AIRMATA AYAH
Tribun Jabar, 1 Maret 2014
Ingin membaca cerpen ini dalam bahasa Sunda? Klik saja DI SINI
Usiaku 14 tahun 2 bulan 27 hari ketika aku dibunuh. Aku menangis melihat jasadku tidak bisa bergerak. Aku berteriak minta tolong, tapi tidak ada yang mendengar. Aku melayang mencari orang, tapi juga tidak bisa dimintai tolong. Akhirnya aku sadar, aku sudah mati.
Aku melihat Ayah cemas
mencariku karena sudah tiga hari tidak pulang. Seluruh anak buahnya mencariku
ke seluruh penjuru kota. Pada hari keempat seorang pencari kayu bakar menemukan jasadku di
semak-semak di pinggir hutan. Dia berlari-lari sambil berteriak: “Ada mayat...
ada mayat!” Pinggir hutan itu pun ramai.
Ketika Ayah datang,
melihat jasadku, badannya bergetar hebat. Tangannya mengepal kuat. Wajahnya
raut duka, musim hujan yang selalu mendung dan berkabut. Ayah menangis. Tanpa
airmata. Tanpa suara. Aku merasakan jeritnya, tangisnya, teriakannya.
Ayah duduk, menunduk,
di depan jasadku. Ayah berbisik: anakku,
engkau terbebas dari tugas-tugasmu, terbanglah engkau ke dalam hati
terbersihmu, ke taman mahaindah ciptaanNya, surga yang abadi itu.
Jasadku sudah mulai
menyebarkan bau sebenarnya. Orang-orang yang ingin melihat selalu menjaga jarak
dan menutup hidung. Tapi Ayah memangku jasadku seolah aku ini masih hidup,
tanpa memakai masker, tanpa menahan napas. Di rumah jutaan orang sudah menanti.
Mereka berwajah sedih, menangis. Juga Ibu yang segera membuka tutup wajahku
ketika Ayah
merebahkan jasadku di tengah rumah.
Ayah masuk ke kamarnya,
kamar khususnya, kamar rahasianya, kamar kedap suara, kamar yang hanya kami
berdua boleh memasukinya. Ayah bersujud, menangis, airmatanya berjatuhan,
badannya berguncang-guncang. Diam-diam aku memeluk dan mencium keningnya.
**
Bagiku, Ayah adalah
sahabat, guru, dan tempat segala rahasia. Rahasia terpenting yang kata Ayah
hanya diketahui oleh beberapa orang saja, Ayah adalah pemimpin Partai Putih. Partai
Putih adalah yang selalu mengusahakan agar dunia lebih baik, lebih nyaman,
lebih indah, untuk ditinggali. Misalnya
membersihkan
laut yang tercemar, menanami gunung yang gundul, membantu anak-anak jalanan,
para pengungsi perang, memerangi korupsi, dan yang lainnya.
Dan rahasia terpenting
kedua yang juga hanya diketahui beberapa orang, aku adalah calon tunggal
pewaris mahkota Ayah.
Hampir setiap hari Ayah
mengajakku pergi. Kami masuk ke rumah-rumah kardus, ke kolong-kolong jembatan,
ke pemukiman padat penduduk, ke kampung-kampung miskin, ke tempat-tempat
bencana, ke tempat-tempat peperangan menyisakan korban yang mengerikan. Ayah
menangis, menangis tanpa airmata dan tanpa suara.
“Beginilah keadaannya
saudara-saudara kita. Kita ini bersaudara, seperti satu tubuh, kalau tangan
sakit mata pun ikut merasakan,” kata Ayah.
Aku pun belajar
merasakan kesedihan mereka dari airmata Ayah. Aku mengikuti apa yang Ayah lakukan.
Aku memanggul beras dan menyimpanya di depan gubuk seorang ibu dan anaknya yang
kelaparan. Aku mengajar membaca anak-anak pinggir jalan yang tidak sekolah. Aku
mencari mayat-mayat yang tertimpa bencana.
“Semua penderitaan ini,
Anakku, tidak hanya karena kearifan alam. Sebagian besarnya adalah karena ada
orang-orang yang terus-menerus mengusahakannya. Mereka itu tertawa ketika
melihat saudaranya berduka, menghamburkan makanan ketika melihat saudaranya
kelaparan, bersukaria ketika melihat saudaranya celaka. Mereka itu dikuasai hawa napsu yang selalu menginginkan semua
kekayaan menjadi milik pribadi. Itulah
musuh-musuh kita,” kata Ayah sekali waktu.
Aku pun geram
melihatnya. Di hati ini mulai tumbuh tekad untuk melawan mereka. Melawan dengan
melakukan segala kebaikan.
Tapi wajah Ayah begitu redup. Katanya perlahan, “Musuh
yang tidak mungkin dilawan habis. Karena setiap dilawan sampai mati mereka akan
hidup lagi menjelma yang lain. Mereka selalu hidup lebih banyak, lebih licik,
lebih biadab. Itulah yang dilakukan oleh Partai Hitam.”
**
Ada rahasia ketiga yang
belum sempat aku ceritakan kepada Ayah, yaitu siapa pemimpin Partai Hitam. Aku
mengetahuinya. Selama ini Ayah menyebar mata-mata untuk mengetahuinya tapi
sampai sekarang Ayah belum
mengetahuinya.
Aku pertama mengenalnya
sebagai teman Ibu. Wajahnya tampan. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum.
Tentu saja banyak wanita yang melihatnya terpesona. Kata Ibu, istrinya ada di
mana-mana, semuanya cantik-cantik, muda-muda karena setiap istri yang menjadi
tua akan dicerai dan diganti oleh yang lebih muda dan cantik. Kekayaannya
melimpah. Walaupun istrinya banyak dan anaknya banyak, semuanya hidup mewah. Meski
istrinya banyak, ribuan wanita muda dan cantik selalu pasang aksi di depannya
agar dijadikan istri barunya.
“Anehnya, meski hampir
semua wanita di dunia ini menyukainya, hanya kepada Ibu dia memberikan
puisi-puisi cintanya,” kata Ibu sekali waktu. Tentu saja aku terkejut. “Tapi
ini rahasia, jangan bilang kepada siapa-siapa, juga kepada Ayah.”
Aku mengangguk. “Tapi
Ibu tidak membalas cintanya, kan?”
“Tentu saja tidak,
karena Ibu sudah punya Ayah.”
Aku merasa lega. Tapi rasa lega dan menepati janji memegang
rahasia Ibu itulah yang mencelakakan aku. Ayah padahal pernah bilang, “Sebagai
calon pemimpin Partai Putih, hanya ada dua orang yang bisa kamu percayai.
Dirimu sendiri, keduanya adalah Ayah. Dan ketiganya adalah Tuhan.”
Aku mulai mencurigai
Ibu ketika dia sering pergi sendiri. Ketika aku mengikutinya, ternyata memang
ada janji dengan Si Tampan sahabatnya itu. Mereka jalan-jalan ke pantai,
berkejar-kejaran menyongsong ombak, saling membentangkan tangan merasakan angin
berhembus kencang. Aku rasa mereka sedang saling jatuh cinta.
Aku menyesal tidak
cepat membicarakannya dengan Ayah. Aku kira ini adalah perselingkuhan biasa.
Karenanya aku ingin memergoki mereka. Suatu sore yang indah aku memang
mendapatkan bukti-bukti yang kuat. Mereka masuk ke sebuah hotel, menyewa kamar
terindah dan termewah. Ketika aku mendekati pintunya ternyata tidak tertutup
rapat. Ketika aku dorong pintunya lebih lebar hampir-hampir aku terjatuh,
mereka sedang bercumbu di atas kasur, tanpa busana. Ketika beberapa kali aku
memijit tombol kamera, tangan kekar memegang tanganku.
**
“Cintaku, anak kurang
ajar ini sudah mengetahui percintaan terlarang kita. Dia akan menjadi bencana
bila dibiarkan hidup. Meski engkau menyayanginya, engkau harus merelakannya,
Cintaku.” Si Tampan memeluk Ibu. Badan Ibu bergetar. Ibu tidak berani menatap
wajahku.
Malamnya aku dibawa ke
sebuah hotel. Tanganku diborgol. Mulutku dilakban. Aku dijatuhkan ke kasur.
Borgol dan lakban kemudian dibuka.
“Kamu mau apa?! Cepat
pulangkan aku! Kalau Ayah tahu, kamu pasti habis! Tollooong...!
Toollooongng...!”
Tapi Si Tampan malah
tertawa. Ini kamar kedap suara.
“Kamu tahu kenapa aku memacari
Ibumu? Bukan karena cinta. Dia terlalu tua dan sudah tidak cantik bagiku. Aku
hanya menitipkan anakku di rahimnya. Anakku yang akan menyusup ke keluargamu,
keluarga Partai Putih yang terkenal itu. Anakku nanti yang akan merusak Partai
Putih dari dalam. Ha ha ha....!”
Tentu saja aku marah. Aku pukul wajahnya. Tapi
belum sampai tinjuku ke wajahnya, dengan mudah dia menangkapnya. Aku dibanting
ke kasur. Seluruh bajuku dibuka paksa. Aku diperkosa berkali-kali. Dan akhirnya
tembakan beruntun ke bagian jantungku mengakhiri perlawananku.
“Berakhir sudah putri
mahkota Partai Putih. Akulah penguasa dunia, Ketua Partai Hitam. Ha ha ha....!”
**
Jasadku
dikuburkan dengan diantar jutaan orang. Di atas kuburku Ayah meneteskan
airmata. Baru kali itu Ayah menangis mengeluarkan airmata disaksikan
orang-orang. Ibu juga menangis. Aku melihat perutnya mulai membuncit.
Orang-orang pun menangis. Airmatanya berjatuhan. Kabarnya, di seluruh pelosok,
di seluruh negeri, orang-orang menangis ketika mendengar kabar terbunuhnya aku.
Aku
yakin, setetes airmata Ayah selalu membuat milyaran orang ikut menangis. Dan
airmata mereka itu diam-diam bergerak
menuju airmata Ayah, bersatu, membesar, membesar, membesar, kemudian
menetas, dari dalamnya keluar seorang bayi, seperti juga yang terjadi ketika
peristiwa kelahiranku, 14 tahun 2 bulan 27 hari yang lalu. ***
Pamulihan, 2012 / 2014
0 Response to "AIRMATA AYAH"
Posting Komentar