PUTRI BULAN


 

“Makhluk penghuni bulan itu bukan kucing, tapi seorang puteri, puteri yang sedang menangis,” kata Bapak saat mendongeng sebelum tidur. Setelah mendengar dongeng itu, setiap ada kesempatan melihat bulan, saya selalu menatapnya lama-lama. Saya perhatikan sampai bulatan bercahaya yang melayang di langit malam itu diisi bayangan seorang puteri, lalu dari wajahnya menetes butir-butir air ke pangkuannya.

Dua puluh tahun kemudian, ketika perjalanan hidup menjadikan saya seorang pendongeng, kisah Puteri Bulan itu menjadi favorit saya. Anak-anak yang mendengarkan selalu terpesona, terdiam, dan waktu saya perhatikan ada butiran bening di ujung mata mereka, satu dua jatuh ke karpet. Saya tidak tahu, apakah mereka berempati dengan sang puteri atau saya yang pintar menuturkan.

**

Begini biasanya saya bercerita:

Saat nusantara ini terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil, ada seorang puteri yang sangat cantik. Setiap senja, saat cahaya matahari menebar warna jingga di sepanjang langit barat, sang puteri menyiram bunga-bunga di taman. Para tamu kerajaan atau para ksatria yang mencuri-curi memandang pertamanan, selalu terpesona. Seorang puteri dengan bibir penuh senyum dan mata cemerlang sedang menyiram bunga-bunga dengan latar belakang langit jingga, sungguh suata pemandangan yang menakjubkan.

Melalui tulisan di daun-daun lontar atau dari mulut ke mulut, kecantikan puteri si penyiram bunga saat senja itu tersebar sampai jauh. Banyak raja dan putera mahkota yang datang, menyaksikan pemandangan senja di taman, dan mengajukan pinangan. Tapi dari sekian banyak raja, putera mahkota dan ksatria, belum ada seorang pun yang berkenan di hati puteri.

“Mengapa engkau begitu berat hati untuk menjatuhkan pilihan, Puteri? Usiamu sudah lebih dari cukup untuk menimang anak. Dua ratus purnama telah engkau lewati hanya dengan menyiram bunga. Apa sebenarnya yang menghalangimu, sehingga raja-raja yang kaya raya dan para ksatria yang penuh cinta, engkau telantarkan begitu saja,” kata ayah sang puteri, seorang raja sebuah kerajaan kecil.

“Memang belum ada yang berkenan di hati Ananda, Ayah. Ananda ingin dipinang dengan sesuatu yang indah dan abadi.”

“Bukankah telah berkotak-kotak perhiasan dari emas, berlian, mutiara, diberikan untukmu?”

“Bukan keindahan seperti itu, Ayah. Ananda ingin sesuatu yang indah sampai ke lubuk hati yang paling dalam. Sesuatu yang abadi dalam hidup ini.”

“Benda seperti apakah itu, Ananda. Sebutkanlah, biar Ayah nanti menyaembarakannya.”

“Ananda sendiri belum tahu, Ayah.”

Sang raja terpana.

**

Lima purnama sejak ayahnya bertanya serius, sang puteri belum memberikan keputusan. Ayahnya khawatir, karena setiap hari ada utusan yang datang menanyakan lamarannya atau para pelamar baru yang tak kunjung surut. Dengan tanpa keputusan seperti ini, pikir ayah sang puteri, siapa tahu ada kerajaan/pelamar  yang menganggapnya sombong dan merencanakan memaksa dengan kekerasan.

Maka dengan hati-hati raja yang gundah itu menanyai puterinya.

“Ananda, permataku, adakah engkau sedang menunggu bayangan?” tanya sang raja. Puteri berambut model iklan shampo itu menatap ayahnya. Menyiram bunga-bunganya dihentikan seketika.

“Tidak Ayah, Ananda tidak menunggu bayangan. Ananda pernah melihat dan merasakan keindahan yang tiada taranya itu.”

“Tapi keindahan tidak abadi, Anakku. Setiap yang kita sangka keindahan tidak pernah nyata. Keindahan benda-benda yang ada di dunia ini maya, hanya bayangan. Kita tidak akan menemukannya di mana-mana, karena keindahan sejati hanya ada di hati.”

“Tidak Ayah, Ananda pernah melihat dan merasakannya.”

Puteri kemudian bercerita: suatu senja saat dia sedang menyiram bunga-bunga, dia melihat sebuah titik yang terus membesar di kaki langit jingga. Titik yang terus membesar itu ternyata seorang ksatria pengembara. Di sebuah bukit, ksatria pengembara itu berhenti dan menatap sang puteri yang sedang menyiram bunga dengan tatapan yang menakjubkan. Sang puteri merasa bunga-bunga ikut bermekaran karena tatapan yang penuh cinta itu. Sampai malam datang sang puteri tidak beranjak dari taman. Dan ksatria pengembara itu turun mendekat.

“Alangkah indahnya pemandangan malam karena ada bulan. Tahukah Tuan Puteri, bahwa di wajahnya kulihat bulan? Semoga dunia tidak kehilangan pemandangan seindah ini,” kata ksatria pengembara. Sang puteri terpesona dengan suara yang merdu dan bergetar itu. Maka setiap malam purnama tiba, sang puteri menatap bulan dengan membayangkan ksatria yang rambutnya berkibar tertiup angin dan menatapnya dengan mata penuh cinta. Sementara ksatria pengembara entah telah sampai di mana dalam pengembaraannya yang tak berujung. Dia hanya meninggalkan sebuah tulisan di batu yang tak diketahui sang puteri. Bunyi tulisan itu: Hati pengembara adalah angin yang tak mengenal rumah dan peristirahatan. Perempuan adalah tali bagi seorang pengembara.

“Begitulah Ayah, Ananda hanya menginginkan keindahan seperti bulan yang menakjubkan. Siapa saja yang sanggup memberi Ananda rembulan yang bulat penuh, Ananda bersedia menjadi istrinya.”

Tetapi enam purnama telah lewat sejak sang raja mengumumkan keinginan puterinya, belum ada seorang pelamar pun yang menyanggupinya. Mereka menganggap  puteri sakit dan telah lepas dari dunia manusia.

**

Suatu senja, saat sedang menyiram bunga-bunga, sang puteri melihat titik di kaki langit jingga yang kemudian membesar dan ternyata seorang ksatria pengembara. Di sebuah bukit ksatria pengembara itu berdiri, rambutnya berkibar-kibar tertiup angin, bajunya bercahaya tersorot matahari senja. Menjelang malam ksatria pengembara itu mendekati taman.

“Hamba seorang ksatria pengembara yang telah lelah menyeret-nyeret gelisah. Hamba ingin beristirahat di sebuah rumah yang tenang dan penuh kasih sayang. Maukah puteri menjadi peristirahatan bagi kelelahan hamba ini?” tanya ksatria pengembara itu dengan tatapan dan suara menyatakan keterpesonaan yang sama. Sang puteri diingatkan kembali kepada ksatria pengembarra pertama yang mendatangi dan mengenalkannya kepada keindahan menakjubkan rembulan, menceritakan keinginannya.

“Tidak bisa, Puteri. Rembulan tidak bisa diambil, karena begitu dipetik rembulan tidak lagi indah. Rembulan pun sama halnya dengan bunga yang mengalami layu, senja yang mengalami malam, pasang yang mengalami surut. Kecemerlangannya di langit malam menjadi indah dan abadi, karena kita tidak bisa menjangkaunya. Tidak, Tuan Puteri, jangan sekalipun berkeinginan memetik rembulan, karena dunia akan kehilangan.”

Sang puteri menatap langit yang mulai kelam. Warna jingga berubah pelan-pelan, seolah ingin mengabarkan bahwa tidak ada perubahan yang drastis di dunia ini. Lalu bintang-bintang mulai berkelap-kelip, rembulan mulai bercahaya, semuanya menuju cemerlang dan indah. Alangkah menyenangkan seandainya keindahan seperti itu bisa dinikmati secara istimewa, pikir sang puteri.

“Ksatria pengembara, seandainya engkau berkeras hati meminangku, bawalah aku untuk tinggal di bulan,” kata sang puteri.

“Tidak bisa, Tuan Puteri. Bulan tidak indah untuk ditinggali, bulan hanya indah untuk dilihat. Keinginan untuk memetiknya dan meninggalinya, tak  lebih dari napsu. Dan keindahan tak akan pernah bisa dinikmati secara sempurna bila diselimuti napsu.”

“Dari tadi engkau hanya bisa bicara, Ksatria. Engkau sebenarnya tidak bisa apa-apa. Cepatlah pergi dari sini, aku tak membutuhkan nasihat  dan kata-kata.”

Ksatria pengembara itu menarik napas panjang. Alangkah menakjubkannya dunia ini bila kecantikan lahiriah selalu dibarengi dengan kecantikan batiniah, pikirnya. Sayang, keduanya sering tidak sepaham. Maka dia pun bicara sebelum pergi.

“Engkau sendiri sebenarnya seperti sebuah rembulan, Tuan Puteri. Engkau tinggal membangun langit kesadaran, maka engkau begitu cemerlang dan mempesona diantara kelap-kelip bintang. Sementara rembulan di langit lain, semuanya maya, semuanya tampak indah karena kita tidak bisa menjangkaunya. Keindahannya memang bukan untuk dijangkau, tapi untuk ditatap sepenuh perasaan. Hati-hati, Tuan Puteri, keinginan yang berlebihan itu, akan terus bermetamorfosis menjadi kekuatan untuk melaksanakannya. Dan itu menuju kesedihan, bukan keindahan.”

Lima rembulan telah dilewati sejak ksatria pengembara yang melamar itu pergi. Suatu malam, saat sang puteri menatap rembulan dengan keinginan untuk meraih atau meninggalinya begitu dahsyat, pelan-pelan kakinya melangkah. Di pinggir taman langkah kakinya mulai terangkat, melayang meniti angin, menuju bulan. Sejak itulah puteri itu menjadi penghuni bulan.

**

“Mengapa puteri penghuni bulan itu menangis?” tanya anak-anak.

Saya selalu bilang, kita tidak tahu, karena belum pernah ada yang menanyainya. Para astronot yang sampai ke bulan pun tidak menemukan gubuknya.

***

                                                                         Bandung, 10-11 Desember 1999

 

Cerpen ini pernah dimuat HU Republika 16 April 2000

Kemudian menjadi bagian dari buku kumpulan cerpen Putri Bulan (2018)


Buat para siswa yang memperbincangkan cerpen ini: Cerpen Putri Bulan ini berkisah tentang keinginan yang sangat kuat, meski itu mustahil, akhirnya akan ada jalan mencapainya. Di cerpen ini keingin yang dikisahkan negatif, karenanya Putri Bulan menangis justru setelah bisa tinggal di bulan. Tapi juga bisa untuk kisah positif, seperti cita-cita. Tapi juga bisa ditafsir lain, boleh dan bebas saja. Selamat membaca.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PUTRI BULAN"

Posting Komentar