NARIK BECAK


 Cerpen ini pernah dimuat Padang Ekspres 18 Agustus 2013, tapi berhubung tidak punya epapernya, jadi gambar ini yang dipajang
Bila ingin baca edisi bahasa Sunda, silakan klik DI SINI

Pukul dua malam. Sunyi. Suara sunyi berdenging. Di telinga? Eh, bukankah ini suara dari dalam hati? Ya, suara seperti ini kan suara sunyi. Suara di dalam, bukan di luar. Maksudnya, suara di dalam badan, bukan di alam raya. Menjelang subuh seperti ini, siapa yang mau bersuara? Jengkrik juga sudah berhenti, kedinginan mungkin. Tapi tidak juga. Di tempat lain pasti masih ramai.
Sunyi juga pantas. Di tempat mangkal cuma sendiri. Sebuah becak kedinginan. Jauh ke perkampungan. Jauh ke jalan raya. Memaksakan diri mangkal karena kebutuhan. Dulu awal mencari penghidupan kan narik becak juga. Dari narik becak bisa terbeli televisi, motor, kebun, sawah, rumah, kolam renang, villa, menyekolahkan anak seorang di Jerman seorang di Australia seorang di Jepang, naik haji tiga kali, umrah tidak terhitung, terus nikah siri... eh, maaf, yang itu tidak akan diceritakan. Maksudnya, setelah narik becak terus jadi sopir travel, terus mengelola travel, terus mempunyai travel sendiri, jadi wakil rakyat di Senayan, akhirnya jadi boss segala proyek.
Nah, terpaksa narik becak lagi, awalnya karena kemarin kedatangan tamu yang sudah lama terlupakan. Dia beberapa kali mengetuk pintu dan mengucapkan salam, tapi lama tidak ada yang membuka pintu. Pantas, semua penghuni rumah sedang pergi, kecuali saya. Pembantu ada empat orang, semuanya pergi. Ada yang belanja ke swalayan, mengantar cucu ke sekolah, dan yang dua orang lagi mengganti istri saya ke posyandu.  
Pintu saya buka seperempatnya. Dia mengangguk dan tersenyum. Saya balas senyumnya dengan terpaksa. Saya pikir, kalau bukan yang minta sumbangan, pengurus RT baru. Baju dan celananya lumayan rapi, serasi.
“Mau ke siapa?”
“Ke Bapak.”
“Oh... ada perlu apa, ya?”
“Bisa kalau duduk sebentar?”
“Ohh....”  
Seperti yang kena sihir, cepat saya membuka pintu lebih lebar.
“Mari, masuk....”
Dia duduk di kursi. Sopan. Santun. Kursi yang harganya lebih dari lima ratus juta. Biasanya cuma tamu tertentu yang diajak ke ruangan ini.
“Cuma mau mengingatkan,” katanya. “Sekarang kan sudah waktunya....”
Hampir saya terjatuh. Terkejut. Jantung tiba-tiba berdetak dua kali lipat cepatnya. Keringat dingin. Baru ingat, dia itu penagih utang. Aduhh...!
“Maaf, minta waktu lagi, Pak. Saya lagi banyak kebutuhan. Villa lagi direnovasi, kolam renang ingin ganti mode, anak saya juga ikut pencalonan bupati, saya sendiri kan harus siap-siap mencalonkan diri jadi gubernur, juga ada janji sama cucu mau liburan keliling Eropa.”
Dia tersenyum. “Sekedar mengingatkan saja,” katanya. Lalu pamitan.
Sejak itulah saya sering termenung. Perasaan tidak menentu. Selalu merasa ada yang kurang. Karena punya utang? Sebenarnya, berapa banyak utang seseorang dalam hidupnya? Apakah bisa dibayar? Kalau menghitung saja susah, tentu apalagi membayarnya.
Tidak sanggup membayangkannya. Karenanya, suatu malam saya mangkal lagi, narik becak lagi.
Pukul tiga subuh. Kantuk sudah menguasai mata dan pikiran. Tapi baru saja terpejam, kaki ada yang menepuk-nepuk. Terkejut. Senang.
“Berapa ke kampung itu?” kata sebuah suara.
Belum begitu jelas. Beberapa kali menggosok mata.
“Kampung yang mana, Pak?”
“Itu... yang berkelap-kelip lampunya. Dari sini sepertinya agak nanjak sedikit.”
“Oh iya... perasaan baru lihat.”
“Berapa?”
“Agak jauh juga... bagaimana kalau satu milyar.”
“Asal menggenjotnya saja yang kuat, saya kasih bonus jadi dua milyar.”
Gembira. Seandainya semua penumpang seperti dia.

**

Perasaan menggenjot becak ringan saja. Tapi becak melaju cepat. Jalanan yang tadi terlihat menanjak ternyata tidak begitu berpengaruh. Rem mulai diinjak, enaknya melaju pelan saja. Udara subuh mulai terasa enak, menyegarkan. Barangkali pepohonan mulai menghasilkan oksigen. Begitu hebatnya pepohonan. Bertahun-tahun, sepanjang hidupnya, membersihkan udara yang siangnya dikotori oleh manusia. Bertahun-tahun juga, mungkin juga seumur hidup, saya belum pernah mengucapkan terima kasih kepada pepohonan. Bagaimana caranya mengucapkan terima kasih kepada pepohonan?
Seperti yang dekat kampung yang tadi ditunjuk, tapi ternyata belum sampai juga. Masih seperti tampak di kejauhan. Lampu-lampu berkelap-kelip. Sepertinya rumah-rumahnya besar, tinggi, megah.
“Pernah narik ke kampung itu?” Suara penumpang. Pelan tapi jelas.
“Belum pernah.”
“Pastinya juga begitu, kamu kan narik becaknya seingatnya. Mungkin juga baru sekarang mangkal di daerah sini.”
Saya tersenyum. Tapi hati merasa sedih. Mengapa sedih karena tidak narik becak?
“Narik becak di sini sebenarnya banyak ajaibnya. Bisa sangat ringan menggenjotnya, bisa juga sangat berat. Bisa bertahun-tahun tidak mendapatkan penumpang. Kampung yang dituju juga bisa sangat indah, berkelap-kelip berhias lampu, bisa juga serba suram menakutkan. Bisa....”
Jalan semakin menanjak. Jantung bertambah lagi detaknya. Becak semakin berat, sangat berat. Keringat seperti mandi. Akhirnya becak berhenti, saya turun.
“Kenapa, Bang?”
Saya tidak menjawab. Mesti menjawab apa? Malu rasanya kalau bilang tidak kuat.
“Narik becak di sini jangan malu-malu. Kecapean biasa. Ayo, pindah ke depan. Biar saya yang menggenjot.”
Seperti kena sihir, saya mengikuti perintahnya. Saya duduk di depan. Penumpang mulai mengayuh sadel. Becak melaju pelan, lancar. Hawa segar. Badan bugar. Sepertinya hampir sampai.
“Sudah lama Bapak tinggal di kampung itu?” tanya saya, ingin mengakrabkan diri.
“Ya, lebih dari lama.”
“Maksudnya?”
“Setiap waktu saya pulang-pergi ke sana. Itu kan kampung semua orang, tujuan pulang semua orang.”
Hampir berhenti bernapas. Jantung berdetak lebih kencang. Dua kali. Tiga kali lipat. Bulu-bulu di badan merinding. Kampung tujuan pulang semua orang? Suara adzan berkumandang, memecah sunyi. Sedetik mengikuti alunan adzan, lampu berkelap-kelip menghilang. Ada juga pepohonan menjulang tinggi, akar-akar gantungnya berayun-ayun. Dan di bawahnya... di bawahnya berjajar... batu nisan.
Becak berhenti. Penumpang yang mengayuh turun. “Nah, sekarang giliran kamu lagi. Masuk ke gerbang kampung tukang becak aslinya yang harus di belakang,” katanya.
Badan saya bergetar. Dan tiba-tiba kaki ini meloncat, lari sekencang-kencangnya. Rerumputan dan reranting kecil digerus. Napas berantakan. Terkejut. Takut.
“Hey... kenapa kabur? Ini ongkos yang dua milyar...!”
Tidak lagi tertarik. Inginnya kaki ini berlari lebih cepat lagi. Terbang kalau bisa. Bangunan pertama yang saya temui adalah masjid. Terlihat dari kubahnya, juga bulan-bintangnya. Saya masih berlari kencang. Hampir tertabrak salah seorang yang baru keluar dari masjid. Orang-orang menghampiri saya. Mereka saling bertanya: Ada apa? Kenapa?
“Kasih air minum dulu, kasihan,” kata salah seorang.
“Di... di... di atas... ad... ad... ada... kuburan!” 
Orang-orang saling pandang, lalu tersenyum.
“Kuburan kan di mana-mana juga ada, Bang.”
“Ad... ada penumpang becak... ke kuburan...!”
“Oohh...!” Orang-orang berdengung.
“Kenapa mesti takut ke kuburan? Kita ini juga kan, semuanya, tinggalnya ya di kuburan sana...!”
Mata melotot. Badan merosot. Pingsan.

**

Begitu bangun ada di sebuah ruangan. Ruangan yang bersih. Serba putih.
“Di mana ini....”
“Papah... syukur sudah siuman...,” kata seseorang. Suaranya merdu, mengingatkan saya kepada Empu, istri saya yang setia. Setia meski tahu saya punya istri siri empat orang. Setia karena sudah sepakat agar tidak diketahui wartawan sudah bertahun-tahun tidak tidur satu ranjang. Setia karena rahasianya menyimpan lelaki belia dijaga.
“Kenapa ada di sini...?”
“Papah lagi istirahat di kursi goyang, lalu pingsan. Justru Mamah yang tidak tahu, Papah kenapa? Karena takut, ya dibawa saja ke rumah sakit.” Empu bercerita nyerocos. “Kalau sudah sehat lagi, Papah harus check up ke Singapore. Papah harus sehat... sebentar lagi Papah kan harus maju di pilkada gubernur. Sudah lima partey yang mendukung Papah. Uang juga sudah milyaran yang keluar. Kalau wartawan tahu Papah tidak sehat gimana nanti?”
Tidak menjawab. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk menjawab.
“Kalau Papah tidak jadi gubernur... saya juga rugi tidak kebagian proyek-proyeknya,” Empu berbisik.
Mata melotot. Badan merosot. Di sebelah Empu... di sebelah Empu... ada penagih utang... dengan wajah menakutkan.
“Papah... kenapa Papah ini? Jangan pingsan lagi dong... Dokter...! Dokter...!” ****

Bandung, Oktober 2012
                              

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "NARIK BECAK"

Posting Komentar