TAHU APA KAMU TENTANG CINTA
Tabloid CITRA, 18 Januari 1998
“Tahu apa kamu tentang cinta!” bentak
Ibu. Suaranya seperti yang berteriak. Wajahnya tidak sedap dipandang mata.
Marini menunduk. Ada airmata di
pipinya.
“Rasanya Ibu sudah sering
menyarankan, lebih baik terima lamaran Markum. Apanya sih yang kurang dari
Markum? Wajahnya cukup, sekolahnya tinggi, orang tuanya kaya, keturunan orang
baik-baik, pekerjaannya….”
“Tapi Rini tidak mencintainya, Bu.”
“Kamu malah milih Doni. Apanya yang
bisa diharapkan dari dia? Penampilannya saja masih perlu diurus. Rambut
panjang, celana dekil. Sarjana sih sarjana, tapi apa istimewanya sarjana saat
ini? Pekerjaannya saja belum mapan. Apanya yang kamu harapkan?
“Tapi Rini mencintainya, Bu.”
“Cinta lagi, cinta lagi. Tahu apa
kamu tentang cinta?….”
Selanjutnya seperti sebulan yang lalu
atau dua bulan yang lalu atau tiga bulan yang lalu, saat Marini memberitahukan
bahwa Doni akan melamar, Ibu membeberkan pandangannya tentang cinta. Marini
tidak berupaya menyela selain kalimat “karena Rini mencintainya” atau “karena
Rini tidak mencintainya”.
“Dulu, sewaktu Bapak melamar Ibu,
kami hanya bertemu sekali sebelum hari pernikahan. Tapi kedua orangtua sudah
melihat ada potensi untuk mengembangkan rumah tangga yang baik di antara kami.
Dan apa yang kamu lihat? Kami punya rumah yang permanen, sanggup menyekolahkan
anak-anak sampai meraih title sarjana, tidak pernah ada perselisihan
yang besar di antara kami. Apa semua itu dipertahankan tanpa cinta?”
Marini menunduk. Hampir putus
telinganya mendengar kata-kata yang entah sudah berapa kali dilontarkan Ibu.
“Kamu, juga kakak-kakakmu, terlalu
mengagungkan cinta seolah kalian lebih tahu tentang cinta. Padahal kalian tidak
tahu apa-apa tentang cinta. Kalian ini anak ingusan yang bandel.”
Sebagai anak yang tidak ingin
menyinggung perasaan Ibunya, Marini bertahan selama dua jam tidak pergi dan
tidak menyela diceramahi Ibu. Sampai Ibu sendiri menyuruhnya pergi dan
mengatakan tetap tidak akan menerima bila Doni melamar.
**
Kalau dikatakan hancur dan tersinggung,
Marini mengakui hatinya memang seperti itu. Tapi beban itu sedikit berkurang
karena sikap Ibu seperti itu memang tidak asing. Tidak asing karena Marini
sudah meminta hal yang sama sebulan yang lalu dan dua bulan yang lalu dan tiga
bulan yang lalu. Tidak asing karena sikap Ibu seperti itu terjadi juga kepada
kedua kakak Marini, Dian dan Raka.
Tapi bisa juga dikatakan lebih
menyakitkan karena sikap Ibu tidak menandakan akan berubah. Barangkali memang
tidak akan berubah seperti terhadap Dian dan Raka. Sementara Marini merasa
sudah matang untuk menikah. Dia dan Doni sudah cukup lama menyelesaikan kuliah.
Pekerjaan, meski belum mendapat yang lebih mapan, tapi untuk membiayai hidup
berdua sudah cukup.
Sebenarnya Marini ingin melawan sikap
Ibu sehebat-hebatnya saat meminta persetujuan Ibu yang terakhir itu. Tapi
Marini tidak berani. Apa gunanya perlawanan seperti itu selain menghasilkan
ketersinggungan? Marini bisa memperkirakan apa yang akan dikatakan Ibu bila ia
melawan.
“Ibu akan memberikan yang terbaik
bagi anak-anak. Rini bisa memilih kalau Ibu tidak punya calon. Tapi Ibu punya.
Dan Ibu sudah mempertimbangkan baik buruknya. Ibu sudah mencari tahu apa-apanya
tentang dia. Dia tidak akan mengecewakan kamu. Jangan malah memilih yang belum
jelas kemapanannya.” Begitulah kata-kata Ibu yang diperkirakan Marini.
Dan bila Marini menyelanya dengan
mengatakan: “Tapi Rini tidak mencintainya, Bu.”
Ibu akan menjawab: “Tahu apa kamu
tentang cinta? Cinta itu akan mengikuti kemudian. Ibu telah membuktikan itu.
Tapi kalau kurang materi, keluarga dia
yang belum jelas baiknya, apa itu akan mengikuti? Kamu tahu sendiri apa yang
telah terjadi dengan Dian. Dia ngotot memilih suami yang katanya dicintai dan
mencintai itu. Tapi apa hasilnya? Mertuanya merongrong dan suaminya main serong.
Mereka cerai. Apa itu hasil dari cinta?”
Karena bayangan Marini seperti
itulah, dia tidak berani ngotot melawan Ibu. Percuma.
**
“Kenapa kamu tidak melawan,” kata
Dian ketika Marini menceritakan sikap Ibu. Dipanggilnya Dido, anak satu-satunya
yang baru dua tahun itu.
“Kakak seperti yang tidak tahu saja.
Apa perlawanan akan menghasilkan persetujuan Ibu?”
“Lalu kamu mau apa sekarang?”
“Barangkali saya akan melakukan
seperti yang pernah dilakukan kakak-kakak saya.”
Dian mengerti sepenuhnya ketika
Marini bertekad untuk melangsungkan pernikahan meski tanpa persetujuan Ibu.
Barangkali ini adalah mimpi buruk yang ketiga kalinya bagi keluarga. Tapi itu
rasanya lebih baik dibandingkan Marini mengikuti kemauan Ibu, karena bila
Marini memilih suami pilihan Ibu dan terjadi ketidakharmonisan, penyesalan akan
menghantui Marini seumur hidup. Dian memang merasa buta tentang cinta –
karenanya ketika Ibu membentaknya: tahu apa kamu tentang cinta!, dia merasa
sikap terbaik adalah ngotot mempertahankan pilihannya. Dian tidak menyesalinya.
Dia tahu, cinta bukanlah sesuatu yang patut disesali. Cinta adalah sesuatu yang
begitu manis meski yang terjadi adalah sebaliknya. Kehancuran keluarganya
menjadi kenangan yang menyenangkan bagi Dian.
Raka tidak memberikan respon yang jelas
ketika Marini mengungkapkan niatnya. Sebagai kakak yang melangsungkan
pernikahan tanpa persetujuan Ibu, Raka mengerti apa yang dilakukan adiknya.
Tapi tadinya dia berharap Marini adalah anak terakhir yang akan menutup
lembaran peristiwa keluarganya dengan hal yang menyenangkan. Maka dia hanya
tersenyum dan mengatakan: hmm, ketika Marini mengundangnya.
Sebenarnya Ibu terpukul ketika Marini
datang bersama Doni dan mengungkapkan niatnya. Tapi Ibu sudah berpengalaman.
Meskipun peristiwa itu tidak diharapkannya, tapi ia sudah menyimpan sekian
persen perkiraan bahwa peristiwa itu akan terjadi. Pengalamannya ketika
menghadapi perlawanan Raka dan Dian setidaknya membuat ia tenang. Ibu hanya
mengangguk-angguk dan mengatakan: “Ibu tidak pernah bisa mengerti dengan cinta
kalian!” Lalu Ibu masuk ke kamar dan tidak keluar lagi.
**
Persetujuan Ibu sebenarnya memberi
arti sikap keluarga – Ibu dan Bapak, dua serangkai yang menjadi setir keluarga
– di masa depan. Berani melangsungkan pernikahan tanpa persetujuan Ibu artinya
tidak diharapkan untuk sowan ke rumah besar, apalagi untuk memohon pertolongan,
kecuali setahun sekali saat Lebaran. Dian dan Raka telah mengalami
kebijaksanaan seperti itu sejak menikah. Ibu sebenarnya tidak mengatakannya,
tapi sikap-sikapnya selalu menyinggung menantu yang tidak direstuinya.
Marini tahu peraturan tidak tertulis
seperti itu dan ia sanggup mematuhinya. Tapi meski begitu ia sempat menangis
saat mengenang langkah berani yang telah dilakukannya. Dia teringat Ibu yang
selama ia menjadi anak momongannya begitu baik dan mencintainya. Dia ingat saat
Ibu menjadi pendengar ceritanya yang setia setiap menjelang tidur. Dia ingat
bahwa bersama Ibu telah melakukan banyak hal.
Tapi Marini juga merasa bahwa
sikapnya termasuk wajar untuk dilakukan.
Itu juga untuk kebaikan Ibu. Itu juga karena Marini, mungkin Raka dan Dian
juga, mencintai Ibu. Coba bayangkan, bila ketiga anaknya mengikuti kemauan Ibu
dan keluarganya mengalami kehancuran, tentu penyesalan terhadap sikap Ibu akan
terus terjadi seumur hidup. Ibu akan terus disalahkan.
Ibu hanya bersikap otoriter terhadap
penentuan menantu dan Ibu tidak menyadarinya. Ibu merasa sikap otoriter itu
dilakukan karena Ibu mencintai anak-anaknya. Padahal anak-anaknya merasa akan
terlantar bila mengikuti kemauan Ibu. Itu saja yang Marini rasakan kekurangan
dari Ibu.
Sebenarnya pandangan Ibu seperti itu
bisa diperbaiki. Tapi selama ini belum ada yang mencobanya. Ibu barangkali
tidak akan sekeras itu bila ada anaknya yang terus-terusan mengingatkan akan
sikap otoriternya. Marini yakin akan hal itu. Karenanya Marini membicaraka itu
dengan Doni dan mereka sepakat untuk melakukan eksperimen. Mereka akan
datang ke rumah besar seminggu sekali dan sungkem di pangkuan Ibu. Dengan
begitu siapa tahu sikap Ibu akan meluntur dan beliau akan menerima sikap
anak-anaknya dan menantu-menantunya. Dengan begitu, seperti keluarga besar
lainnya yang berbahagia, Ibu bisa berkumpul bersama anak-cucu dan menantunya di
hari libur untuk bercengkrama.
Sebulan dua bulan Doni bisa tahan
menghadapi setiap sindiran Ibu. Apa-apa yang dilakukan Doni menjadi masalah
bagi Ibu. Doni tidak sakit hati karena ia sudah memperhitungkannya. Tapi saat
sindiran-sindiran Ibu dirasakan Doni tidak juga berkurang, apalagi setelah Ibu
menuduh bahwa kedatangan Marini dan Doni sebenarnya untuk minta pertolongan
atau setidaknya agar mereka bisa makan gratis, Doni tidak tahan lagi.
“Sebaiknya kita meniru sikap Mas Raka
dan Mbak Dian saja,” kata Doni. “Sikap Ibu tidak memperlihatkan perbaikan.
Rasanya semakin sering kita datang ke rumah Ibu, kita, khususnya saya, semakin
merasa berseteru dengan Ibu. Siapa tahu Mas Raka dan Mbak Dian juga sebenarnya
pernah mencoba apa yang kita lakukan.”
Marini tidak memberikan respon
apapun.
**
Ibu sebenarnya merasa kesepian ketika
Marini dan Doni semakin jarang berkunjung dan kemudian tidak berkunjung sama
sekali selain bila Lebaran tiba. Ibu menyibukkan dirinya dengan kegiatan
ibu-ibu di RT-nya. Ibu semakin sering berkunjung atau mengundang teman-temannya
untuk ngobrol-ngobrol. Itu semua dilakukannya untuk menekan keingin menelepon
Marini, mengetahui kabar Dian, atau mendengar celoteh cucu-cucunya.
Ibu memang bisa menekan keinginannya.
Tapi begitu ia ditinggalkan
teman-temannya dan beristirahat setelah mengurus kegiatan di RT-nya, Ibu merasakan
kesepian yang sangat. Ayah sebenarnya merasakan juga hal itu. Ayah pernah
membicarakannya. Tapi Ibu tidak menanggapinya.
Ayah sebenarnya kurang begitu
berperan dalam keluarga – itu juga salah satu sebab mengapa Ayah tidak
disinggung-singgung dalam cerpen ini. Ayah jarang ada di rumah. Resminya Ayah
pegawai negeri kelas elite yang punya saham di beberapa perusahaan.
Berapa jumlah sahamnya dan apa saja yang dilakukan ayah di luar rumah, tidak
seorang pun dari anaknya yang tahu. Ayah tidak pernah bercerita, juga Ibu.
Di rumah, seluruh kebijaksanaan ada
di tangan Ibu. Ayah akan nurut apa saja yang diputuskan Ibu. Setidaknya
begitulah yang dirasakan anak-anaknya. Karena itu, Ayah tidak bisa ngotot
ketika Ibu tidak mau berkunjung, atau sekedar nelpon ke anak-anaknya.
“Biarlah kita kesepian di sini, asal anak-anak mendapat pelajaran.
Mereka harus tahu bahwa kita melakukan ini karena kita mencintai mereka. Mereka
tidak tahu apa-apa tentang cinta.”
Ayah tidak berkomentar. ***
Ingin tahu lebih banyak? Klik saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "TAHU APA KAMU TENTANG CINTA"
Posting Komentar