekarang.
Sejak aku berhenti bekerja
seperti dulu, hidup susah seperti ini sudah aku bayangkan. Aku harus
menghadapinya. Aku mencoba menikmati kesusahan. Tidur di dipan hanya beralaskan
tikar, mendengarkan tik-tak hujan yang jatuh ke atap rumahku yang terbuat dari
seng, sibuk memindahkan ember dan panci untuk menahan bocoran air bila hujan
turun, adalah kejadian yang sudah biasa.
Rumahku memang pantas disebut
gubuk. Kecil, bahannya seadanya, berdempet-dempet dengan bangunan serupa dan
kotor. Tapi aku lebih senang menyebutnya rumah. Ada kebanggaanku dalam bangunan
sederhana itu. Itulah keringatku, jerih payahku, bukti bahwa aku bisa hidup di
jalan yang sebenarnya sudah lama aku dambakan.
Tanpa sengaja mataku menangkap
sosok perempuan di seberang jalan. Emperan toko itu biasanya dipakai mangkal
pedagang bajigur atau bandrek. Tapi malam ini mereka tidak ada. Mungkin hujan
yang turun besar tadi sore cukup mengurungkan niat pedagang itu.
Tiba-tiba bibirku tersenyum
melihat perempuan itu mengetatkan jaketnya yang kebesaran. Pasti kupu-kupu
malam, pikirku. Dan bila saat ini di bibirnya tidak terselip rokok, itu karena
ia belum ada yang menyewa. Ah, kalau saja aku masih seperti dulu, perempuan itu
pasti sudah kuajak ke tempat kontrakanku. Kuajak seluruh anak buahku untuk
berpesta, mengisi malam dengan sendawa dan gelak tawa.
Tapi tidak untuk saat ini. Aku
sudah berbeda jauh dengan aku yang dulu. Ya, setelah mengalami perjalanan yang
panjang, setelah langkah-langkah mulai kelelahan, pengembaraanku menemukan
tujuan. Jalanku sudah pasti dan begitu bercahaya. Ya, jalan itu kutemukan saat
kuikuti alunan adzan, saat kuzikirkan doa-doaku dalam sunyi malam.
Aku bertekad untuk
meninggalkan segala pekerjaan kotor yang pernah aku lakukan. Menodong,
mencopet, memeras dan malam-malam berpesta dengan minuman dan perempuan. Segala
yang aku kira bakal membuat nikmat dan menyenangkan, aku kejar. Segalanya ingin
aku rasakan, sepanjang aku dapat. Dan kedudukanku sebagai bandit yang ditakuti
bandit-bandit lain memang mendukungku untuk melakukan apa saja.
Tapi segala kenikmatan itu
semu. Semuanya hanya bahan untuk keasingan, ketakutan dan kesunyian yang
panjang. Saat aku sendiri, jauh dari anak buahku, segala yang pernah aku
perbuat menjelma menjadi monster yang merobek-robek hatiku dengan segala
kelembutannya. Saat seperti itulah aku rasakan betapa kerdilnya manusia, betapa
tak bisa apa-apanya manusia.
Aku memang tak lagi bisa
menangis. Segala kesedihan tak lagi dapat menciptakan airmata setetes pun. Tapi
suatu kejadian telah melemparkanku ke kesedihan yang panjang dan membuat
tangisan tanpa airmata yang abadi. Aku pergi ke mana saja, meninggalkan anak
buahku yang bertanya karena kepergianku saat kedigjayaan melindungiku dan
memberiku kekuasaan untuk melakukan apa saja.
Kejadian itu terjadi pada
suatu siang yang cerah ketika aku bangun tidur. Di sampingku tergolek seorang
perempuan, tanpa sehelai benang pun menutupi badannya. Di tempat tidur lain,
anak buahku dan beberapa perempuan panggilan bergelimangan tak beraturan.
Botol-botol minuman berserakan di lantai.
Aku mau membangunkan perempuan
yang di sampingku ketika wajahnya yang menghadapku menyentakkanku. Perempuan
yang kata anak buahku mereka ambil dari lokalilsasi kecil di belakang pasar itu
ternyata adikku. Ia yang datang dari kampung setahun yang lalu tidak bisa
bertahan hidup hanya mengandalkan tenaganya. Dan aku tidak bisa mengenalinya
tadi malam karena terlalu banyak minum dan mabuk.
“Maafkan aku, Kang. Kemiskinan
telah membawa aku pada pekerjaan seperti ini,” kata adikku sambil menangis.
Itulah kekalahanku yang paling
memukul dan menyakitkan. Aku berteriak sekuatnya dan berlari meninggalkan
ruangan itu. Tak kuhiraukan anak buahku yang bangun karena terkejut.
Bermalam-malam aku tak tidur. Menghitung bintang dan menikmati segala kesunyian
yang menyudutkan. Aku menangis, bermalam-malam, tanpa airmata.
“Kita memang miskin, adikku,”
kataku ketika suatu malam menemui adikku di lokalisasi. “Tapi kita juga yang
menentukan arti kemiskinan itu. Kita tidak kuat menghadapi kemiskinan. Karena
itu, kita kembali ke semula, ke kemiskinan. Kita mesti membuktikan bahwa kita
bisa bangkit dan berjalan melalu jalan cahaya, tidak pada jalan sesat yang
pernah kita lalui. Marilah, adikku, kita sama-sama melangkah.”
Tapi adikku tidak melihat
jalan cahaya yang aku bayangkan itu. Maka aku berjalan sendiri dan memunguti
puing-puing ketenangan bathinku. Aku bekerja sebagai tukang sampah, buruh
harian pada penggalian kabel telepon dan akhirnya menjadi pelayan tukang
tembok. Setiap hari aku kumpulkan uang untuk membangun rumah sederhana
kebanggaanku di pinggir rel kereta api, menyambung deretan rumah-rumah sederhana
yang telah ada. Setiap hari aku nikmati kepedihan yang ditimpakan kemiskinan.
Sekuat apapun kemiskinan, tak akan lagi dapat membawaku pada jalan kesemuan
yang pernah aku lalui.
Maka aku hanya tersenyum, yang
kurasakan begitu kecut dan perih, ketika kulihat seorang perempuan di seberang
jalan. Wajahnya sekilas kulihat ketika kilat berkelebat, begitu sendu. Oh, baru
kuperhatikan perempuan itu mengenakan celana panjang motif kembang-kembang.
Tiba-tiba saja pikiranku berubah. Dia mungkin perempuan baik-baik yang sedang
menunggu gerimis yang sekarang mulai membesar lagi. Siapa tahu ia butuh
pertolongan.
Aku berlari menyebrang jalan
dan menghampiri perempuan itu. Perempuan itu meringis melihatku. Ah, aku baru
sadar, tampangku memang masih mengisyaratkan bajingan. Dengan tubuhku yang
besar dan bekas luka di pipi, aku masih pantas ditakuti bila kebetulan bertemu
pada malam yang lengang seperti ini.Tapi tidak apa dia menuduhku begitu. Yang
penting sekarang aku harus meyakinkannya bahwa aku mau menolongnya, bukan untuk
menodong atau merampoknya.
Belum sempat aku bicara,
perempuan itu beranjak menjauhiku. Kalau saja aku masih seperti dulu, tawaku
pasti sudah tergelak. Dan anak buahku dengan sigap akan menangkap perempuan
itu, merampas perhiasan dan dompetnya, lalu perempuan itu diseret ke gang yang
gelap dan aku akan memuaskan segala napsuku di sana.
Merinding bulu kudukku
membayangkan putaran masa laluku. Tapi mengapa mesti selalu merasa bersalah.
Masa lalu tidak hanya berarti kekhilapan yang selalu kita lalui dan lalui. Masa
lalu tak berarti apa-apa selain sebuh cermin. Maka kuhampiri lagi perempuan
itu. Tak lupa kusunggingkan senyumku yang paling masin, karena aku percaya,
tanda persahabatan yang paling mesra dan tulus adalah senyuman.
“Ada yang bisa saya bantu?”
tanyaku pelan. Perempuan itu merinding. Kusunggingkan lagi sebuah senyum yang
kurasa sudah begitu manis. Perempuan itu menarik napas, mungkin sedikit lega.
“Maksud saya, apakah Anda
sedang menunggu gerimis dan takut pulang?” tanyaku lagi. Perempuan itu tidak juga
menjawab. Aku mengerti, ia masih ketakutan. Bagaimanapun, pada malam seperti
ini, kewaspadaan mesti ditingkatkan.
“Sebenarnya saya hanya ingin
menolong Anda, siapa tahu Anda takut pulang. Tapi saya mengerti, Anda pasti
takut diantar saya.”
“Oh, maaf. Maksud saya bukan
begitu. Saya hanya heran, ternyata masih ada orang sebaik Anda.” Perempuan itu
membuka mulut, lalu tersenyum, begitu manis. Baru kulihat wajahnya yang anggun
dan giginya yang biji ketimun.
“Kita memang selalu salah
kaprah. Kita selalu heran bila ada orang berbuat baik dan biasa bila ada orang
berbuat jahat. Tapi Anda memang sudah semestinya mencurigai saya.”
Perempuan itu diam. Sementara
gerimis tinggal titik-titiknya. Tapi dinginnya udara masih menyusup di antara
sela-sela baju dan membelai-belai pipi.
“Anda mau pulang?” tanyaku
setelah beberapa lama tak ada yang bicara.
“Tidak tahu.”
“Kenapa?”
Perempuan itu memandangku. Di
matanya aku bisa membaca berbagai kebingungan. Lalu katanya sambil mengalihkan
pandangan dari mataku, “Anda boleh memperlakukan saya semau Anda, asal saya
diberi imbalan”
Tenggorokanku dengan
sendirinya menelan ludah sebagai pertanda bahwa apa yang tak kuharapkan telah
terjadi. Lalu kataku, hampir tak terdengar, “Kenapa?”
“Saya butuh uang. Anakku
sakit. Ia harus segera dibawa ke dokter. Segala yang bisa kujual tak ada lagi
di kontrakanku, kecuali badanku.”
Perempuan itu diam, sampai
beberapa saat.
“Sayang, saya tak punya uang,”
kataku.
“Tidak semestinya saya
melakukan ini,” kata perempuan itu sambil mengusap matanya, mungkin ia
menangis. “Suamiku sejak kemarin pergi mencari uang, tapi belum kembali. Kata
tetangga, pencopet yang kemarin tertangkap adalah suamiku.”
Aku menarik napas panjang.
Begitu mengerikan kemiskinan. Ia telah menyudutkan manusia untuk melakukan apa
saja.
“Kemiskinan memang pahit,”
kataku, pelan. “Tapi kita mesti mencobanya untuk tidak tersudut ke jalan yang
sesat. Kita mesti tegar menghadapinya. Kita mesti...”
“Anda pernah punya anak dan
sakit keras dan kita sebagai orang tuanya tak punya apa-apa untuk membawanya ke
dokter?” Perempuan itu dengan cepat memotong omonganku. Sekali lagi tangannya
mengusap-ngusap mata dan cepat mengalihkan wajahnya dari pandanganku.
Aku menggeleng.
“Kata-katamu omong kosong!”
Beberapa saat tak ada yang
bicara. Kios yang di seberang jalan mulai ditutup anak lelaki penunggunya.
“Anda pulang saja sekarang,
saya bersedia mengantar. Siapa tahu ada yang bisa kita lakukan di sana.”
“Bagaimana dengan tawaran
saya?”
“Tawaran yang mana?”
“Anda boleh memperlakukan saya
semau Anda, asal saya mendapat imbalan.”
“Saya tak mau melakukan hal
terkutuk seperti itu!”
Beberapa saat tak ada yang
bicara. Tarikan napas kekhawatiran perempuan itu terdengar jelas.
“Mari kita pulang. Siapa tahu
kita bisa melakukan sesuatu di sana. Anakmu mesti segera ditolong.”
Perempuan itu melangkah
perlahan. Aku mengikutinya. Tapi baru saja dua toko terlewati, perempuan itu
berhenti.
“Kita hanya bisa menolongnya
dengan uang,” kata perempuan itu. Belum sempat aku sadar apa yang terjadi, di
perutku terasa ada benda yang menempel, pisau perempuan itu. ***
0 Response to "PERTEMUAN MALAM"
Posting Komentar