PEREMPUAN MALAM
Pikiran Rakyat, 7 Desember 2003
Perempuan itu masih menunggu di belokan jalan.
Segalanya telah disiapkan. Gincu yang menyala meranumkan bibir yang oh
mengering dan pucat mayat. Uraian mayang menghias rambutnya yang merah dan
belah-belah. Kemegahan pegunungan mengikat payudaranya yang semakin melorot
merata dada. Tapi kekasihnya yang ditunggu sejak beribu-ribu malam lalu, belum
juga datang.
Malam semakin muram. Lampu merkuri menebarkan sunyi.
Seperti juga angin, dan dingin. “Apalagi yang bisa menuntaskan rindu, setelah
mencari dan menyerbu, hanya menempatkan sebagai penunggu,” keluh perempuan itu.
Keluh yang kemudian dikabarkan angin, digigilkan gerimis, dan dilolongkan
srigala.
Disulutnya lagi sebatang resah, disedotnya
berulang-ulang asap gelisah. Dibuang dan diinjaknya batang kecemasan.
Airmatanya meleleh menahan ngilu, merusak bedak dan gincu. Dia terkenang malam
perpisahan dengan kekasihnya. Perpisahan yang menyuburkan seribu rindu sejuta
cinta dan selaksa hasrat. Rindu dan cinta dan hasrat yang kemudian
bergaung-gaung memenuhi langit dikabarkan angin diperlihatkan dedaunan, tapi
tak kunjung bisa diraih.
Malam itu mereka bercinta di ranjang kenangan.
Keduanya mengaum seperti sepasang harimau, menjerit seperti kelinci, membelit
seperti ular, mengejang seperi kijang. Telah tertuntaskan semua gejolak. Ombak
telah dideburkan, angin telah dibadaikan, air telah dibandangkan, gunung telah
diletuskan. Telah tuntas hasrat tangan menyusur dan meremas dan menjambak.
Telah habis bibir mencium dan menghirup dan menyedot. Telah lelah dada mendekap
dan meradang dan menerjang.
Saat lelah mendiamkan seluruh suara, saat segala yang
bergerak tidak lagi bergerak karena tuntas di puncak gerak, perempuan itu
berdiri dan menghardik. “Bangun, bajingan! Seribu rayu yang kau cumbukan
nyatanya janji melulu. Aku tak inginkan semua ini. Karena semua lelaki punya
birahi. Pergi dan jangan kembali! Jangan kembali sebelum kau bawa cinta! Karena
kekasihku hanya membawa cinta! Hanya cinta!”
Lelaki itu memunguti celana, kemeja dan segala yang
berserak di lantai. Dan katanya sebelum pergi, “Aku berjanji, kasihku, akan
membawa cinta seandainya hanya itu yang kau suka. Tunggu aku di belokan jalan.
Tunggu sampai semuanya membeku. Kecuali bunga, bunga cinta, yang kubawa
buatmu.”
Sejak itu perempuan itu menunggu kekasihnya setiap
malam di belokan jalan.
**
Seribu lelaki, mungkin lebih, telah tidur di ranjang
perempuan itu. Setiap malam ranjang itu berderit. Bersahutan dengan sunyi
jengkrik dan resah lolong srigala. Je-riet je-riet…krik-krik krik-krik…
auuungng! Tapi semuanya segera berlalu. Seperti angin yang sekali singgah di
lentik pucuk pinus, setelah itu pergi entah ke mana. Seperti air yang sekali
lewat di kubangan selokan, setelah itu pergi ke keluasan misteri laut.
Tinggal perempuan itu yang berdiri sendiri. Menatap
ranjang yang acak-acakan, berdebu, dan kumal. Setiap hari ranjang ini disapu,
sebelum menerima tamu. Tapi tetap berdebu, dan bau. Barangkali ranjang bukannya
ingin disapu. Bukannya ingin diganti seprai, disemprot parfum, diterangi lampu
remang. Tapi lebih ingin dipakai arena menumpahkan rindu sepasang kekasih,
terdeburkannya ombak hasrat yang berjuta-juta kilometer dibawa angin,
digemercikkan air, diresahkan hujan, disenyapkan malam.
Bercinta dengan gejolak seperti itulah yang dirindukan
perempuan itu. Bercinta yang hanya bisa tertuntaskan dengan kekasihnya yang
akan datang bersama cinta. Tapi sampai ribuan lelaki memakai ranjangnya, jutaan
dengus dihembuskan ke ujung rambut sampai ujung kakinya, kekasihnya belum juga
datang.
“Jadilah engkau istri simpananku. Tidak mesti melayani
banyak lelaki, cukup aku sendiri. Akan kuberi rumah yang nyaman, taman yang
indah, dan ranjang yang bersih,” kata seorang lelaki suatu malam.
“Aku tidak bisa pergi dari sini. Aku sedang menunggu
kekasih. Kekasih yang akan datang membawa cinta dan menuntaskan rinduku.”
“Akulah kekasihmu. Kekasih yang akan memenuhi segala
keinginanmu.”
“Semua lelaki mengatakan itu. Dan semuanya tidak akan
bisa memenuhi keinginanku. Semuanya omong kosong.”
“Apa keinginanmu?”
“Aku merasakannya. Tapi tidak bisa mengatakannya.
Kalau engkau tidak merasakannya, jangan lagi berkata-kata denganku.”
Lelaki itu pergi dengan sumpah serapah mengotori
udara. Dia tidak mengerti, ko ada keinginan seperti itu. Padahal di waktu-waktu
tertentu, dia merasakan di kedalaman kalbunya ada rindu, rindu dari
tempat-tempat terjauh, asing, menggetarkan. Tapi rindu itu membeku, karena
kalbu tempatnya bersemayam, telah dikulkaskan pergaulan dan pilihan hidup.
Perempuan itu memandangi dirinya yang bergaya di dalam
cermin. Dirinya yang seringkali mengembara ke negeri-negeri jauh di kedalaman
cermin. Negeri-negeri yang mengabarkan aroma tubuh kekasihnya. Negeri dimana
dia ingin tersesat seumur hidupnya. Negeri yang tenang, sunyi, dingin, dan
menentramkan. Tapi pengembaraan itu selalu tidak tuntas. Belum juga kekasihnya
ditemukan, selalu digagalkan oleh ketukan orang di pintu kamarnya.
“Aku tidak menerima tamu malam ini.” Sering perempuan
itu mengatakan itu. Lalu dia akan mengingat ribuan tamu yang pernah singgah dan
mengotori ranjangnya. Seandainya seluruh pakaiannya ditanggalkan, tidak akan
ada lagi sesentipun kulitnya yang belum dijamah tangan atau dihisap bibir. Dia
merasa tubuhnya memang bukan lagi miliknya. Miliknya paling berharga tinggal
rindu kepada kekasihnya yang semakin menguat di kedalaman tubuhnya.
“Kalian telah bersekongkol bersama waktu. Seperti
lebah, telah kalian sedot madu dalam diriku. Telah kau lucuti kecantikan dan
keindahan tubuhku. Tapi tak kan pernah bisa kalian membekukan rinduku. Membekukan
rindu seperti di kalbu kalian.”
Ingin sekali dia mengatakan itu kepada setiap lelaki
yang pernah menidurinya. Tapi mulutnya kelu. Karena percuma juga. Karena para
lelaki itu tidak akan mengenal kerinduannya. Kalau dia berkata-kata, maka hanya
berkata-kata sendiri. Kalau dia mengisyaratkannya lewat mata atau senyum, maka
hanya mengisyaratkan sendiri.
Karenanya, ketika suatu malam datang seorang lelaki,
mengetuk pintu, menanyakan kabarnya, perempuan itu terkesiap. Karena lelaki itu
ternyata tidak mau tidur di ranjangnya, tidak mau menjambak rambutnya, meremas
payudaranya, menyedot lehernya.
“Sudahkah kekasihmu yang ditunggu itu datang?”
tanyanya.
“Belum juga.”
“Barangkali tidak akan singgah lagi ke sini.”
“Kenapa? Kenalkah kamu kepadanya?”
“Ya, dia teman seperjalananku.”
“Kenapa tidak akan datang?”
“Karena setiap ke sini, engkau selalu membunuhnya.
Membunuhnya berulang-ulang, di setiap perbuatan dan kepura-puraan, di
jerat-jerat gincu dan bedak dan sarang laba-laba yang kau tebar. Engkau sendiri
yang membunuh kekasihmu. Sehingga rindumu tinggal kenangan.”
Lelaki pengetuk pintu yang tidak mau tidur di ranjang
perempuan itu pergi. Setelah angin menyembunyikan di keabadian pengembaraan,
air membawanya ke keluasan lautan, bumi menyimpannya dalam meditasi; perempuan
itu menjerit. Dia berlari sepanjang jalan, mengejar kekasihnya.
“Engkaulah kekasihku. Engkaulah yang kurindukan setiap
waktu. Mengapa engkau pergi lagi, sayang. Tegakah engkau, aku telah mencarimu
ke tempat-tempat terjauh dalam igauan. Tapi engkau tak ada. Engkau telah pergi
bersama angin, mengalir bersama air, melolong bersama suara-suara dari
kejauhan. Mengapa aku tidak mengenali dirimu, sayang.”
**
Perempuan itu masih menunggu di belokan jalan.
Segalanya telah disiapkan. Gincu yang menyala meranumkan bibir yang oh
mengering dan pucat mayat. Uraian mayang menghias rambutnya yang merah dan
belah-belah. Kemegahan pegunungan mengikat payudaranya yang semakin melorot
merata dada. Tapi kekasihnya yang ditunggu sejak bertahun-tahun lalu, belum
juga datang.
Seorang pelukis bermalam-malam melihatnya dari
kejauhan. Awalnya setelah lelah mengerjakan proyek lukisannya, pelukis itu
ingin rekreasi. Sekedar melepaskan kesumpekan. Maka dia memilih mengunjungi
perempuan langganannya yang sejak lama suka mangkal di belokan jalan.
Pelukis itu hapal bagaimana perempuan itu merintih,
menjerit, atau mengerang. Tapi kali itu, ketika dia melihatnya dari kejauhan,
rasanya ada yang lebih memuaskan dibanding mendengar rintihan, jeritan dan
erangannya. Perempuan itu begitu resah menyedot berbatang-batang rokok. Dari
matanya selalu ada yang mengalir, membasahi pipi, menjatuhi bumi. Barangkali
itulah sunyinya, nyerinya, resahnya, gelisahnya, rindunya, gejolaknya untuk
bertemu sang kekasih.
Pelukis itu diam-diam membawa kanvas dan peralatan
kerjanya. Bermalam-malam dia melukis. Melupakan proyek yang batas waktunya
sudah mau habis. Melupakan ketentuan-ketentuan pasar yang mengikatnya. Dia puas
bisa melukis perempuan yang selalu menunggu kekasihnya di belokan jalan itu.
Setiap pameran lukisan itu selalu dibawanya. Banyak
kolektor menawarnya. Para penikmat selalu merubungnya. Tapi pelukis itu telah
memasang harga kepastian di lukisan itu: MAAF, TIDAK UNTUK DIJUAL. **
Rancakalong, 28 November 2002
0 Response to "PEREMPUAN MALAM"
Posting Komentar