BUTIRAN NASI

 Kompas Anak, 26 Oktober 2014

Setiap pulang dari rumah Nenek di kampung Ciherang, Isti selalu melamun. Di kepalanya yang ada adalah butir-butir nasi yang sering diceritakan Nenek. Kata Nenek, di kampung Ciherang nasi sangat dihormati. Sejak menanam sampai menikmatinya. Ada kebiasaan dan syukuran yang mesti dilakukan sebelum tandur sampai panen padi.
Ketika beras mau ditanak saja ada adab tersendiri. Sebelum mencuci beras, ibu-ibu selalu membisiki beras: “Nyai, mari kita mandi.” Dan akhirnya, adab setelah menjadi nasi dan dimakan, pantangan untuk menyisakan butiran nasi di piring. Sebutir atau dua butir nasi pun jangan disisakan. “Karena nasi itu inginnya masuk ke dalam tubuh manusia, menjadi tenaga, menjadi pikiran, dan menjadi perasaan yang baik,” kata Nenek. “Nasi akan menangis kalau kita sisakan di piring, terlantar, dan tidak jelas nasibnya. Kecuali kalau butiran nasi itu jatuh ke tanah, kotor, lain lagi ceritanya.”
Kebiasaan kampung Ciherang itulah yang selalu membuat Isti melamun. Setiap dia membaca di koran ada daerah-daerah tertentu yang kekurangan beras, penduduknya terpaksa makan gaplek atau tiwul dari singkong, pak gubernur dan stafnya memberi contoh tiap hari tertentu tidak makan nasi agar beras bisa dihemat; Isti selalu termenung. Juga ketika pulang mengikuti orang tuanya ke pesta pernikahan, ulang tahun teman, atau makan di rumah makan; hatinya selalu tidak bisa tenang. Banyak orang yang menyisakan nasinya di piring.
“Coba bayangkan, bila setiap orang saja menyisakan sepuluh butir nasi ketika makan, berapa butir yang disia-siakan dalam sehari, seminggu, sebulan dan setahun?” katanya dengan nada sangat antusias di hadapan teman-teman sekelasnya, kelas 5 SD Harapan Bangsa, saat pelajaran menulis karya ilmiah. “Setiap orang itu rata-rata makan tiga kali sehari. Artinya, tiga puluh butir nasi sia-sia dalam sehari. Bila hitungannya lebih luas lagi, kabupaten kita, Kabupaten Sumedang misalnya, penduduknya berjumlah 1.184.187 jiwa. Berarti, dalam sehari 30 butir nasi X 1.184.187 sama dengan 35.525.610 butir nasi telah disia-siakan dalam sehari. Bila lebih luas lagi, provinsi Jawa Barat misalnya, atau Indonesia....”
Tapi belum juga Isti menghitung, teman-temannya malah mentertawakan.
“Kampungan itu. Kebiasaan jaman nenek moyang!” komentar Ardi.
“Sekarang ini jaman internet, Is, ngapain berkaca ke kampung terpencil yang jauh dari modernisasi,” kata Ulfa. “Kalau kamu mau mengembangkan penelitian, tuh banyak anak-anak yang menjadi pekerja jalanan di stopan-stopan.”
Menurut Isti, kebiasaan penduduk kampung Ciherang tidak bisa dinilai kampungan karena letaknya di pinggir hutan, atau kolot karena merupakan kebijakan nenek moyang. Kebijakan untuk tidak menyisakan butiran nasi di piring itu adalah kebijakan yang bisa berlaku sampai kapanpun dan di manapun. Seandainya setiap orang menyadari ketika menyisakan butiran nasi di piringnya adalah penghianatan terhadap orang-orang miskin yang tidak bisa makan nasi, mungkin banyak orang yang merasa sakit hati. Sakit hati seperti dirinya ketika melihat tumpukan nasi sisa di piring-piring makan.
Karenanya Isti begitu giat menuliskan pendapatnya, perhitungannya, ketika di sekolahnya ada lomba Karya Ilmiah. Isti menuliskan tentang kampung Ciherang, penduduknya, alamnya, dan kebijakannya memperlakukan alam dan nasi sebagai makanan pokok. Karya ilmiahnya itu dipilih mewakili sekolah untuk dinilai di tingkat kecamatan. Lolos dari tingkat kecamatan kemudian dinilai di tingkat kabupaten. Lolos dari tingkat kabupaten kemudian dikirimkan ke tingkat provinsi. Di tingkat provinsi inilah setiap peserta harus mempresentasikan karya ilmiahnya di hadapan juri yang terdiri dari guru-guru besar.
“Setiap berlibur ke kampung saya, kampung Ciherang, saya selalu termenung. Kebijakan para orang tua di sana untuk tidak menyisakan butiran nasi di piring mengganggu pikiran saya. Seandainya kebiasaan itu dipunyai oleh kita, penduduk provinsi misalnya, berapa butir nasi yang bisa dihemat dalam sehari?” kata Isti. Suaranya bergetar karena gugup, tapi kemudian terbiasa. “Bila setiap orang biasa menyisakan sepuluh butir nasi sekali makan, artinya dia menyia-nyiakan 30 butir nasi sehari. Bila penduduk provinsi Jawa Barat ini 46.497.175 orang, artinya dalam sehari 1.394.915.250 butir terbuang percuma. Bila perkiraan penduduk Indonesia 250 juta, artinya ada 7.500 juta butir nasi yang terbuang dalam sehari.”
Tepuk tangan bergemuruh ketika Isti mengakhiri presentasinya. Isti merasa puas. Dia sudah menyampaikan unek-uneknya yang selalu mengganggunya. Ketika sesi tanya-jawab berlangsung, tidak semua pertanyaan bisa dijawab Isti. Isti termenung ketika ada seorang juri yang bertanya:
“Bagaimana caranya menjadikan kebijakan orang tua untuk menghabiskan butiran nasi di piring itu menjadi keseharian dalam hidup penduduk Indonesia? Karena lihat saja kebiasaan buruk masih berlangsung di sini. Orang bisa membuang sampah di mana saja. Asal di rumahnya bersih, tidak apa kotor di jalanan. Apalagi nasi. Nasi dapat beli sendiri, punya sendiri, buat apa repot-repot harus mengukur bila menyedok nasi dan menghabiskan sisa nasi bila sudah kenyang.”
Istri termenung mendapat pertanyaan seperti itu. Beberapa menit dia hanya diam. Dan akhirnya hanya mengatakan, “Saya ingin menjadi orang pintar, Pak, untuk menjawab pertanyaan itu. Terima kasih, pertanyaannya membuat saya terharu. Masih banyak yang mesti dipelajari.”
Meski jawabannya seperti itu, tapi deretan juri yang berasal dari berbagai disiplin ilmu itu memberi tepuk tangan yang meriah. Isti mengusap airmatanya yang tiba-tiba mengalir. Ibu Elin memeluk anaknya ketika pulang.
“Ma, saya tidak lagi memikirkan apakah akan menang atau tidak,” bisik Isti. “Karena yang terpenting, saya ingin sekolah setinggi-tingginya, ingin membaca seluruh buku di perpustakaan. Anak Mama ini harus pintar untuk menjawab banyak pertanyaan yang pasti semakin banyak dan semakin susah.”
Bu Elin mencium pipi anaknya. “Ya, Nak, Ibu akan mendukungnya sekuat tenaga. Dunia ini sangat butuh orang-orang pintar, orang-orang pintar yang perduli.”
Angin berhembus semilir, mempermainkan anak rambut Isti. ***
      

Catatan:

Teh (dari teteh) = panggilan terhadap wanita yang lebih tua
Tandur = menanam padi
Nyai = panggilan sayang kepada perempuan muda
Angka-angka jumlah penduk diambil dari www.jabarprov.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BUTIRAN NASI"

Posting Komentar