NEGERI MURAM


Pikiran Rakyat, 25 Oktober 2001

Di depan gerbang tanpa penjagaan ini kami berhenti. Sambil mengatur napas setelah perjalanan mahapanjang, kami menatap sejauh mata memandang. Matahari terasa begitu ganas menimpa pepohonan kering, puing-puing bangunan dan lapangan kering. Negeri seperti apakah yang dibatasi pintu gerbang tanpa penjagaan dan pemandangan memilukan ini?
Kami saling bertanya di dalam hati sambil merasakan angin kering yang menyisir pipi begitu perih. Kami menghirup bau khas; bau mesiu, bau permusuhan, bau keserakahan, bau airmata. Kami tidak menangis, karena bau seperti ini sudah biasa kami hirup. Tapi luka yang menganga bertahun-tahun yang lalu di hati kami, berdarah kembali.
Pemimpin kami yang berdiri paling depan, berbalik dan menatap kami, meminta persetujuan apakah perjalanan harus dilanjutkan memasuki negeri yang dibatasi pintu gerbang tanpa penjagaan ini atau berbelok arah ke wilayah yang belum diketahui peradabannya.
Kami menunduk tanpa memberi jawaban. Kami memang tidak tahu mesti berjalan ke mana dan melakukan apa. Perjalanan mahapanjang ini telah menjadi hidup kami tanpa tujuan, tanpa harapan, dan mungkin yang sedang berproses adalah tanpa ketakutan.
Di depan gerbang tanpa penjagaan sekali lagi kami menatap sejauh mata memandang dengan perasaan ragu-ragu yang semakin membesar seperti bola salju. Menyaksikan pemandangan yang begitu memilukan, ada semacam rindu melonjak-lonjak di dalam hati kami. Rindu untuk menetap; merasakan nasinya, meminum air beningnya, menyaksikan anak-anak bermain di hijau lapangan rumputnya. Dan perasaan ngeri yang mencekam. Ngeri karena dari negeri inilah perjalanan kesedihan ini bermula.
Negeri muram dengan gerbang tanpa penjagaan ini adalah tanah air kami. Tempat kami dilahirkan, dibesarkan, merasakan cinta, kebanggaan dan kehormatan. Entah dari mana mulainya perselisihan itu terjadi, berkembang, saling mencurigai, saling memburu, membunuh, saling menjatuhkan, saling menuding. Kami hanya tahu awalnya tanah air kami adalah tanah air yang subur makmur, tongkat dan kayu pun jadi tanaman. Tapi para pemimpin kami menjual tanah yang subur itu. Kekayaan alam dikeruk ke negeri-negeri asing. Emas, perak, minyak, batu bara, dan barang tambang lainnya, hanya lewat di negeri kami. Kami cukup berbahagia hanya menjadi pekerja. Lalu kekayaan alam yang dikeruk asing itu dijual lagi kepada negeri kami setelah menjadi barang konsumi dengan harga yang mahal. Hidup menjadi susah. Kami pun saling mencurigai, saling menikam, saling berebut kekuasaan, saling mencari kesempatan untuk sejahtera sendiri. Tentu saja sejahtera secara duniawi. Pertikaian pun terjadi di banyak tempat.
Dan kami, para pengungsi yang terusir dari desa-desa, kota-kota, pulau-pulau; berjalan mengikuti ketidakpastian.
Negeri-negeri tetangga awalnya kami datangi dengan harapan bisa membangun perkampungan baru yang damai. Tapi di manapun kami singgah, kami hanya diperbolehkan beristirahat sejenak, setelah itu kami diusir, dengan bahasa halus sampai dengan todongan senjata. Pengalaman itulah yang menjadikan perjalanan kami tanpa tujuan, tanpa harapan, dan yang sedang berproses mungkin tanpa ketakutan.
Di depan gerbang tanpa penjagaan ini, di depan pintu gerbang ke tanah air sendiri, kami merasakan air berhembus, dan matahari bersinar dengan perasaan yang kosong.
**
Sampai siang berganti malam, kami tidak bisa memutuskan apakah perjalanan mesti diteruskan memasuki tanah air yang telah lama kami tinggalkan atau berbelok ke wilayah belum jelas peradabannya. Kami memang merasa ragu-ragu yang sangat. Ragu-ragu yang menjadi muara rasa rindu untuk menetap, bermasyarakat, melihat saudara-saudara kami yang dulu kami tinggalkan dan tidak diketahui nasibnya, dan rasa ngeri karena kekejaman, kebrutalan, kesewenang-wenangan  yang berlangsung entah sampai kapan.
Kami mendirikan tenda-tenda dan api unggun tanpa bercakap. Kami mengeluarkan sedikit perbekalan sekedar mengganjal rasa lapar. Sambil menghirup bubur encer dan mengunyah daging hasil buruan, kami melihat anak-anak berkumpul di seputar api unggun dan mendengarkan dongeng sebelum tidur. Pendongeng yang menari, menyanyi dan berkidung sambil memukul rebana itu berkisah:
Zaman dahulu kala, ada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Bapak dan Ibu bekerja sebagai pedagang kecil. Penghasilannya tidak berlebihan tapi tidak kekurangan. Karena anaknya pintar, rapornya selalu bernilai bagus, orang tuanya bertekad menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. “Sekolahlah yang tinggi, Anakku, karena zaman ini nasib bisa berubah karena ijazah,” kata bapaknya.
Anak itu termasuk cerdas dan berbudi dengan tidak menyia-nyiakan kerja keras orang tuanya. Saat teman-temannya ajojing di diskotik atau nyimeng di tempat-tempat kost, dia tenggelam dalam buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan. Dengan mudah dia masuk ke perguruan tinggi dan lulus tepat pada waktunya. Tapi begitu masuk ke dunia kerja, anak itu malah ditertawakan. Padahal semangatnya untuk mengabdi kepada negara telah berkobar dikipasi berbagai diskusi di kampusnya.
“Ijazah saja tidak cukup, karena selembar kertas itu bisa dibeli di mana-mana. Kamu harus setor 100 juta bila ingin menjadi pegawai negeri sipil, polisi, tentara, atau masuk ke perusahaan BUMN,” kata seorang calo tenaga kerja.
Anak itu terhenyak. Dia ingat teori-teori moral,  pemerintahan yang bersih, sistem sosial yang merata; seperti baru saja dipahami dan dipercayainya sudah meresap di tubuh pemerintah dan kalangan swasta. Berbagai seminar, simposium, rapat-rapat, forum-forum resmi dan tidak resmi, yang disiarkan langsung televisi; selalu membahas masalah ini dengan terbuka. Berbarengan dengan itu, mahasiswa meneriakkan reformasi total tanpa kompromi.
“Itu kan di tingkat de jure. Sementara de facto, ya seperti ini. Yang tidak punya uang, relasi, kekuatan penekan, tidak bisa ambil bagian,” kata calo itu lagi.
Gagal mengabdi kepada negara dengan menjadi pegawai negeri sipil, dia mengikuti orang tuanya menjadi pedagang. Tapi setiap maju sedikit, pedagang saingannya menjegal dengan berbagai cara. Berkolusi dengan pejabat penentu kebijakan, memonopoli barang-barang tertentu, menyebar isu curang dan polisi yang telah disuap segera menciduknya.
Di dalam penjara, anak itu merasakan sakit yang begitu perih. Rasa sakit yang diam-diam menjadi dendam menjadi badai menjadi topan menjadi bencana yang siap menghancurkan apapun tanpa kompromi.
Maka begitu keluar dari penjara, anak itu menjadi penjahat yang sangat licik. Dia mencuri dana yang mengalir dari luar negeri untuk rakyat kecil, memeras pejabat yang telah dikuasai kelemahannya, menggerakkan massa untuk kondisi yang menguntungkannya. Dengan kekayaannya yang melimpah dia mendirikan perusahaan-perusahaan yang menangani proyek pemerintah, membeli peraturan-peraturan yang menguntungkannya, mendirikan LSM-LSM yang menangani orang-orang miskin, mendirikan partai yang pro reformasi total.
Karena menjadi tokoh terpandang di percaturan politik nasional, maka dia gonta-ganti punya kedudukan di legislatif, eksekutif atau yudikatif. Perusahaannya semakin maju karena selalu disediakan  bantuan atau proyek bernilai trilyunan rupiah. LSM dan partainya terpandang karena semakin vokal.
**
“Tapi kenapa keluarganya tidak bahagia?” tanya seorang anak.
“Karena tokoh yang menjadi pengusaha, pejabat, wakil rakyat, dan aktivis lainnya itu tidaklah seorang.”
“Maksudnya?”
“Tokoh seperti itu ratusan orang jumlahnya, bahkan ribuan. Karena banyak, sama-sama pintar, mereka saling mengakali, saling menjatuhkan, saling mengancam. Dan rakyatnya banyak yang menjadi korban. Dibunuh, dikejar-kejar, ditidakberdayakan karena segala kebutuhan pokok menjadi mahal.”
“Dan yang jatuh, yang selalu terancam?”
“Sudahlah, sekarang waktunya tidur,” kata pendongeng itu menutup percakapan.
Kami melihat anak-anak mulai berebutan tempat, merebahkan diri dan tertidur. Selalu kami tidak bisa memejamkan mata sejenak pun bila berada di perbatasan ini. Kami merasakan waktu melaju pelan-pelan dalam suasana malam yang hening. Diam-diam kami berharap esok pagi akan melihat fajar menyingsing menerangi negeri dengan panorama yang lain, negeri yang segar dengan pepohonannya, pintu gerbang dijaga orang-orang dan begitu tahu kami beristirahat di sini menyambut kami dengan suka cita.
Cahaya itu menyingsing tidak lama kemudian, tapi bukan dari fajar yang setia datang dan pergi menerangi bumi.Cahaya itu semakin menyala, menyerupai lidah-lidah api. Dan dari kejauhan terdengar suara orang-orang berteriak, menangis, menjerit. Kami segera membereskan perbekalan, membangunkan anak-anak, segera pergi menjauhi negeri muram yang selalu kami rindukan dan kami takutkan itu.
“Kenapa kami tidak pernah bisa tidur dengan tenang?” tanya anak-anak. Kami pura-pura sibuk dan semuanya harus segera berangkat. Padahal kami tidak pernah bisa menjawab pertanyaan seperti itu. ***

Rancakalong, 11 Maret 2001

 



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "NEGERI MURAM"

Posting Komentar