LEGENDA HARIMAU DAN SUMUR TUA



Cerpen Yus R. Ismail, Lampung Pos, 18 Mei 2014
Ingin membaca cerpen ini dalam bahasa Sunda? Klik saja DI SINI

Senja jatuh begitu indah ketika saya sampai di sebuah pelataran.  Sinar matahari yang hangat menerobos dedaunan. Salur-salur cahaya seperti kain berwarna lembayung. Cahaya yang menempel di dedaunan, berkelap-kelip dipermainkan angin.
Inilah pelataran legendaris itu. Pelataran yang telah saya cari beratus-ratus tahun lamanya. Pelataran yang selalu ada di pikiran dan ujung kaki saya. Karena tugas saya dalam hidup ini hanyalah mencari pelataran ini. Ya, mencari sesuatu yang belum pernah ada yang menemukannya. Setidaknya, belum pernah ada yang mengabarkannya secara jelas. Karena setiap orang yang pernah menemukan pelataran ini, selanjutnya dia tersesat di dalamnya.
Tidaklah terlalu besar sebenarnya pelataran ini. Hanya sebesal dua kali lapangan bulutangkis. Saya menemukannya di sebuah lembah di dalam sebuah gunung yang sangat lebat. Entah berapa hari, mungkin berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya, saya menyusuri kelebatan gunung ini. Dan senja ini, saat senja yang indah ini, saya sampai ke pelataran yang selama ini dicari.
Tidak ada tanda-tanda khusus dari pelataran ini. Orang-orang yang pernah menceritakannya tidak pernah menceritakan tanda-tanda secara rinci. Anehnya, saya pun tidak pernah menanyakannya. Kami seolah yakin bahwa tanda-tanda fisik bukanlah hal yang pantas dibicarakan. Dan senja ini, saat senja yang indah ini, saya merasa yakin bahwa tempat yang dicari-cari itu sudah ditemukan.
Hati saya yang pertama merasakannya. Ketika masuk ke celah pohon yang seolah sebuah gerbang, hati saya merasa nyaman. Udara begitu sejuknya, sehingga yang merasakan kesegarannya bukan hanya paru-paru, tapi seluruh unsur dari tubuh merasakannya. Kesegaran itu menyelusup melalui pori-pori terkecil dari tubuh saya, lalu meresap sampai ke ujung rambut yang bertahun-tahun tidak pernah merasakan harumnya shampoo dan ujung kaki yang bertahun-tahun menahan berat beban perjalanan.
Pepohonan berbatang sebesar perut gajah berjajar seolah melindungi pelataran ini. Akar gantung sebesar tangan orang dewasa seperti tentara bergelantungan di tunggangan perangnya. Dedaunan seperti payung yang dianyam dari pepohonan di sekelilingnnya. Dan hamparan rumput begitu rapi, hijau, menyejukkan, memenuhi pelataran legendaris ini. Tidak perlu rasanya mempertanyakan siapa yang membersihkan tempat ini, karena seperti kepada tempat-tempat suci lainnya, alam ikut menjaganya.
“Di tengah pelataran itu, engkau akan menemukan sebuah sumur tua,” kata seseorang yang bertemu secara tidak sengaja di sebuah lembah, bertahun-tahun yang lalu. “Itulah sumur legendaris itu. Sumur yang akan membawamu ke dunia baru.”

**

Sumur legendaris itu ada di tengah-tengah pelataran. Seluruh temboknya yang melingkar dipenuhi dengan lumut. Warna hijau tua dan bersemu basah memantulkan suasana mistik. Pepohonan yang rapat dan lebat, akar-akar gantung,  baru terasa begitu sunyi. Mungkin telah berabad-abad mereka menyimpan sunyi. Matahari perlahan menarik cahayanya.
Beberapa jenak saya memandang sumur tua itu. Sumur yang muncul begitu saja dalam pandangan saya. Sumur yang membuat jantung berdetak lebih kencang. Ya, sejak masuk ke pelataran ini sumur itu tidak ada. Tidak terlihat. Tapi kemudian menjelma, perlahan. Barangkali sumur itu berada di dimensi lain, dimensi yang berbeda dengan indra penglihatan biasa. Pantas saja kalau begitu banyak pencari sumur legendaris itu tidak pernah menemukannya.
Saya mendekati sumur itu. Menengok ke dalam. Air yang bening itu seolah cermin. Tidak beriak sedikit pun. Betapa indah bercermin di sini. Ketenangan tiba-tiba meresap ke sekujur tubuh. Kemudian keharuan. Keharuan yang menggetarkan hati.
Dari kedalaman air sumur itu muncul bayangan banyak binatang berupa cahaya. Kelinci, gajah, kijang, babi hutan, ular,  banteng, jerapah, berbagai jenis burung, rusa, monyet, kuda, kerbau, dan binatang lainnya. Mereka menatap ke arah saya, tersenyum, dan melambai-lambaikan kakinya. Seperti karnaval, pikir saya.
Hampir saja saya terjengkang ketika suara aum harimau begitu keras menggetarkan dinding sumur. Bayangan binatang berupa cahaya yang seperti sedang berkarnaval itu terperanjat, lalu lari lintang pukang ke segala arah. Harimau yang perkasa itu muncul. Dia tampak marah.
“Aku memang harimau yang marah. Marah karena tidak mengerti kekejaman yang dilakukan kalian, hai Manusia!” Harimau itu menunjuk ke arah saya dengan cakarnya. Tentu saja saya terkejut, mundur satu langkah. “Aku adalah saksi hidup ketika manusia datang membawa bencana….”
Di cermin air sumur itu bermunculan banyak bayangan harimau. Mereka berburu, bermain, berkumpul. Lalu datang sekelompok manusia membawa senapan. “Mereka menembaki kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku. Bagi kami, membunuh adalah jalan untuk hidup. Kami membunuh untuk makan. Tapi manusia tidak! Mereka membunuh karena mampu. Banyak saudara kami dibunuh, dikuliti, dan ditelantarkan. Manusia membunuh untuk memperlihatkan kemampuannya. Sejak itu aku adalah pembawa dendam. Aku bunuh siapa pun yang mendekat!”
Di cermin air sumur bermunculan bayangan binatang yang berlari ketakutan, memelas, mengaduh, dan akhirnya menjerit menjelang kematiannya. Harimau itu mengaum, menerjang, mencabik siapa pun yang ditemuinya.
Lalu muncul gajah yang berkata, “Karena siapa pun tidak ada yang sanggup menghentikan harimau, maka seluruh binatang penghuni hutan membuat kesepakatan. Mereka akan menyerahkan satu nyawa setiap hari asal harimau tidak membabibuta. Harimau sepakat. Setiap hari, meski tidak lapar, dia bisa melampiaskan dendamnya.”
Lalu muncul kelinci yang berkata, “Sampai pilihan mengerikan itu jatuh kepada saya. Tentu saja saya sangat ketakutan. Tanpa dosa, tanpa sebab, harus menanggung kematian yang tidak dikehendaki. Siapa yang tidak ngeri ketika tahu nyawa terancam dengan percuma?”
Kelinci tersenyum, lalu melanjutkan ceritanya, “Pertolongan Tuhan itu datang ketika di perjalanan saya menemukan sebuah sumur. Saya berkaca. Bayangan itu seolah mengatakan apa yang mesti saya lakukan.”
Kelinci itu lalu bertemu harimau. Kata kelinci, “Maafkan saya datang terlambat, harimau yang gagah. Saya ini kelinci yang kecil, jadi sebenarnya kami datang berdua dengan adik saya. Tapi di tengah jalan kami dicegat pencuri. Dan adik saya menjadi korban.”
Harimau yang seluruh tubuh dan jiwanya telah dirasuki amarah itu tidak sempat berpikir. Begitu mendengar berita menghina itu, dia langsung menunjukkan amarahnya dengan mengaum berkali-kali. Kelinci tentu saja bergetar seluruh badannya. Tapi nasibnya tetap diserahkan kepada pikiran jernihnya.
“Tunjukkan kepadaku di mana pencuri itu berada!”
Kelinci berjalan dengan kaki yang bergetar. Di depan sumur tempat tadi dia berkaca dia berhenti. “Ke sumur inilah adik saya diseret.”
Harimau segera melongokkan kepalanya ke dalam sumur. Lalu dia mengaum ketika dilihatnya ada harimau besar di dalam sumur. Tanpa berpikir, harimau yang diliputi amarah itu mengaum berkali-kali, lalu meloncat ke dalam sumur, menerjang musuhnya, menerjang amarahnya.
Bayangan kelinci dan harimau itu lalu menghilang. Sunyi perlahan merayap di dinding sumur, lalu ke rerumputan, ke pepohonan, dan akhirnya memasuki pori-pori tubuh saya. Sunyi menyusuri hati yang paling dalam.*1

**

“Jadi… hanya seperti itu isi Legenda Harimau dan Sumur Tua yang terkenal sejak berabad-abad yang lalu itu?”
“Seperti itu yang saya dapatkan, Tuanku.”
“Legenda yang banyak dicatat orang suci di ribuan kitab kesejatian hidup itu… hanya dongeng anak-anak?”
“Begitulah adanya, Tuanku. Tapi itu bukan dongeng anak-anak, melainkan dongeng kesejatian kemanusiaan.”
“Pengawal… tangkap orang yang berbohong ini! Umumkan kepada seluruh rakyat, siang ini akan dihukum gantung orang yang bicara bohong tentang legenda suci yang sejak berabad-abad lalu kita hormati!”
Raja yang berangasan itu marah. Dia cepat berdiri dan berlalu.
Siang itu juga saya diseret ke alun-alun. Sepanjang jalan ribuan orang memadati pinggir jalan. Ada yang naik ke gedung-gedung, tembok-tembok, pepohonan. Ketika langkah pertama saya menginjak jalan, ratusan atau mungkin ribuan benda dilemparkan orang-orang. Telur busuk, tomat busuk, mentimun busuk, bangkai tikus, tahi anjing, tanah  comberan, dan entah apa lagi, semua melayang mengarah ke tubuh saya.
Tapi saya tidak merasakan itu semua. Hati saya hanya tertuju kepada cahaya yang melengkung di langit seperti pelangi, cahaya yang menjadi jalan orang-orang yang menari indah dan berpuisi, orang-orang yang sudah merasakan indahnya sumur legendaris itu, cahaya yang kemudian dititi harimau beserta para sahabatnya yang tiba-tiba menjadi begitu dekat dengan hati saya. Mereka tersenyum menyambut saya. “Meloncatlah, meloncatlah ke dalam sumurmu, maka Engkau akan merasakan betapa indahnya hidup,” kata mereka.
Saya melihat lubang tali gantungan itu seperti sumur yang memancarkan cahaya.

**
                                                                      


Catatan:
*1. Dongeng harimau yang menerkam amarahnya, kesalahannya, itu diambil dari kisah Jalaludin Rumi yang ditulis kembali oleh Abdul Rahman Azzam dalam buku Untaian Kisah Menawan dari Matsnawi Rumi (The Kingdom of Joy).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "LEGENDA HARIMAU DAN SUMUR TUA"

Posting Komentar