LAKI-LAKI BAYANGAN
Suara Karya, 25 Juni 1995
Tidak seperti biasanya, Desa Sirnamulya bangun terlalu
subuh. Suara adzan Bah Dira dari mesjid baru saja selesai, tapi di depan kantor
desa telah berkumpul beberapa orang. Mereka membicarakan penemuan Dasri tadi malam.
Katanya, Dasri melihat laki-laki mengendap-ngendap di kebun Pak Jaya. Beberapa
orang mengajukan pertanyaan, tapi juru bicara menjawab dengan “Mungkin….
Mungkin….”
Dasri memang tidak ada di tempat itu. Kang Juhri, juru
bicara, hanya tahu sedikit cerita Dasri tadi malam ketika meronda. Beberapa
orang yang tidak puas pergi diam-diam ke mesjid, ke rumahnya, ke kolam yang
menyediakan wc umum. Tapi kumpulan di depan kantor desa itu tidak menjadi
sedikit. Orang-orang yang kebetulan lewat atau baru bangun dan melihat kumpulan
itu dari kaca jendela yang baru dibuka, diam-diam bergabung dan ikut bertanya.
“Laki-lakinya seperti apa, Kang Juhri?”
“Mengendap-ngendap seperti yang mau nyuri atau mau
lari?”
“Ada tattonya nggak?”
“Siapa tahu preman
yang lari dari kota, ya?”
“Berapa orang katanya, Kang Juhri?”
“Saya tidak tahu pasti,” kata Kang Juhri keras.
“Mungkin bertatto. Mungkin lebih dari
seorang. Mungkin preman. Mungkin
mengendap-ngendap mau nyuri. Mungkin rampok. Mungkin mata-mata.”
“Uuuh, kalau tidak pasti ngapain cerita.”
“Barangkali Dasri salah lihat. Dia baru nontol film
silat atau mendengarkan sandiwara radio, lalu tidur, begitu bangun adegan di
film atau radio itu disangkanya kejadian beneran.”
“Dasrinya ke mana?”
“Ya, Dasrinya ke mana?”
“Tenang, tenang saudara-saudara.” Kang Juhri berteriak
keras. Tapi kumpulan yang semakin besar itu tidak diam. Mereka seperti lebah
yang berdengung. Ada yang menggerutu, memaki, tertawa, berandai-andai.
“Dasri sebentar lagi datang,” teriak Kang Juhri. “Dia
lagi lapor ke rumah Kepala Desa. Lagi pula kemungkinan-kemungkinan itu tidak
penting. Mau siapa pun dia, terserah. Tapi yang jelas, dengan mengendap-ngendap
di tempat gelap, artinya dia adalah orang yang bermaksud jahat. Artinya, kita
mesti berjaga-jaga. Bukankah mencegah itu lebih baik daripada mengobati?”
Tapi orang-orang tidak puas. Mereka masih tetap
menggerundel. Suaranya berdengung. Baru ketika pagi sudah terang, ketika Dasri
datang bersama Kepala Desa, mereka diam. Kepala Desa maju ke depan didampingi
Dasri. Dengan berdiri di atas batu, Kepala Desa bicara.
“Saudara-saudara, malam tadi Dasri memergoki ada
laki-laki yang mengendap-ngendap di kebun Pak Jaya. Sementara di kota-kota
sekarang sedang ada pembersihan para preman,
anak-anak muda nakal, juga yang telah kambuhan melakukan kejahatan. Artinya,
siapa tahu laki-laki yang mengendap-ngendap itu preman yang kabur ke sini. Kita mesti waspada. Kita mesti
menghapuskan berbagai tindak kejahatan di muka bumi ini.”
Orang-orang masih menggerutu. Sebagian ada yang pergi
diam-diam, tak mengacuhkan Kepala Desa.
“Sebagai warga desa yang menganut gotong royong, kita
harus bersama-sama menghadapi ancaman ini,” ujar Kepala Desa.
Orang-orang yang meninggalkan kumpulan semakin banyak.
Mereka menggerutu.
“Kalau tahu hanya berita seperti itu, lebih baik aku
tidur saja.”
“Orang sekarang semakin penakut. Baru laki-laki
mengendap sudah heboh. Apalagi kalau harimau.”
“Enakan kita ngobrol di tukang serabi, yu.”
Orang-orang bubar. Yang tinggal Kepala Desa dan
aparatnya, Kang Juhri dan Dasri.
Di penjaja kue serabi beberapa orang masih meneruskan gerutuannya.
“Enak aja Kepala Desa itu ngomong. Kita mesti gotong
royong, mesti siap siaga. Eh, begitu ada dana dari atas, dia sendiri yang
makan.”
“Bangunan-bangunan untuk umum yang dijanjikan, nihil
sampai sekarang.”
“Apa kita pun mesti siap siaga menjaga dia?”
Matahari semakin naik. Desa Sirnamulya ramai seperti
biasa.
**
Bila hujan turun seharian, atau sesorean, malam Desa
Sirnamulya bagaikan raksasa mati. Orang-orang lebih senang berkumpul di tengah
rumah yang diterangi tebeng, lampu
minyak. Atau membenamkan diri di bawah selimut sejak sore. Dari kejauhan, hanya
satu dua cahaya kecil yang menandakan ada kehidupan di desa penghasil pisang itu.
Dan paginya, Sirnamulya seperti anak-anak yang sulit
bangun. Bah Dira yang sejak muda jadi muadzin hanya dapat mengumpulkan dua tiga
orang untuk sholat berjama’ah di mesjid kecil itu. Ketika matahari pelan-pelan
naik, satu dua orang mulai keluar rumah. Bi Iti mengambil air dari sumur dan
menjerangnya. Kang Joned memilih kayu bakar kering di belakang kandang domba.
Jang Yaya yang baru kelas dua Sekolah Dasar menggosok matanya, lalu bergabung
dengan barisan anak-anak lainnya untuk mandi di pancuran.
Barisan anak-anak bertelanjang kaki itu berjalan sambil bercanda.
Ada yang saling kejar berebut embun yang menempel di daun-daun yang dipercaya
dapat menyuburkan rambut. Ada yang cerita semalam didongengi emaknya sasakala yang rame. Ada yang
berandai-andai hari itu akan mendapatkan jamur yang banyak. Setelah hujan,
jamur memang biasanya tumbuh.
Tiba-tiba seorang anak berlari untuk melihat tempat
yang biasanya ditumbuhi jamur. Anak-anak lainnya mengejar, takut tidak
kebagian. Tapi belum sempat mereka ke tempat yang dituju, mereka berhenti
serentak. Kaki-kaki kecilnya mengerem, menyusur tanah. Jang Idi yang lari
paling depan kaki kirinya berdarah karena ada kerikil yang masuk ke kukunya.
Beberapa jenak mereka tidak bicara. Kemudian saling pandang dengan temannya.
Serentak mereka balik lagi sambil berteriak-teriak.
“Ada mayat! Ada mayat! Ada mayat!”
“Mayat apa?” tanya Mang Didi yang pertama bertemu
dengan rombongan anak-anak.
“Ya, mayat manusia, Mang. Di jalan ke pancuran.”
“Betul?”
“Memangnya kita berbohong? Biarinlah kalau tidak
percaya. Ada mayat! Ada mayat! Ada mayat!”
Anak-anak berlari lagi menuju pusat Sirnamulya. Desa
yang baru bangun itu terkejut mendengar kabar buruk itu. Orang-orang dari
berbagai penjuru berdatangan ke lokasi yang ditunjukkan anak-anak. Di sana
memang ada mayat. Di dadanya masih menempel belati. Wajahnya ditutupi topi.
Darah yang sebagian telah mengering memberi warna merah pada bajunya yang putih
bergaris.
Tiba-tiba seorang perempuan menubruk mayat itu sambil
menangis. Nyi Icih, perempuan itu, mengambil toki laken yang menutup wajah
mayat itu, tampaklah wajah pucat Kang Sorin, suaminya. Orang-orang yang masih
terpaku, terkejut melihat wajah bandar pisang yang kemarin siang masih keliling
kebun mengontrol pisang yang matang. Serentak mereka memangku Kang Sorin,
membawa ke rumahnya, melapor ke polisi dan mengurus penguburannya.
Malamnya, gardu ronda ramai oleh orang-orang yang
jaga. Bergantian satu jam sekali mereka mengontrol sekeliling Sirnamulya.
Polisi yang memeriksa sejak siang tadi memberi kesimpulan bahwa pembunuhan itu
dilakukan oleh orang yang tidak dikenal. Orang-orang pun yakin bahwa
pembunuhnya adalah laki-laki yang malam lalu dilihat oleh Dasri
mengendap-ngendap di kebun Pak Jaya.
Berhari-hari mereka mengontrol desanya, laki-laki yang
mengendap-ngendap itu tidak terlihat lagi. Seminggu setelah itu mereka
menemukan jejaknya di kebun Pak Jaya. Waktu itu baru pukul 20.00 WIB. Ronda
belum ada yang keliling. Tiba-tiba ada teriakan orang meminta tolong. Ronda
yang masih ngobrol di gardu segera memburunya. Di jalan mereka bertemu dengan
Nyi Rini, anaknya Juragan Aci, yang bajunya masih merosot (mungkin lupa
membetulkan). Dengan gugup Nyi Rini bercerita bahwa di kebun Pak Jaya ada laki-laki
yang menakutkan. Ronda memburunya. Tapi yang ditemuinya adalah mayat Jang Jejen.
Di dadanya ada beberapa tusukan belati. Darah masih keluar dari lukanya.
“Ceritanya bagaimana, Nyi?” tanya Kepala Desa di
kantornya. Orang-orang yang baru saja mengurus mayat Jang Jejen, yang ingin tahu
kejadiannya, melihat dan menempelkan telinganya di kaca.
“Seperti biasa, kami janjian dengan Kang Jejen di
warung Bi Oni,” kata Nyi Rini dengan suara bergetar. Tangannya masih memegang
ujung bajunya yang sesekali dipakai mengusap matanya. “Lalu kami jalan-jalan ke
kebun Pak Jaya.”
“Jalan-jalan untuk apa? Kok ke kebun?”
Nyi Rini lama tidak menjawab. “Ya, biasa, Pak.”
“Biasa bagaimana?”
“Kami biasa ngobrol di gubuk Pak Jaya,” kata Nyi Rini
pelan. Kepalanya menunduk. Orang-orang yang sempat mendengar saling pandang.
Kepala Desa yang teringat baju Nyi Rini yang merosot segera maphum.
“Lalu, ketika kami pindah ke dalam gubuk, kami
menemukan laki-laki menakutkan itu. Dia berkelahi dengan Kang Jejen. Saya lari
minta tolong.”
**
Kematian Jang Jejen membangkitkan kemarahan warga
Sirnamulya. Mereka merasa dihina. Ketika ronda digiatkan pembunuhan itu terjadi.
Tapi ketika suatu malam Mang Iri, salah seorang ronda yang kontrol, didapatkan
juga terbunuh, orang-orang mulai keder.
Menurut cerita, Mang Iri berhenti untuk kencing ketika rombongannya kontrol
keliling Sirnamulya. Ketika Mang Iri tidak juga menyusul, teman-teman
serombongannya curiga. Mereka balik lagi
dan menemukan Mang Iri telah jadi mayat.
Malam-malam berikutnya, hanya seorang dua orang warga
Sirnamulya yang ikut meronda. Setelah itu hanya aparat desa dan polisi yang
masih datang ke gardu ronda. Warga lainnya membenamkan diri di bawah selimut
ketika malam mulai merayap. Pintu rumah banyak yang ditambah selot atau gemboknya.
Di antara warga Sirnamulya beredar isu bahwa laki-laki
menakutkan itu akan membunuh satu persatu orang-orang yang banyak dosa. Kang
Sorin, katanya, sebagai bandar pisang, sering membohongi petani. Jang Jejen,
katanya, sebagai pemuda ganteng, bukan rahasia lagi sering gonta-ganti pacar,
termasuk istri orang atau janda. Mang Iri, katanya, sebagai pegawai di kebun
pisang Kang Yaya, sering menggelapkan hasil tani.
“Jadi, siapa saja yang berdosa, harus hati-hati. Siapa
tahu diam-diam laki-laki itu datang mengendap-ngendap datang dari belakang,
lalu creb!” Kang Karta yang menyebarkan isu itu bercerita di setiap gerombolan
penduduk. Mereka yang mendengarkan bergidik. Dan isu itu pun menyebar.
Orang-orang yang merasa banyak dosa diam-diam meminta
ampunan kepada Tuhan. Mereka tidak berani keluar rumah pada malam hari. Siang
hari pun, sendirian ke kebun pisang yang rimbun, jarang dilakukan orang.
Sirnamulya dicekam ketakutan. Selepas senja, Sirnamulya seperti raksasa mati,
meski di setiap rumah akan terdengar bisikan orang-orang meminta ampunan.
**
Ronda tidak lagi dijalankan sejak beberapa hari yang
lalu. Tidak ada seorang pun warga Sirnamulya yang mau meronda. Mereka mengunci
diri di kamar. Juga ketika terdengar suara-suara aneh dari dapur yang besoknya
disusul hilangnya makanan, tidak mendorong warga Sirnamulya untuk mengetahui
apa yang terjadi. Suara-suara itu malah menjadikan mereka semakin takut.
Aparat desa dan hansip pun jarang yang datang ke
gardu, dan akhirnya tidak ada sama sekali. Kepala Desa yang awalnya marah
kepada anak buahnya yang tidak mau meronda, akhirnya dia sendiri selalu siap
membenamkan diri di bawah selimut setelah malam beranjak gelap. Kematian Pak
Karta yang dikenal sebagai lintah darat dua hari yang lalu dengan beberapa
bekas tusukan belati di dada, diam-diam meyakinkan Kepala Desa akan isu yang
menyebar itu.
Kepala Desa yang menyadari dosa-dosa yang telah
dilakukannya, setiap malam sehabis sholat meminta ampunan. Setelah itu,
ketakutan membawanya untuk mengunci diri bersama anak istrinya di kamar. Ketika
suatu malam Kepala Desa mendengar suara dari dalam rumah, ketakutannya semakin
menjadi. Hanya malu kepada anak-istrinya yang mendorongnya melihat apa yang
terjadi dari celah kunci. Di dalam rumahnya Kepala Desa melihat seorang
laki-laki duduk tenang sambil makan. Di lengannya tampak tatto gambar-gambar yang menyeramkan. Teringat cerita warga
Sirnamulya bahwa laki-laki itu membunuh korbannya secara santai dan tenang,
Kepala Desa cepat naik ke kasur dan menyelimuti dirinya. Bibirnya tidak henti
membacakan ayat-ayat Qur’an yang hapal, diselingi dengan minta ampunan atas
dosa-dosanya.
Paginya, Kepala Desa menemukan makanan di dapur habis.
Di meja makan, di bawah gelas, Kepala Desa menemukan surat. Isinya: “Setiap manusia punya kesalahan. Siapa
bilang kesalahan tidak menakutkan? Semua kesalahan tidak ada yang tenang. Saya
merasa dikejar-kejar ketakutan. Karena itu saya membunuh dan membunuh setiap
berhadapan dengan orang yang mau menangkap. Siapa orangnya yang tidak takut
oleh ketakutan?”
Surat tanpa tanda tangan itu juga ditemukan warga
Sirnamulya lainnya setelah malamnya mereka mendengarkan suara-suara aneh di
dapur dan besoknya makanan hilang. Tapi masih belum ada warga Sirnamulya yang
berani keluar malam sendirian. Mereka takut oleh dosa-dosanya. ***
Keterangan:
Pancuran
= air yang mengalir lewat bambu, biasanya lansung dari mataair atau sawah
Sasakala=
legenda
Keder
= takut
0 Response to "LAKI-LAKI BAYANGAN"
Posting Komentar