SARAPAN PAGI


Di Bandung akhir tahun 1990-an ada harian Suara Publik. 
Empat buah puisi ini sempat singgah juga di kotan itu edisi 15 November 2016.

Sembilan bahan pokok harganya melambung
Tapi ibu tidak khawatir. “Karena kita bisa makan gunung
makan gedung makan tanah makan sungai makan sawah,” katanya.
Ayah tertawa, karena sejak dulu ayah biasa minum laut
menghirup semen mengunyah karet sarapan padang berlapis aspal.
“Coba bayangkan, bagaimana nikmatnya menyedot laut
sambil memandang keindahan kemiskinan,” katanya.
Saya pun belajar makan kursi makan cangkir makan meja
memasak televisi menumis kulkas menyemur bioskop.
Saya muntah-muntah, baunya menyebar dibawa angin.
Saya pun ke dokter yang selalu penuh pasien itu.
“Tidak apa-apa, nanti juga biasa,” kata dokter.
Ayah tersenyum.

Rancakalong, April 1998


MENGGAMBAR CINTA

Seorang pelukis menggambar cinta. Hidupnya habis
untuk mencampur warna dan membuat garis. Tapi di pameran
para pengunjung mencemooh. “Ini bukan gambar cinta,
ini gambar sinisme gambar amarah gambar sunyi
gambar sakit gambar resah gambar tersisih,” kata mereka.
Pelukis itu tidak perduli. Dia tetap menggambar cinta
sampai tubuhnya jadi kanvas jadi cat jadi warna jadi garis

“Begitulah kisah maestro itu,” kata guru di depan kelas.
“Harga lukisannya sekarang milyaran rupiah.”
Lalu murid-muridnya menggambar apa saja dengan warna bagaimana saja
dengan judul cinta 1 cinta 2 cinta 3 cinta 4….

Di pameran, para pengunjung berebut mengoleksi.

Rancakalong, April 1998



KUUNGKAPKAN DENGAN BUNGA

Kuberi setangkai bunga seorang gadis
sebagai ungkapan perasaan sebagai wakil niat baik.
Gadis itu tersenyum dan senyumnya menjadi bunga.
Orang-orang terpesona keindahannya. Lalu apa saja
dijadikan bunga. Maka bunga bermekaran di kantor
di jalan di siding di tong sampah di rumah di bioskop
di pabrik di swalayan di bencana di televisi.
”Kami tak mau bunga plastik!” kata para gadis
Kulihat gadis-gadis itu pun menjadi bunga-bunga

Ah, lebahku begitu kelelahan mencari madu!

Rancakalong, April 1998


AKU KESEPIAN

Aku kesepian di sini. Dan tak tertentramkan
setelah jantungku yang api membakar kota-kota
enghanguskan nyawa seperti melalap kertas,
dan abunya yang bau darah diterbangkan angin
ke mana-mana. Mestinya aku puas dan tenang
setelah pikiranku yang samurai menggorok
leher-leher desa, mengalirkan darah perekonomian
ke lautan kelaparan. Tapi aku kesepian di sini.

Aku tak tahu mengapa hatiku membadai-badai
dan tak terdamaikan. Semuanya beterbangan
di sekelilingku. Dan aku terbanting-banting
di padang yang mahagersang. Angin topan
menjadi mainanku dan sejuta matahari
menggosongkan rohku jadi begitu hitam dan keras.

Aku kesepian di sini. Aku kesepian!
Tapi rinduku tak ada yang tahu.

Jakarta, Pebruari 1999 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SARAPAN PAGI"

Posting Komentar