AMBILKAN BULAN, BU 2
Mimpi
yang Hilang
BI Ami, tetangga Lia yang bekerja di kota,
saat pulang kampung mengajak Lia untuk pergi ke kota.
“Di kota banyak yang butuh pembantu,” kata
Bi Ami. “Teman-teman majikan Bibi juga sudah beberapa kali meminta. Tapi bila
mereka sekarang sudah punya pembantu, kamu bisa menumpang dulu di tempat Bibi
bekerja.”
“Tapi nanti Bibi dimarahi karena membawa
orang lain.”
“Tidak akan. Majikan Bibi orangnya baik.
Lagipula kamu kan bisa membantu-bantu Bibi tanpa dibayar. Kalau kamu mau, dua
hari lagi Bibi akan ke kota.”
Lia begitu gembira mendapatkan ajakan
seperti itu. Bukan gembira karena merasa nasibnya akan berubah, karena yang dia
tahu Bia Ami pun bukan orang yang berada meski telah dua tahun bekerja di kota.
Rumahnya yang sekarang ditinggali anaknya tidak menampakkan perubahan dari saat
Bi Ami pergi ke kota. Dulu Bi Ami pergi ke kota karena suaminya meninggal dalam
bencana longsor yang juga menimpa orang tua Lia.
Lia gembira karena perhatian Bi Ami dan
karena merasa akan keluar dari rutinitas yang membosankan. Dengan perhatian Bi
Ami, Lia merasa punya lagi keluarga. Waktu itu Lia sudah berumur sembilan
tahun.
Bi Ami bekerja di sebuah keluarga kaya.
Rumahnya besar. Dua tingkat. Halamannya luas dengan taman tertata rapi.
Biasanya ada orang yang datang dua minggu sekali memotong rumput dan tanaman.
Baru kali itu Lia masuk ke rumah sebesar itu. Orang-orang kaya di kampung,
rumahnya tidak sebesar itu.
Di tingkat atas ada lima kamar. Tiga kamar
dipakai oleh anak-anaknya. Dua kamar dipakai tempat perpustakaan dan kamar
tamu. Di bawah ada empat kamar besar. Satu dipakai Ibu dan Bapak, satu dipakai
ruang kerja Bapak, yang duanya dipakai
kamar tamu. Di belakang, dekat dapur, ada beberapa kamar kecil. Bi Ami menempati
salah satu kamar itu. Mang Apit, sopir di keluarga itu, juga tinggal di kamar
belakang. Yang lainnya dipakai ruang setrika dan gudang.
Mobilnya punya dua. Satu mobil untuk Bapak
pergi ke kantor. Setiap hari Mang Apit mencuci mobil itu dan selalu siap bila
Bapak akan pergi. Kadang Bapak tidak pulang beberapa hari. Lia tidak tahu
kemana saja Bapak pergi. Mobil yang satunya lagi biasa dipakai keperluan
sehari-hari. Ibu belanja, antar-jemput anak-anak sekolah, arisan, Bi Ami ke
pasar, Ibu berkumpul bersama ibu-ibu lainnya. Untuk itu ada lagi sopir khusus
yang tinggal di belakang kompleks. Namanya Mang Engkus. Biasanya Mang Engkus
datang pagi-pagi dan pulang sore, atau kalau diperlukan bisa kerja sampai
malam.
Anak Ibu dan Bapak ada tiga orang. Anak
pertama seorang wanita, kelas dua SMP. Anak kedua dan ketiga laki-laki, kelas
enam dan lima SD. Setiap hari mereka diantar-jemput sekolahnya. Tiga kali
seminggu, Reka, anak pertama, kursus berenang dan dua kali seminggu kursus main
piano. Iwan dan Heru tidak mau kursus. Dua kali seminggu mereka belajar di
rumah, guru les yang datang.
Hari pertama Lia datang ke rumah itu,
tidak ada yang menghiraukannya. Malamnya Bi Ami mengajaknya untuk menghadap
Ibu.
“Tadi sore Bibi sudah bilang tentang kamu.
Sekarang kamu menghadap Ibu,” kata Bi Ami. Lia degdegan selama merapikan rambut dan baju serta waktu melangkah ke
ruang dalam.
Ibu dan Bapak sedang menonton televisi.
Ketiga anaknya juga ada. Memang baru saja mereka makan malam. Lia duduk di
karpet, tapi Ibu menyuruhnya duduk di kursi. Perlahan Lia duduk di kursi,
seolah takut pantatnya merobek kursi yang pasti empuk. Dan kursi itu memang
empuk.
“Jadi kamu mau bekerja?” tanya Ibu.
“Iya, Tuan.”
Ibu tersenyum. Bapak menyembulkan
kepalanya dari koran yang dibacanya. Anak-anak sempat mengalihkan perhatian
dari acara televisi yang ditontonnya.
“Tidak usah memanggil Tuan. Panggil saja
Ibu. Ini Bapak. Itu anak-anak. Nanti Bi Ami yang akan ngasih tahu. Sudah pernah
bekerja sebelumnya?”
“Sudah sering saya bekerja di dapur.”
Lia terus menunduk. Tidak berani dia
mengangkat wajahnya. Padahal hatinya begitu tertarik dengan acara kuis anak di
televisi yang terdengar suaranya.
“Bisa masak?”
“Bisa.”
“Bisa nyetrika?”
“Bisa.”
“Ya sudah, sekarang kamu ikut dulu bersama
Bi Ami. Kamu bisa bantu-bantu Bi Ami. Nanti Ibu carikan keluarga untuk kamu
membantu.”
Lia mengangguk beberapa kali. Sudah ingin
dia pamitan dan menyatakan gembira kepada Bi Ami. Tapi sebelum Bi Ami pamitan,
Ibu bertanya lagi.
“Eh, kamu berapa tahun?”
“Sembilan tahun.”
“Sembilan?”
Bapak menyembulkan lagi kepalanya. Anak-anak
melirik.
“Tidak melanjutkan sekolah?”
“Saya tidak sekolah, Bu.”
Ibu mengerutkan keningnya. Tapi tidak ada
lagi pertanyaan sampai Bi Ami dan Lia pamitan. Lia merangkul Bi Ami di dalam
kamar. “Mereka baik-baik, ya, Bi,” katanya. Bi Ami mengangguk.
Setiap hari tugas Lia adalah membantu Bi
Ami menyiapkan sarapan pagi. Lia belajar bagaimana membuat nasi goreng yang
bumbunya komplit, membuat roti bakar dengan panggangan yang selama Lia bekerja
di rumah-rumah di kampung belum ada yang punya, membuat susu tanpa gula yang
takarannya pas bagi setiap orangnya. Iwan susunya mesti manis sekali. Sementara
Reka tidak terlalu manis.
Setelah mereka pergi dari rumah, Lia
membereskan tempat tidur anak-anak dan membersihkan ruang dalam dari debu.
Selebihnya Lia banyak memiliki waktu bebas. Paling membantu Bi Ami memasak
untuk makan siang, mengerjakan suruhan kalau Ibu menyuruh, sore menyiram
tanaman.
Kadang kalau Bi Ami ke pasar dengan
diantar Mang Engkus, Lia ikut. Lia sering duduk di depan. Dia sering
membayangkan, seandainya yang ada di sampinya menyetir adalah Apa dan yang
duduk di belakang itu Emak. Wah, kesenangan hidup seperti apa yang dialaminya?
Kalau sudah melamun begitu, Mang Engkus sering menggoda, katanya Lia sudah
ingin didekati laki-laki. Ah, Mang Engkus kalau menggoda keterlaluan. Tidak ada
pikiran seperti itu di kepala Lia. Di kampung memang anak seusianya sudah
banyak yang dipingit untuk kemudian dicarikan jodohnya.
Tapi banyaknya waktu untuk beristirahat
itu malah tidak disukai Lia. Dia sering bertanya kepada Bi Ami, “Sekarang apa
lagi yang mesti dikerjakan?”
“Kamu istirahat saja dulu, tiduran sana,
dari pagi kerja terus.”
Tapi Lia tidak mau. Bila Bi Ami sudah
mengatakan seperti itu, dia akan mengerjakan apa saja yang pantas dikerjakan.
Menyapu lantai yang terlihat berdebu, membereskan tempat sepatu, menggunting
daun-daun yang sudah menguning di taman. Lia senang bila anak-anak pulang
sekolah. Memang mereka jarang menyuruh, tapi setiap hari pasti ada yang meminta
tolong, begitu mereka mengistilahkannya, kepada Lia. Kalau tidak membuatkan teh
dingin, mereka meminta tolong Lia mengambilkan baju-baju kotor di kamar yang
baru saja mereka pakai.
Lia senang kalau ada yang menyuruhnya.
Karena waktu disuruh seperti itu ada kemungkinan untuk ngobrol meski hanya satu
dua pembicaraan saja. Di dalam hatinya dia ingin ngobrol yang panjang dengan
anak-anak majikannya. Tentu menarik mendengarkan pengalaman-pengalaman mereka.
Atau kalau mungkin ikut bermain play
station di televisi.
Lia paling senang bila Reka menyuruh menemaninya
belajar. Selain senang karena sering dikasih persen baju bekasnya yang masih
bagus-bagus, juga senang karena Reka sering bercerita pengalamannya di sekolah
atau di tempat kursus. Dia pernah bercerita tentang guru main pianonya yang
pintar menyanyi, teman baiknya yang sedang sakit, atau saat ada teman lelakinya
yang mengirim surat cinta. Tapi Teh Reka, begitu kemudian Lia memanggilnya,
seringnya ingin mendengarkan cerita Lia. Terpaksa Lia bercerita pengalamannya,
cerita yang tentunya tidak menarik.
Lia sangat kerasan tinggal di tempat
barunya itu. Ibu dan Bapak tidak pernah memarahinya meski dia datang dengan
terbungkuk-bungkuk saat melapor bahwa dia telah memecahkan piring. Ibu malah
menyukai hasil kerja Lia. Ibu sering memperhatikan Lia dan menganggap anak itu
rajin, jujur, dan daya tangkapnya lumayan. Beberapaka kali Lia menemukan uang
saat membereskan kamar anak-anak dan uang itu diberikan kepada Ibu.
Maka ketika suatu malam Ibu memanggilnya,
Lia bersedih karena harus secepatnya pindah ke keluarga baru yang belum tentu
sebaik di sini.
“Sudah ada teman Ibu yang meminta kamu
bekerja di rumahnaya. Tapi Ibu sudah sepakat dengan Bapak, kalau kamu mau
tinggal di sini, kamu boleh tinggal. Ibu akan menyekolahkan kamu. Kamu boleh
milih, bila ingin bekerja dan mendapatkan gaji yang akan kamu kirim ke kampung,
Ibu akan mengantarmu.”
Lia mendongakkan kepalanya. Baru kali itu
dia berani memandang wajah Ibu. Hatinya tidak terkira gembiranya. Baru kali
itu, selama hidupnya, ada orang yang menawarinya untuk sekolah.
“Menurut Ibu, kamu masih terlalu kecil
untuk bekerja, kamu masih perlu sekolah. Kamu perlu bisa membaca dan menulis.”
Lia tidak kuasa menahan air yang meleleh
di pipinya.
**
Kalung Persaudaraan
HARI petama masuk sekolah, Lia merasa apa
yang dilakukannya ada dalam mimpi. Biasanya dia hanya melihat senang saat
anak-anak majikannya sarapan sebelum pergi ke sekolah. Hari ini dia sendiri
yang mesti sarapan.
Berkali-kali Lia melihat dirinya di kaca.
Baju seragamnya yang telah dibelikan Ibu tiga hari yang lalu ditepuk-tepuknya.
Berkali-kali dia meminta pendapat Bi Ami.
“Kamu memang pantas memakai seragam itu,
Nyi. Kamu cantik,” kata Bi Ami membuat Lia tersipu. “Mudah-mudahan kamu cepat
pandai. Orang pandai itu lebih berguna dan disayang Tuhan.”
“Iya kalau pandainya tidak menipu orang.”
“Tentu jangan menipu orang, Nyi. Kamu mesti seperti Bapak yang pergi
setiap hari diantar sopir. Kamu mesti membantu orang yang kesusahan. Orang
pandai yang menipu itu adalah orang yang menyia-nyiakan anugerah Tuhan.”
Terdengar Ibu memanggil Lia. Saat itu di ruang
tengah, Bapak, Ibu, dan anak-anak sedang sarapan.
“Cepat, Nyi, kamu mesti bersiap-siap.”
Lia mengangguk. Diciumnya pipi Bi Ami
sebelum dia keluar. Bia Ami mengerjapkan matanya. Berbahagia sekali dia melihat
Lia begitu bersemangat. Anak itu memang sejak kecilnya tidak merepotkan mesti
telah ditinggal orang tuanya. Bi Ami tahu saat Lia selalu mengintil neneknya membantu mengerjakan pekerjaan dapur di rumah
orang-orang kaya di kampung.
Selain itu, Lia juga sebenarnya masih ada
kaitan saudara dengannya. Ibu nenek Lia dengan ibu Bi ami itu adik kakak. Tapi
meski saudara, bisa membantu apa Bi Ami melihat saudaranya kesusahan? Dirinya
sendiri waktu itu morat-marit. Sejak bencana di lereng gunung itu, tanah
garapan yang merupakan tanah pemerintah itu tidak boleh digarap lagi. Dia dan
anak satu-satunya pun tidak bisa berbuat apa-apa selain menjual tenaga kasarnya
yang hanya cukup untuk menutup rasa laparnya sendiri. Sampai anugerah itu
datang saat dia bekerja di kota dan sedikit-sedikit bisa menabung untuk membeli
sepetak tanah yang saat ini digarap anaknya.
Karena itu, melihat Lia, Bi Ami punya
harapan baru. Anak itu rajin dan pandai. Ada-ada saja yang dikerjakannya
setelah tugas rutinnya membereskan kamar anak-anak selesai. Kalau tidak
membereskan ruang dalam, Lia akan tahan berjam-jam merapikan tanaman di taman.
Selalu saja anak itu tidak mau bila disuruh istirahat. Bi Ami mengerti, seumur
dia yang masih anak-anak telah kenyang dengan pengalaman bekerja.
Masuk sekolah adalah pengalam baru
baginya. Bi Ami melihat kegembiraan Lia tidak surut sejak Ibu menyuruhnya untuk
sekolah. Lia semakin rajin bekerja. Tadi pagi, begitu selesai sholat Subuh, Lia
langsung membereskan ruang tengah meski Bi Ami melarangnya.
“Saya akan mengerjakan tugas ini setiap
hari, Bi. Biar tidak keenakan,” katanya.
**
Lia malu-malu mendekati Ibu.
“Kamu sudah sarapan?”
“Sudah, Bu.”
“Siap-siap. Kita berangkat sekarang.”
Lia kembali ke dapur untuk mengambil tas.
Segala sesuatunya telah disiapkan sejak Ibu membelikan tas, buku, dan peralatan
lainnya. Setiap malam, menjelang tidur, peralatan sekolah itu diperiksa kembali
seolah sekolahnya akan dimulai besok.
Ibu membawa Lia ke sekolah di belakang
kompleks. Dari rumah sebenarnya tidak jauh bila jalannya menerobos. Tapi karena
memakai mobil, jalannya memutar. Sekolah itu tidak terlalu besar. Hanya ada
enam kelas. Muridnya sedikit, kebanyakan anak-anak dari kampung di belakang
kompleks perumahan.
Ibu menghadap kepala sekolah. Setelah
berbicara sebentar Ibu pulang. Lia dibawa kepala sekolah ke ruang kelas satu.
Di antara murid-murid yang lain, Lia termasuk paling besar. Usinya memang sudah
jalan sembilan tahun. Tapi itu tidak membuat Lia malu. Meski dia tertinggal
beberapa bulan dari murid yang lainnya, dia bisa cepat menyusul pelajaran.
Beberapa minggu saja sekolah, lia sudah
bisa mengeja. Setiap sore dan malam dia mengulang kembali pelajarannya. Bi Ami
suka tersipu malu kalau Lia memintanya untuk memperhatikannya. Bi Ami memang
tidak bisa membaca. Kadang Reka yang mengajarkan Lia bila dia sedang mau. Iwan
dan Heru paling memperhatikan bila Lia belajar dan mentertawakannya bila Lia
salah.
“Masa S dengan Y jadi say. Say itu bila
Teh Reka menerima surat,” kata Iwan. Heru tertawa. Reka yang merasa
surat-suratnya pernah dibaca Iwan, melotot. Dilemparnya adiknya dengan bantal.
Tapi Iwan dan Heru tidak pernah pergi sebelum Reka mengusirnya dan mengunci
pintu kamar. Kalau sudah begitu, Lia paling tersenyum.
Naik ke kelas dua Lia sudah bisa membaca
meski masih menabrak-nabrak titik koma. Iwan meminjamkan buku-buku ceritanya.
Malam-malam menjelang tidur Lia akan membacanya keras di hadapan Bi Ami. Karena
setiap malam hal itu dilakukannya, membacanya semakin lancar dan buku yang
dibacanya semakin menumpuk. Berbagai dongeng telah dihapalnya. Sebagian ada
yang baru diketahuinya tapi sebagian lagi telah diketahuinya dari dongeng
Nenek. Sangkuriang, Timun Mas, Cinderella, Ande-Ande Lumut, Putri Salju, Bawang
Putih Bawang Merah, bisa lancar dia ceritakan bila disuruh bu guru di depan
kelas.
Lia menjadi anak emas di kelasnya. Dia
memang rajin mengerjakan pekerjaan rumah dan pandai. Dari kelas dua sampai
lulus dari SD, Lia meraih rengking pertama. Masuk SMP dia seperti yang
membangun dunianya sendiri saat Bapak memperbolehkannya membaca di ruang
perpustakaan. Hampir setiap malam, menjelang tidur, Lia membaca buku. Kadang
sampai larut malam dia duduk sendirian di ruang perpustakaan. Dunia dibangun
oleh buku-buku yang beragam bahasannya. Pandangannya terbuka melihat dunia baru
yang dimasukinya. Tapi tugas sehari-harinya tidak berubah. Bangun pagi, sholat
Subuh, beres-beres ruang depan, kadang membantu Bi Ami mencuci piring, dan
berangkat sekolah.
Berkali-kali ajakan Iwan untuk ikut
begadang bila malam Mingu tiba ditolaknya. Dulu pernah dia ikut bersama Reka
makan malam di luar, katanya sekalian cari angin. Tapi sekarang segalanya
menjadi tidak menarik perhatian selain buku-buku.
“Kenapa sih kamu, kaya profesor aja,” kata
Iwan. “Ayo ikut, mumpung malam Minggu.”
Lia menggeleng. Hubungan majikan-pembantu
memang mengalami perubahan terhadap Lia. Reka, Iwan dan Heru sudah tidak lagi
menganggapnya pembantu. Apalagi setelah mereka belajar ngaji bersama seminggu
dua kali di rumah. Dalam mengaji, Lia lebih lancar daripada Iwan dan Heru.
Dulu, hampir setiap malam Nenek memang mengajarkannya. Tanpa malu-malu Iwan
meminta perhatian Lia bila dia mengaji. Sesekali mereka malah saling mengejek.
Ibu dan Bapak juga jarang menyuruh yang berat-berat.
Dan sekarang, Lia telah menemukan dunianya
sendiri. Dunia yang penuh dengan impian yang sempat hilang semasa kecil.
“Sekali ini saja saya temenin,” kata Iwan
merajuk. “Please, Lia. Kamu akan
membantu saya bila mau.”
Lia melempar bukunya. “Ke mana?”
“Ikut saja. Ganti baju yang bagus.”
Baju yang dipakai Lia tidaklah terlalu bagus.
Kebanyakan baju yang dipunyainya adalah pemberian Reka. Tapi Iwan sempat
bengong saat melihat Lia keluar dari kamar. Celana coklat muda yang lebar ke
bawahnya dan kemeja coklat tua bermotif bunga-bunga, membentuk Lia menjadi
makhluk asing di mata Iwan. Perpaduan feminim dan maskulin bermuara di tubuhnya
yang semampai. Setiap hari Lia melakukan pekerjaan rutinnya memang tidak beda
dengan senam untuk menjaga kebugaran tubuh yang dilakukan gadis-gadis lainnya.
Wajahnya yang berbedak tipis begitu cerah. Dan rambutnya yang dibiarkan panjang
terurai seperti gadis di iklan shampo.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
Iwan gelagapan. “Tidak apa-apa. Kamu pergi
lewat belakang, saya nunggu di jalan. Mumpung hanya Mama yang nonton tv.”
Malam Minggu memang malam kebebasan bagi
anak-anak yang diberikan Ibu dan Bapak. Mereka boleh pergi asal meminta ijin
terlebih dahulu. Reka malam itu pergi bersama teman-teman kuliahnya. Heru tidak
kelihatan batang hidungnya sejak sore. Dan Iwan malam itu akan menghadiri ulang
tahun temannya. Dia memang telah mendapat ijin Mama, tapi tidak dengan mengajak
Lia. Karena itu dia memilih Lia pergi sembunyi-sembunyi daripada Mama
menginterogasi. Waktunya bisa melebar.
Iwan sudah menunggu dengan sepeda motornya
di jalan saat Lia datang. Jam di tangan Iwan menunjukkan pukul 18.30. Langit
cerah, bintang-bintang mulai muncul. Jalanan penuh dengan kendaraan saat mereka
memasuki jalan raya. Mobil hanya bisa maju sedikit-sedikit. Tapi motor Iwan
bisa meliuk-liuk di antara mobil yang berdempetan. Malam Minggu memang saat
yang leluasa untuk jalan-jalan bersama keluarga atau siapa saja yang menjadi
orang dekat.
“Ke mana kita?” teriak Lia, suaranya
berbaur dengan bunyi kendaraan.
“Nanti saya terangin. Kamu pegangan, saya
akan nyalip-nyalip.”
Hampir copot jantung Lia karena motor Iwan
seperti melonjak-lonjak. Sepanjang jalan dia istighfar sampai Iwan menghentikan motornya di sebuah toko kado.
“Saya akan ke ulang tahun teman,” kata Iwan.
“Kamu di sana harus ngaku pacar saya.”
“Pacar?”
“Iya. Syarat yang datang memang harus bawa
pacar. Kalau tidak, akan diledekin habis-habisan.”
“Pacar kamu ke mana?”
“Bego! Siapa pacar saya?”
Lia tertawa. Beberapa waktu lalu Iwan
pernah cerita kalau dia naksir Yesi, tapi gadis itu menolaknya.
“Oke? Kamu mau janji?”
“Iya.”
Suasana pesta teman Iwan surprise buat Lia. Dia memang baru
pertama kali datang ke pesta seperti itu. Para remaja yang hadir berdandan
habis-habisan. Mereka cantik-cantik dan cakep-cakep. Para gadis banyak yang
memakai tank top yang memperlihatkan
sebagian perut. Polesan wajah berwarna-warni. Percis seperti remaja yang sering
nongol di layar televisi. Lia mengurut dada melihatnya. Mengapa mesti menjadi trend hal seperti itu, bathinnya.
Percaya diri, bukankah adanya di dalam hati dan pikiran, bukan dari dandanan merepotkan
dan mengundang seperti itu.
Lia yang memakai celana dan kemeja panjang tentu
berbeda dari yang lain. Tapi laki-laki banyak yang melirik karena kelainannya
itu. Selain itu, karena Lia memang cantik. Wajah tanpa polesan, alis lebat,
cerah, sehat, itu saja sudah suatu kecantikan yang menonjol.
Ruangan yang besar itu penuh dengan balon.
Makanan tersedia di setiap sudut. Sound
sistem menumpuk di salah satu sudut. Itu semua menarik perhatian Lia. Tapi
sebenarnya dia yang banyak diperhatikan orang saat Iwan memperkenalkannya.
“Jadi kamu pacar Iwan?” tanya salah
seorang teman Iwan yang lama tidak melepaskan salamannya. Lia mengangguk.
“Sejak kapan? Kenapa mau sama Iwan?”
“Sudah! Lihat si Iwan melotot!”
“Lihat, pacar kamu juga melotot!”
Kelompok Iwan yang datang memang membawa
pacarnya masing-masing. Setelah acara pembukaan dan doa yang dibawakan orang
tua yang berulang tahun, selanjutnya para tamu berjoget. Tapi Lia menolak
ketika Iwan mengajaknya ikut berjoget.
“Kenapa?”
“Saya mau pulang. Sudah malam.”
Iwan mengantar pulang dengan diteriaki
teman-temannya. Dia memang tidak begitu suka dengan pesta-pesta seperti itu.
Yang penting kegelisahannya beberapa hari ini terselesaikan. Dia tidak mau
dicemoohi terus-terusan karena tidak punya pacar. Tapi untuk tidak datang ke
pesta itu juga tidak mungkin, karena akan dianggap menghindar. Gengsi.
Di sebuah pertokoan Iwan membelokkan
motornya.
“Mau ke mana lagi?” tanya Lia.
“Saya mau beli kalung.”
Lia mengikuti saja ke mana Iwan melangkah.
Pengunjung pertokoan itu masih padat. Iwan membeli kalung emas bermata batuan
putih dan mengenakannya di leher Lia.
“Buat siapa?”
“Buat kamu. Sebagai ucapan terima kasih
... Atau nggak mau?”
Lia tersenyum. Dia memang tidak menyangka
kejutan itu akan terjadi. Iwan melingkarkan kalung itu ke lehernya. Diciumnya
tangan Iwan. “Terima kasih,” katanya. Iwan menarik tangan Lia untuk pulang
karena orang-orang memperhatikan mereka. Di sudut parkir Iwan menarik tangan
Lia.
“Saya ingin bicara, tentang hubungan kita.
Mau nggak mendengarkan?”
Lia mengangguk. Dadanya berdegup kencang.
“Mau nggak
kamu menjadi adik sungguhan? Tidak pacar seperti tadi atau seperti hubungan
kita di rumah?”
Lia menunduk. Begitu surprise apa yang dikatan Iwan, lebih mengejutkan daripada suasana
ulang tahun tadi.
“Mau nggak?”
Lia mengangguk.
“Katakan dulu, mau nggak?”
“Mau.” Hampir tak terdengar suara Lia.
Iwan merangkul Lia dan mencium kening
adiknya itu. Sampai larut malam Lia tidak bisa tidur. Kalung pemberian Iwan
dipegangnya erat-erat.
**
Di tabloid NOVA, tapi sudah lama sekali, Mas Apin. Tahun kemarin dibuat audiobook-nya oleh PT Edifikasi.
BalasHapushttps://soundcloud.com/audiobuku-com/ambilkan-bulan-bu-audiobooks-indonesia