TANGAN YANG MENGGENGGAM BELATI
Tabloid CITRA, 7 Juni 1998
Gerimis turun mempertegas
sunyi. Pohon-pohon mematung. Bangunan-bangunan membeku. Jalanan lengang. Suara
mobil yang sesekali lewat, menyuarakan gelisah penumpangnya. Segerombolan
remaja, laki-laki dan perempuan, turun dari mobil yang diparkir seenaknya di
depan diskotik. Mereka tertawa-tawa. Di depan sebuah gang, serombongan remaja
bermain gitar, bernyanyi teriak-teriak. Beberapa botol minuman tak beraturan di
depan mereka.
Malam begitu dingin dan mencekam.
Di sebuah lapangan seorang
lelaki berdiri. Gerimis yang membasahi rambutnya dibiarkan menyusuri pipinya,
dahinya, bajunya. Matanya memandang ke depan, tak berarah. Napasnya tak
beraturan. Di tangan kanannya tergenggam sebuah belati. Dari ujung belati itu
menetes darah, satu-satu.
Tak ada angin malam ini.
Lelaki yang berdiri di tengah
lapangan itu hanya mendengar suara napasnya sendiri. Sebuah luka menggores di
tangannya. Darah masih mengalir, bersatu dengan butiran air, menetes dari ujung
belatinya.
Sebuah mobil berhenti di
pinggir lapangan. Segerombolan remaja, laki-laki dan perempuan, turun.
“Sorotkan lampu ke arahnya,”
kata yang seorang.
Lampu mengarah ke lelaki yang
berdiri di tengah lapangan. Tapi lelaki itu tidak bergeming.
“Lihat ia membawa belati.”
“Berdarah.”
“Aku takut matanya,” kata yang
perempuan. Cepat ia masuk ke dalam mobil. Teman-temannya menyusul. Mobil
meluncur lagi.
“Aneh-aneh kelakuan orang,”
kata yang perempuan sambil menyusup di dada temannya. Di tangannya tergenggam
pil yang tidak jadi diminum karena ia terlalu lemas.
Di depan sebuah gang,
segerombolan remaja masih bermain gitar. Botol-botol kosong berserakan di depan
mereka.
“Kerja kau, cepat!” Si Tato
Kala memerintah anak buahnya. “Di diskotik sudah banyak yang pada pulang. Kau
minta keamanannya.”
“Di sana dijaga si Kopral,
Bang.”
“Ala, apa yang ditakutkan dari si Kopral? Cepat pergi!”
Malam mendekati subuh. Anak buah si Tatto Kala berlari menembus
gerimis. Dia berpapasan dengan seorang tua yang menyebrang jalan menuju ke
mesjid di depan gang.
**
Matahari masih semburat jingga
ketika seorang tukang sayuran yang mau ke pasar menemukan mayat di semak-semak,
lima ratus meter dari sebuah diskotik. Orang-orang ribut. Mereka mengerubungi
mayat itu. Polisi ditelepon. Satu tim antikekerasan diturunkan. Mereka cepat
memeriksa, menanyakan ini-itu kepada orang-orang yang ada di sekitar kejadian
perkara.
“Lelaki itu memegang belati
yang berlumur darah, Pak!” kata seorang remaja yang semalam datang ke diskotik.
“Semalam dia berdiri di tengah lapangan, Pak.”
Atas petunjuk remaja itu,
polisi mendatangi lapangan yang diceritakan. Lelaki itu masih berdiri di sana.
Di tangannya sebuah belati tergenggam. Darah menetes satu-satu dari ujung
belatinya. Lelaki itu tidak bergeming meski matahari mulai naik dan orang-orang
menghampirinya.
“Tangkap lelaki itu!” perintah
Pak Komandan.
Satu tim polisi mendekat.
Beberapa orang menodongkan pistol. Lelaki itu masih berdiri kaku.
“Kamu ditangkap,” kata seorang
polisi. Lelaki itu masih berdiri kaku. Tapi begitu dua orang polisi menangkap
tangannya, lelaki itu berkelit.
“Kamu ditangkap!” bentak
seorang polisi.
“Apa salahku?” Lelaki itu
bersuara. Matanya memandang tajam.
“Kamu dicurigai.”
“Kenapa?”
“Kamu memegang belati.”
“Apa salah memegang belati?”
“Belatimu berdarah!”
“Apa salah belati berdarah?”
“Banyak omong. Tangkap dia!”
Pak Komandan kesal.
Lelaki itu menodongkan pisau
ketika dua orang polisi mau menangkapnya.
“Mana surat perintahnya?”
tanya lelaki itu.
“Gampang, nanti dibikin.”
“Tidak bisa. Sebagai polisi
kalian goblok. Sombong! Aku tidak bersalah!”
“Tembak dia!”
Lelaki itu berlari. Beberapa
pistol meletus. Peluru melayang cepat, menembus tubuh lelaki itu. Darah
mengucur dari lubang-lubang yang dibikin peluru itu. Tapi lelaki itu berlari
terus. Polisi mengejarnya.
Sampai malam datang polisi
belum dapat menangkap lelaki yang menggenggam belati itu.
**
Pagi berikutnya seorang buruh
yang siang kemarin demonstrasi terbunuh. Pagi berikutnya mayat seorang
mahasiswi ditemukan di tempat kosnya. Pagi berikutnya sekeluarga guru dibantai.
Pagi berikutnya dua orang anak sekolah dasar diperkosa sekelompok orang. Pagi
berikutnya ditemukan mayat seorang polisi, mayat seorang jenderal, mayat
seorang tukang sayur, mayat seorang pengusaha.
Orang-orang resah. Polisi
sibuk memeriksa dan melacak. Pengadilan digelar. Tapi si pelaku masih belum
jelas. Sampai seorang remaja melaporkan bahwa ia semalam melihat seorang lelaki
yang memegang belati berlumur darah itu berdiri kaku di sebuah lapangan. Polisi
dan orang-orang memburu ke lapangan. Lelaki itu masih berdiri di sana.
“Aku tidak bersalah!” Lelaki
itu berkelit ketika polisi menangkapnya.
“Tapi kamu membawa belati yang
berlumur darah. Kamu dicurigai!” Komandan polisi tak kalah galak.
“Apa cuma aku yang berdarah?
Banyak orang yang patut dicurigai. Orang-orang menangis ketika rumah-rumahnya
dibakar. Orang-orang menjerit ketika rumah-rumahnya digusur. Mahasiswa dan
buruh demonstrasi hampir setiap hari. Orang-orang pada tidur di beranda gedung
DPR, mengadu. Orang-orang sikut-sikutan dan jilat-jilatan untuk menjaga
bisnisnya. Orang-orang mangkel makan
tiwul sambil nonton pesta tahun baru ditayangkan seluruh stasiun televisi.
Curigai mereka!”
“Tidak bisa! Kamu yang mesti
ditangkap!”
Lelaki itu berlari. Beberapa
pistol meledak. Lubang peluru di tubuh lelaki itu mengeluarkan darah. Tapi
lelaki itu terus berlari.
Atas kesepakatan pemuka
masyarakat, lelaki yang menggenggam belati itu didatangi oleh para pemuka
agama.
“Kamu tahu Tuhan melarang
membunuh?” tanya seorang pemuka agama.
“Tahu.”
“Kamu tahu Tuhan melarang
memperkosa?”
“Tahu.”
“Kamu tahu Tuhan melarang
orang merugikan orang lain?”
“Tahu.”
“Karena itu, kamu jangan
melakukannya.”
“Ya, aku berusaha tidak melakukannya.”
“Tapi banyak orang terbunuh.
Banyak perempuan diperkosa. Banyak orang dipaksa. Banyak orang diinjak-injak
hak asasinya. Untuk memberantas kejahatan itu, kita perlu pelakunya untuk
diadili. Karena itu, lepaskan belati itu.”
“Aku tidak bisa
melepaskannya.”
“Kenapa?”
“Tanganku tidak bisa dibuka.”
“Kamu dendam?”
“Ya.”
“Kepada siapa?”
“Pelaku kejahatan itu.”
“Karena itu, lepaskan balati
itu.”
“Tanganku tidak bisa dibuka.”
**
Menurut laporan para pemuka agama, lelaki itu tidak perlu
diresahkan. Dia perlu diawasi saja. Tapi orang-orang tidak setuju. Kejahatan
semakin sering dan sadis meski para preman
sempat dihabisi di jalan-jalan. Menurut orang-orang, mereka perlu pihak yang
dicurigai, karena pengadilan belum bisa menyelesaikan masalah
seadil-adilnya.
Tapi lelaki yang memegang belati berlumur darah itu, menurut
keputusan pengadilan, tidak boleh dicurigai. Orang-orang menggerutu. Mereka
perlu pihak untuk dicurigai. Diam-diam mereka merencanakan untuk membunuh
lelaki yang selalu berdiri di tengah lapangan sambil memegang belati berlumur
darah itu. Pada waktu yang ditentukan, mereka menyerbu.
“Bunuh dia!” teriak komandan dadakan itu. Orang-orang menyerbu. Di
tangan mereka tergenggam belati. Lelaki itu berlari. Orang-orang mengejar
sambil mengacung-acungkan belati.
Berhari-hari orang-orang mengejar lelaki yang memegang belati
berlumur darah itu. Tapi lelaki itu selalu dapat meloloskan diri. Sampai
kemudian terbetik kabar ada seorang pejabat pemerintah terbunuh. Hari
berikutnya ditemukan mayat seorang siswa SMU di pinggir jalan, mayat seorang
mahasiswa yang sebelumnya membantu petani mengadu ke DPR, mayat seorang wanita
panggilan di sebuah hotel, dan seterusnya.
“Sekarang siapa yang kita curigai? Kita semua memegang belati!”
Lelaki yang memegang belati berlumur darah itu berdiri di depan orang-orang.
Orang-orang saling memandang. Diam-diam mereka saling mencurigai.
Besoknya ada lagi yang terbunuh. Orang-orang mendapatkan belati di
tangan mereka berlumur darah. Mereka tidak bisa melepaskan belati itu.
“Kita semua sama-sama memendam dendam,” kata lelaki itu di depan
orang-orang. “Yang menentukan tinggal peperangan di dalam hati kita, akan
dilampiaskan seperti apa dendam itu.”
Polisi semakin sibuk. Mereka stress
karena kejahatan sering tidak jelas pelakunya. Mereka tidak bisa melepaskan
pistol yang digenggam. Mereka menembak kepada yang dicurigai. Orang yang
ditembak melawan. Mereka saling membunuh. Semakin banyak yang terlibat.
Berhari-hari.
“Ingat, Tuhan melarang kita saling menyakiti!” Para pemuka agama
berteriak di mana-mana. Orang-orang berhenti berkelahi. Tapi belati berlumur
darah di tangan mereka tidak bisa dilepaskan. Besoknya koran-koran menulis
analisa pakar kriminal tentang kejahatan yang semakin sadis.***
Ingin Tahu Lebih Banyak? Baca saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "TANGAN YANG MENGGENGGAM BELATI"
Posting Komentar