AMBILKAN BULAN, BU 2

Novel Yus R. Ismail


Mimpi yang Hilang


BI Ami, tetangga Lia yang bekerja di kota, saat pulang kampung mengajak Lia untuk pergi ke kota.
“Di kota banyak yang butuh pembantu,” kata Bi Ami. “Teman-teman majikan Bibi juga sudah beberapa kali meminta. Tapi bila mereka sekarang sudah punya pembantu, kamu bisa menumpang dulu di tempat Bibi bekerja.”
“Tapi nanti Bibi dimarahi karena membawa orang lain.”
“Tidak akan. Majikan Bibi orangnya baik. Lagipula kamu kan bisa membantu-bantu Bibi tanpa dibayar. Kalau kamu mau, dua hari lagi Bibi akan ke kota.”
Lia begitu gembira mendapatkan ajakan seperti itu. Bukan gembira karena merasa nasibnya akan berubah, karena yang dia tahu Bia Ami pun bukan orang yang berada meski telah dua tahun bekerja di kota. Rumahnya yang sekarang ditinggali anaknya tidak menampakkan perubahan dari saat Bi Ami pergi ke kota. Dulu Bi Ami pergi ke kota karena suaminya meninggal dalam bencana longsor yang juga menimpa orang tua Lia.
Lia gembira karena perhatian Bi Ami dan karena merasa akan keluar dari rutinitas yang membosankan. Dengan perhatian Bi Ami, Lia merasa punya lagi keluarga. Waktu itu Lia sudah berumur sembilan tahun.
Bi Ami bekerja di sebuah keluarga kaya. Rumahnya besar. Dua tingkat. Halamannya luas dengan taman tertata rapi. Biasanya ada orang yang datang dua minggu sekali memotong rumput dan tanaman. Baru kali itu Lia masuk ke rumah sebesar itu. Orang-orang kaya di kampung, rumahnya tidak sebesar itu.
Di tingkat atas ada lima kamar. Tiga kamar dipakai oleh anak-anaknya. Dua kamar dipakai tempat perpustakaan dan kamar tamu. Di bawah ada empat kamar besar. Satu dipakai Ibu dan Bapak, satu dipakai ruang kerja Bapak,  yang duanya dipakai kamar tamu. Di belakang, dekat dapur, ada beberapa kamar kecil. Bi Ami menempati salah satu kamar itu. Mang Apit, sopir di keluarga itu, juga tinggal di kamar belakang. Yang lainnya dipakai ruang setrika dan gudang.
Mobilnya punya dua. Satu mobil untuk Bapak pergi ke kantor. Setiap hari Mang Apit mencuci mobil itu dan selalu siap bila Bapak akan pergi. Kadang Bapak tidak pulang beberapa hari. Lia tidak tahu kemana saja Bapak pergi. Mobil yang satunya lagi biasa dipakai keperluan sehari-hari. Ibu belanja, antar-jemput anak-anak sekolah, arisan, Bi Ami ke pasar, Ibu berkumpul bersama ibu-ibu lainnya. Untuk itu ada lagi sopir khusus yang tinggal di belakang kompleks. Namanya Mang Engkus. Biasanya Mang Engkus datang pagi-pagi dan pulang sore, atau kalau diperlukan bisa kerja sampai malam.
Anak Ibu dan Bapak ada tiga orang. Anak pertama seorang wanita, kelas dua SMP. Anak kedua dan ketiga laki-laki, kelas enam dan lima SD. Setiap hari mereka diantar-jemput sekolahnya. Tiga kali seminggu, Reka, anak pertama, kursus berenang dan dua kali seminggu kursus main piano. Iwan dan Heru tidak mau kursus. Dua kali seminggu mereka belajar di rumah, guru les yang datang.
Hari pertama Lia datang ke rumah itu, tidak ada yang menghiraukannya. Malamnya Bi Ami mengajaknya untuk menghadap Ibu.
“Tadi sore Bibi sudah bilang tentang kamu. Sekarang kamu menghadap Ibu,” kata Bi Ami. Lia degdegan selama merapikan rambut dan baju serta waktu melangkah ke ruang dalam.
Ibu dan Bapak sedang menonton televisi. Ketiga anaknya juga ada. Memang baru saja mereka makan malam. Lia duduk di karpet, tapi Ibu menyuruhnya duduk di kursi. Perlahan Lia duduk di kursi, seolah takut pantatnya merobek kursi yang pasti empuk. Dan kursi itu memang empuk.
“Jadi kamu mau bekerja?” tanya Ibu.
“Iya, Tuan.”
Ibu tersenyum. Bapak menyembulkan kepalanya dari koran yang dibacanya. Anak-anak sempat mengalihkan perhatian dari acara televisi yang ditontonnya.
“Tidak usah memanggil Tuan. Panggil saja Ibu. Ini Bapak. Itu anak-anak. Nanti Bi Ami yang akan ngasih tahu. Sudah pernah bekerja sebelumnya?”
“Sudah sering saya bekerja di dapur.”
Lia terus menunduk. Tidak berani dia mengangkat wajahnya. Padahal hatinya begitu tertarik dengan acara kuis anak di televisi yang terdengar suaranya.
“Bisa masak?”
“Bisa.”
“Bisa nyetrika?”
“Bisa.”
“Ya sudah, sekarang kamu ikut dulu bersama Bi Ami. Kamu bisa bantu-bantu Bi Ami. Nanti Ibu carikan keluarga untuk kamu membantu.”
Lia mengangguk beberapa kali. Sudah ingin dia pamitan dan menyatakan gembira kepada Bi Ami. Tapi sebelum Bi Ami pamitan, Ibu bertanya lagi.
“Eh, kamu berapa tahun?”
“Sembilan tahun.”
“Sembilan?”
Bapak menyembulkan lagi kepalanya. Anak-anak melirik.
“Tidak melanjutkan sekolah?”
“Saya tidak sekolah, Bu.”
Ibu mengerutkan keningnya. Tapi tidak ada lagi pertanyaan sampai Bi Ami dan Lia pamitan. Lia merangkul Bi Ami di dalam kamar. “Mereka baik-baik, ya, Bi,” katanya. Bi Ami mengangguk.
Setiap hari tugas Lia adalah membantu Bi Ami menyiapkan sarapan pagi. Lia belajar bagaimana membuat nasi goreng yang bumbunya komplit, membuat roti bakar dengan panggangan yang selama Lia bekerja di rumah-rumah di kampung belum ada yang punya, membuat susu tanpa gula yang takarannya pas bagi setiap orangnya. Iwan susunya mesti manis sekali. Sementara Reka  tidak terlalu manis.
Setelah mereka pergi dari rumah, Lia membereskan tempat tidur anak-anak dan membersihkan ruang dalam dari debu. Selebihnya Lia banyak memiliki waktu bebas. Paling membantu Bi Ami memasak untuk makan siang, mengerjakan suruhan kalau Ibu menyuruh, sore menyiram tanaman.
Kadang kalau Bi Ami ke pasar dengan diantar Mang Engkus, Lia ikut. Lia sering duduk di depan. Dia sering membayangkan, seandainya yang ada di sampinya menyetir adalah Apa dan yang duduk di belakang itu Emak. Wah, kesenangan hidup seperti apa yang dialaminya? Kalau sudah melamun begitu, Mang Engkus sering menggoda, katanya Lia sudah ingin didekati laki-laki. Ah, Mang Engkus kalau menggoda keterlaluan. Tidak ada pikiran seperti itu di kepala Lia. Di kampung memang anak seusianya sudah banyak yang dipingit untuk kemudian dicarikan jodohnya.
Tapi banyaknya waktu untuk beristirahat itu malah tidak disukai Lia. Dia sering bertanya kepada Bi Ami, “Sekarang apa lagi yang mesti dikerjakan?”
“Kamu istirahat saja dulu, tiduran sana, dari pagi kerja terus.”
Tapi Lia tidak mau. Bila Bi Ami sudah mengatakan seperti itu, dia akan mengerjakan apa saja yang pantas dikerjakan. Menyapu lantai yang terlihat berdebu, membereskan tempat sepatu, menggunting daun-daun yang sudah menguning di taman. Lia senang bila anak-anak pulang sekolah. Memang mereka jarang menyuruh, tapi setiap hari pasti ada yang meminta tolong, begitu mereka mengistilahkannya, kepada Lia. Kalau tidak membuatkan teh dingin, mereka meminta tolong Lia mengambilkan baju-baju kotor di kamar yang baru saja mereka pakai.
Lia senang kalau ada yang menyuruhnya. Karena waktu disuruh seperti itu ada kemungkinan untuk ngobrol meski hanya satu dua pembicaraan saja. Di dalam hatinya dia ingin ngobrol yang panjang dengan anak-anak majikannya. Tentu menarik mendengarkan pengalaman-pengalaman mereka. Atau kalau mungkin ikut bermain play station di televisi. 
Lia paling senang bila Reka menyuruh menemaninya belajar. Selain senang karena sering dikasih persen baju bekasnya yang masih bagus-bagus, juga senang karena Reka sering bercerita pengalamannya di sekolah atau di tempat kursus. Dia pernah bercerita tentang guru main pianonya yang pintar menyanyi, teman baiknya yang sedang sakit, atau saat ada teman lelakinya yang mengirim surat cinta. Tapi Teh Reka, begitu kemudian Lia memanggilnya, seringnya ingin mendengarkan cerita Lia. Terpaksa Lia bercerita pengalamannya, cerita yang tentunya tidak menarik.
Lia sangat kerasan tinggal di tempat barunya itu. Ibu dan Bapak tidak pernah memarahinya meski dia datang dengan terbungkuk-bungkuk saat melapor bahwa dia telah memecahkan piring. Ibu malah menyukai hasil kerja Lia. Ibu sering memperhatikan Lia dan menganggap anak itu rajin, jujur, dan daya tangkapnya lumayan. Beberapaka kali Lia menemukan uang saat membereskan kamar anak-anak dan uang itu diberikan kepada Ibu.
Maka ketika suatu malam Ibu memanggilnya, Lia bersedih karena harus secepatnya pindah ke keluarga baru yang belum tentu sebaik di sini.
“Sudah ada teman Ibu yang meminta kamu bekerja di rumahnaya. Tapi Ibu sudah sepakat dengan Bapak, kalau kamu mau tinggal di sini, kamu boleh tinggal. Ibu akan menyekolahkan kamu. Kamu boleh milih, bila ingin bekerja dan mendapatkan gaji yang akan kamu kirim ke kampung, Ibu akan mengantarmu.”
Lia mendongakkan kepalanya. Baru kali itu dia berani memandang wajah Ibu. Hatinya tidak terkira gembiranya. Baru kali itu, selama hidupnya, ada orang yang menawarinya untuk sekolah.
“Menurut Ibu, kamu masih terlalu kecil untuk bekerja, kamu masih perlu sekolah. Kamu perlu bisa membaca dan menulis.”
Lia tidak kuasa menahan air yang meleleh di pipinya.
**

Kalung Persaudaraan


HARI petama masuk sekolah, Lia merasa apa yang dilakukannya ada dalam mimpi. Biasanya dia hanya melihat senang saat anak-anak majikannya sarapan sebelum pergi ke sekolah. Hari ini dia sendiri yang mesti sarapan.
Berkali-kali Lia melihat dirinya di kaca. Baju seragamnya yang telah dibelikan Ibu tiga hari yang lalu ditepuk-tepuknya. Berkali-kali dia meminta pendapat Bi Ami.
“Kamu memang pantas memakai seragam itu, Nyi. Kamu cantik,” kata Bi Ami membuat Lia tersipu. “Mudah-mudahan kamu cepat pandai. Orang pandai itu lebih berguna dan disayang Tuhan.”
“Iya kalau pandainya tidak menipu orang.”
“Tentu jangan menipu orang, Nyi. Kamu mesti seperti Bapak yang pergi setiap hari diantar sopir. Kamu mesti membantu orang yang kesusahan. Orang pandai yang menipu itu adalah orang yang menyia-nyiakan anugerah Tuhan.”
Terdengar Ibu memanggil Lia. Saat itu di ruang tengah, Bapak, Ibu, dan anak-anak sedang sarapan.
“Cepat, Nyi, kamu mesti bersiap-siap.”
Lia mengangguk. Diciumnya pipi Bi Ami sebelum dia keluar. Bia Ami mengerjapkan matanya. Berbahagia sekali dia melihat Lia begitu bersemangat. Anak itu memang sejak kecilnya tidak merepotkan mesti telah ditinggal orang tuanya. Bi Ami tahu saat Lia selalu mengintil neneknya membantu mengerjakan pekerjaan dapur di rumah orang-orang kaya di kampung.
Selain itu, Lia juga sebenarnya masih ada kaitan saudara dengannya. Ibu nenek Lia dengan ibu Bi ami itu adik kakak. Tapi meski saudara, bisa membantu apa Bi Ami melihat saudaranya kesusahan? Dirinya sendiri waktu itu morat-marit. Sejak bencana di lereng gunung itu, tanah garapan yang merupakan tanah pemerintah itu tidak boleh digarap lagi. Dia dan anak satu-satunya pun tidak bisa berbuat apa-apa selain menjual tenaga kasarnya yang hanya cukup untuk menutup rasa laparnya sendiri. Sampai anugerah itu datang saat dia bekerja di kota dan sedikit-sedikit bisa menabung untuk membeli sepetak tanah yang saat ini digarap anaknya.
Karena itu, melihat Lia, Bi Ami punya harapan baru. Anak itu rajin dan pandai. Ada-ada saja yang dikerjakannya setelah tugas rutinnya membereskan kamar anak-anak selesai. Kalau tidak membereskan ruang dalam, Lia akan tahan berjam-jam merapikan tanaman di taman. Selalu saja anak itu tidak mau bila disuruh istirahat. Bi Ami mengerti, seumur dia yang masih anak-anak telah kenyang dengan pengalaman bekerja.
Masuk sekolah adalah pengalam baru baginya. Bi Ami melihat kegembiraan Lia tidak surut sejak Ibu menyuruhnya untuk sekolah. Lia semakin rajin bekerja. Tadi pagi, begitu selesai sholat Subuh, Lia langsung membereskan ruang tengah meski Bi Ami melarangnya.
“Saya akan mengerjakan tugas ini setiap hari, Bi. Biar tidak keenakan,” katanya.
**
Lia malu-malu mendekati Ibu.
“Kamu sudah sarapan?”
“Sudah, Bu.”
“Siap-siap. Kita berangkat sekarang.”
Lia kembali ke dapur untuk mengambil tas. Segala sesuatunya telah disiapkan sejak Ibu membelikan tas, buku, dan peralatan lainnya. Setiap malam, menjelang tidur, peralatan sekolah itu diperiksa kembali seolah sekolahnya akan dimulai besok.   
Ibu membawa Lia ke sekolah di belakang kompleks. Dari rumah sebenarnya tidak jauh bila jalannya menerobos. Tapi karena memakai mobil, jalannya memutar. Sekolah itu tidak terlalu besar. Hanya ada enam kelas. Muridnya sedikit, kebanyakan anak-anak dari kampung di belakang kompleks perumahan.
Ibu menghadap kepala sekolah. Setelah berbicara sebentar Ibu pulang. Lia dibawa kepala sekolah ke ruang kelas satu. Di antara murid-murid yang lain, Lia termasuk paling besar. Usinya memang sudah jalan sembilan tahun. Tapi itu tidak membuat Lia malu. Meski dia tertinggal beberapa bulan dari murid yang lainnya, dia bisa cepat menyusul pelajaran.
Beberapa minggu saja sekolah, lia sudah bisa mengeja. Setiap sore dan malam dia mengulang kembali pelajarannya. Bi Ami suka tersipu malu kalau Lia memintanya untuk memperhatikannya. Bi Ami memang tidak bisa membaca. Kadang Reka yang mengajarkan Lia bila dia sedang mau. Iwan dan Heru paling memperhatikan bila Lia belajar dan mentertawakannya bila Lia salah.
“Masa S dengan Y jadi say. Say itu bila Teh Reka menerima surat,” kata Iwan. Heru tertawa. Reka yang merasa surat-suratnya pernah dibaca Iwan, melotot. Dilemparnya adiknya dengan bantal. Tapi Iwan dan Heru tidak pernah pergi sebelum Reka mengusirnya dan mengunci pintu kamar. Kalau sudah begitu, Lia paling tersenyum.
Naik ke kelas dua Lia sudah bisa membaca meski masih menabrak-nabrak titik koma. Iwan meminjamkan buku-buku ceritanya. Malam-malam menjelang tidur Lia akan membacanya keras di hadapan Bi Ami. Karena setiap malam hal itu dilakukannya, membacanya semakin lancar dan buku yang dibacanya semakin menumpuk. Berbagai dongeng telah dihapalnya. Sebagian ada yang baru diketahuinya tapi sebagian lagi telah diketahuinya dari dongeng Nenek. Sangkuriang, Timun Mas, Cinderella, Ande-Ande Lumut, Putri Salju, Bawang Putih Bawang Merah, bisa lancar dia ceritakan bila disuruh bu guru di depan kelas.
Lia menjadi anak emas di kelasnya. Dia memang rajin mengerjakan pekerjaan rumah dan pandai. Dari kelas dua sampai lulus dari SD, Lia meraih rengking pertama. Masuk SMP dia seperti yang membangun dunianya sendiri saat Bapak memperbolehkannya membaca di ruang perpustakaan. Hampir setiap malam, menjelang tidur, Lia membaca buku. Kadang sampai larut malam dia duduk sendirian di ruang perpustakaan. Dunia dibangun oleh buku-buku yang beragam bahasannya. Pandangannya terbuka melihat dunia baru yang dimasukinya. Tapi tugas sehari-harinya tidak berubah. Bangun pagi, sholat Subuh, beres-beres ruang depan, kadang membantu Bi Ami mencuci piring, dan berangkat sekolah.
Berkali-kali ajakan Iwan untuk ikut begadang bila malam Mingu tiba ditolaknya. Dulu pernah dia ikut bersama Reka makan malam di luar, katanya sekalian cari angin. Tapi sekarang segalanya menjadi tidak menarik perhatian selain buku-buku.
“Kenapa sih kamu, kaya profesor aja,” kata Iwan. “Ayo ikut, mumpung malam Minggu.”
Lia menggeleng. Hubungan majikan-pembantu memang mengalami perubahan terhadap Lia. Reka, Iwan dan Heru sudah tidak lagi menganggapnya pembantu. Apalagi setelah mereka belajar ngaji bersama seminggu dua kali di rumah. Dalam mengaji, Lia lebih lancar daripada Iwan dan Heru. Dulu, hampir setiap malam Nenek memang mengajarkannya. Tanpa malu-malu Iwan meminta perhatian Lia bila dia mengaji. Sesekali mereka malah saling mengejek. Ibu dan Bapak juga jarang menyuruh yang berat-berat.
Dan sekarang, Lia telah menemukan dunianya sendiri. Dunia yang penuh dengan impian yang sempat hilang semasa kecil.
“Sekali ini saja saya temenin,” kata Iwan merajuk. “Please, Lia. Kamu akan membantu saya bila mau.”
Lia melempar bukunya. “Ke mana?”
“Ikut saja. Ganti baju yang bagus.”
Baju yang dipakai Lia tidaklah terlalu bagus. Kebanyakan baju yang dipunyainya adalah pemberian Reka. Tapi Iwan sempat bengong saat melihat Lia keluar dari kamar. Celana coklat muda yang lebar ke bawahnya dan kemeja coklat tua bermotif bunga-bunga, membentuk Lia menjadi makhluk asing di mata Iwan. Perpaduan feminim dan maskulin bermuara di tubuhnya yang semampai. Setiap hari Lia melakukan pekerjaan rutinnya memang tidak beda dengan senam untuk menjaga kebugaran tubuh yang dilakukan gadis-gadis lainnya. Wajahnya yang berbedak tipis begitu cerah. Dan rambutnya yang dibiarkan panjang terurai seperti gadis di iklan shampo.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
Iwan gelagapan. “Tidak apa-apa. Kamu pergi lewat belakang, saya nunggu di jalan. Mumpung hanya Mama yang nonton tv.”
Malam Minggu memang malam kebebasan bagi anak-anak yang diberikan Ibu dan Bapak. Mereka boleh pergi asal meminta ijin terlebih dahulu. Reka malam itu pergi bersama teman-teman kuliahnya. Heru tidak kelihatan batang hidungnya sejak sore. Dan Iwan malam itu akan menghadiri ulang tahun temannya. Dia memang telah mendapat ijin Mama, tapi tidak dengan mengajak Lia. Karena itu dia memilih Lia pergi sembunyi-sembunyi daripada Mama menginterogasi. Waktunya bisa melebar.
Iwan sudah menunggu dengan sepeda motornya di jalan saat Lia datang. Jam di tangan Iwan menunjukkan pukul 18.30. Langit cerah, bintang-bintang mulai muncul. Jalanan penuh dengan kendaraan saat mereka memasuki jalan raya. Mobil hanya bisa maju sedikit-sedikit. Tapi motor Iwan bisa meliuk-liuk di antara mobil yang berdempetan. Malam Minggu memang saat yang leluasa untuk jalan-jalan bersama keluarga atau siapa saja yang menjadi orang dekat.
“Ke mana kita?” teriak Lia, suaranya berbaur dengan bunyi kendaraan.
“Nanti saya terangin. Kamu pegangan, saya akan nyalip-nyalip.”
Hampir copot jantung Lia karena motor Iwan seperti melonjak-lonjak. Sepanjang jalan dia istighfar sampai Iwan menghentikan motornya di sebuah toko kado.
“Saya akan ke ulang tahun teman,” kata Iwan. “Kamu di sana harus ngaku pacar saya.”
“Pacar?”
“Iya. Syarat yang datang memang harus bawa pacar. Kalau tidak, akan diledekin habis-habisan.”
“Pacar kamu ke mana?”
“Bego! Siapa pacar saya?”
Lia tertawa. Beberapa waktu lalu Iwan pernah cerita kalau dia naksir Yesi, tapi gadis itu menolaknya.
“Oke? Kamu mau janji?”
“Iya.”
Suasana pesta teman Iwan surprise buat Lia. Dia memang baru pertama kali datang ke pesta seperti itu. Para remaja yang hadir berdandan habis-habisan. Mereka cantik-cantik dan cakep-cakep. Para gadis banyak yang memakai tank top yang memperlihatkan sebagian perut. Polesan wajah berwarna-warni. Percis seperti remaja yang sering nongol di layar televisi. Lia mengurut dada melihatnya. Mengapa mesti menjadi trend hal seperti itu, bathinnya. Percaya diri, bukankah adanya di dalam hati dan pikiran, bukan dari dandanan merepotkan dan mengundang seperti itu.
Lia yang memakai celana dan kemeja panjang tentu berbeda dari yang lain. Tapi laki-laki banyak yang melirik karena kelainannya itu. Selain itu, karena Lia memang cantik. Wajah tanpa polesan, alis lebat, cerah, sehat, itu saja sudah suatu kecantikan yang menonjol.
Ruangan yang besar itu penuh dengan balon. Makanan tersedia di setiap sudut. Sound sistem menumpuk di salah satu sudut. Itu semua menarik perhatian Lia. Tapi sebenarnya dia yang banyak diperhatikan orang saat Iwan memperkenalkannya.
“Jadi kamu pacar Iwan?” tanya salah seorang teman Iwan yang lama tidak melepaskan salamannya. Lia mengangguk.
“Sejak kapan? Kenapa mau sama Iwan?”
“Sudah! Lihat si Iwan melotot!”
“Lihat, pacar kamu juga melotot!”
Kelompok Iwan yang datang memang membawa pacarnya masing-masing. Setelah acara pembukaan dan doa yang dibawakan orang tua yang berulang tahun, selanjutnya para tamu berjoget. Tapi Lia menolak ketika Iwan mengajaknya ikut berjoget.
“Kenapa?”
“Saya mau pulang. Sudah malam.”
Iwan mengantar pulang dengan diteriaki teman-temannya. Dia memang tidak begitu suka dengan pesta-pesta seperti itu. Yang penting kegelisahannya beberapa hari ini terselesaikan. Dia tidak mau dicemoohi terus-terusan karena tidak punya pacar. Tapi untuk tidak datang ke pesta itu juga tidak mungkin, karena akan dianggap menghindar. Gengsi.
Di sebuah pertokoan Iwan membelokkan motornya.
“Mau ke mana lagi?” tanya Lia.
“Saya mau beli kalung.”
Lia mengikuti saja ke mana Iwan melangkah. Pengunjung pertokoan itu masih padat. Iwan membeli kalung emas bermata batuan putih dan mengenakannya di leher Lia.
“Buat siapa?”
“Buat kamu. Sebagai ucapan terima kasih ... Atau nggak mau?”
Lia tersenyum. Dia memang tidak menyangka kejutan itu akan terjadi. Iwan melingkarkan kalung itu ke lehernya. Diciumnya tangan Iwan. “Terima kasih,” katanya. Iwan menarik tangan Lia untuk pulang karena orang-orang memperhatikan mereka. Di sudut parkir Iwan menarik tangan Lia.
“Saya ingin bicara, tentang hubungan kita. Mau nggak mendengarkan?”
Lia mengangguk. Dadanya berdegup kencang.
“Mau nggak kamu menjadi adik sungguhan? Tidak pacar seperti tadi atau seperti hubungan kita di rumah?”
Lia menunduk. Begitu surprise apa yang dikatan Iwan, lebih mengejutkan daripada suasana ulang tahun tadi.
“Mau nggak?”
Lia mengangguk.
“Katakan dulu, mau nggak?”
“Mau.” Hampir tak terdengar suara Lia.
Iwan merangkul Lia dan mencium kening adiknya itu. Sampai larut malam Lia tidak bisa tidur. Kalung pemberian Iwan dipegangnya erat-erat.

**

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "AMBILKAN BULAN, BU 2"

  1. Di tabloid NOVA, tapi sudah lama sekali, Mas Apin. Tahun kemarin dibuat audiobook-nya oleh PT Edifikasi.
    https://soundcloud.com/audiobuku-com/ambilkan-bulan-bu-audiobooks-indonesia

    BalasHapus