SEPULUH TAHUN LALU
Pikiran Rakyat, 16 Februari 1992
Hujan tinggal gerimis ketika Bu Marla membuka jendela
kamar. Angin menerpa wajahnya yang sedikit pucat. Daun-daun mawar yang dulu
setiap hari disiram Tian, dipandangnya tanpa berkedip. Diperhatikannya
tetes-tetes air yang jatuh dari ujung daun. Sebagian kelopak bunga berguguran,
berserakan di sekitar batangnya. Sesekali ada suara kendaraan dari jalan yang
terbentang di depan rumah. Selebihnya hanya nyanyian sunyi diantara tarian
napasnya dan tiktak tetes air yang menimpa genangan.
Tadi pagi, di halaman rumah, Bu Marla masih melihat
beberapa mobil diparkir. Mobil yang dua, kata suaminya, adalah milik Suherman,
anak sulungnya yang bergelar doktorandus dan sekarang bekerja di perusahaan
milik negara. Mobil satunya lagi, yang kata suaminya harganya ratusan juga
rupiah, milik Tatang, anak keduanya yang dulu mendapat beasiswa sekolah di
Amerika dan sekarang menjadi pemimpin redaksi sebuah surat kabar di Jakarta.
Dan mobil yang lainnya, mungkin milik Wiwi yang datang bersama suaminya, atau
milik Iful, Erna, dan Mukhlis. Ah, Bu Marla tidak memperhatikan, siapa saja
yang datang membawa mobil baru. Mobil-mobil itu tidak lagi membawa kebanggaan.
Lebaran kali ini memang terasa sepi, tidak memberikan
kesan apa-apa di hati Bu Marla. Berkumpul bersama anak cucu, mendengarkan
cerita mereka, sejak malam takbir, tidak memberikan ketenangan. Semuanya
mengalir begitu saja, tanpa keharuan dan kebanggaan.
Tian memang tidak hadir Lebaran kali ini. Anak
bungsunya yang sering menentangnya itulah yang membuat Bu Marla cemas. Kartu
Lebaran yang biasanya dikirim Tian, kali ini tidak diterima Bu Marla. Lupakah
Tian kepada ibunya, bapaknya, dan keluarga lainnya? Marahkah dia selama sepuluh
tahun tidak ditegur oleh ibunya?
Bu Marla kembali memandang daun-daun mawar yang
tertunduk diberati air. Kali ini tidak lagi ada cerita Tian tentang desanya.
Tentang pohon-pohon jagungnya, padinya yang baru ditanam, ikan-ikannya, atau
ayam-ayam dan kelincinya yang akrab dengan Tantan. Ah, sudah sebesar apakah
cucu yang selama hidupnya belum pernah dikeloni neneknya itu? Bukankah tahun
kemarin dia masuk sekolah?
Bu Marla menarik napas panjang. Tian memang lain dari
anak-anaknya yang lain, sejak kecil. Dulu, waktu anak-anaknya dimasukkan
madrasah untuk belajar membaca Al-Qur’an, hanya dia yang sering tidak masuk.
Kalau tidak bermain kelereng, Tian akan bolos karena mencari awi tamiang untuk sumpit. Tapi kemudian
di antara anak-anaknya, yang masih suka membaca Al-Qur’an sampai mereka masuk
kuliah, hanya Tian seorang. Sering Bu Marla mendengar alunan ayat suci dari
kamarnya, selesai Maghrib.
Bu Marla masih ingat, di antara anak-anaknya, hanya
Tian yang sering keluar malam. Sering ada yang lapor, Tian bermain dengan
anak-anak yang setiap malamnya nongkrong di ujung gang. Setia dia diingatkan
bahwa anak-anak itu sering mabuk atau membuat keributan, Tian selalu membelanya
dengan sejumlah argumentasi. Dia tidak pernah menurut begitu saja. Kalau perlu,
dia tidak akan menyerah berargumentasi, sampai ibunya nangis sekalipun. Baru
setelah itu, dia akan datang untuk meminta maaf dan membiarkan kepalanya dielus
ibunya.
Tian memang kadang manja. Seingat Bu Marla, hanya dia
yang sering tiduran di pangkuannya, sampai dia lulus kuliah. Dan kejadian
sepuluh tahun lalu itu terjadi. Tian membawa seorang gadis ke rumah dan
berencana untuk menikahinya. Semua gembira mendengar berita itu. Terutama Bu
Marla. Anak bungsunya yang baru saja menyelesaikan kuliah dan hanya dia yang
belum berkeluarga, memintanya untuk melamar seorang gadis cantik dan manis.
Ya, Mimin memang cantik dan manis. Dengan kulit putih
bersih, senyum yang selalu tersungging di bibir indahnya, rok terusan panjang
dan kerudung yang sepertinya selalu cocok dengan raut wajahnya; rasanya tak
mungkin ada seorang ibu yang menolak untuk menjadi mertuanya.
Tapi itu semua bukan jaminan yang menentukan. Karena
ada jalan hidup yang lebih menentukan nilai seorang menantu di mata mertuanya.
Mimin, kata Tian yang waktu itu datang ke kamar Bu Marla, adalah bekas
perempuan panggilan kelas atas. Jalan hidup Mimin yang hitam itulah yang
membuat Bu Marla tidak setuju dan menutup semua rencana pernikahan dengan Mimin.
Yang namanya perempuan panggilan, mau kelas atas atau kelas bawah, mau amatiran
atau profesional, tetap saja perempuan panggilan.
“Tapi sekarang dia lain, Ma. Sebutan panggilan itu
hanya masa lalu, masa kuliahnya dulu.” Masih ingat Bu Marla bagaimana Tian
membantah waktu itu. “Tian mau mengawininya, karena dia gadis yang baik di mata
Tian.”
“Mama tahu, Mimin baik, cantik, mungkin juga sekarang
lebih sholeh dibanding gadis kebanyakan. Tapi Tian juga harus tahu, yang
namanya panggilan, di mata masyarakat tetap panggilan. Di mata Tian, Mimin
boleh gadis yang baik. Tapi di mata masyarakat dia tetap gadis panggilan.”
“Yang mau kawin kan Tian, bukan masyarakat. Mengapa
Mama mesti memperhatikan masyarakat? Tian tahu, dengan memilih Mimin, Tian
merasa akan bahagia. Tian tidak perduli dengan masa lalu Mimin. Karena yang
penting dalam hidup ini, Ma, saat ini dan yang akan datang. Buka masa lalu.
Tian lebih tahu dari orang lain, juga dari Mama, tentang Mimin. Dia tidak
seburuk yang Mama bayangkan. Dia gadis terbaik yang pernah Tian kenal. Dia
gadis….”
“Sudah! Mama tidak mau lagi mendengar tentang gadis
itu! Tian harus tahu, kita hidup bermasyarakat, bukan seorang diri. Mama punya
harga diri di masyarakat. Papa punya harga diri. Kakak-kakak Tian punya harga
diri. Semua keluarga punya harga diri! Kalau Tian kawin dengan seorang
perempuan panggilan….”
“Bekas, Ma!”
“Bekas atau bukan, pada akhirnya tidak berbeda. Itu
artinya Tian telah mencoreng nama baik keluarga, nama baik Mama, nama baik
Papa, nama baik semua!”
“Kalau begitu Mama munafik!” Bu Marla masih ingat
kalimat itu dikatakan Tian dengan nada sengit. Bagaimana kerut wajah Tian. Dan
sebutir air yang tidak sempat dihapus anak itu. Bu Marla tahu, bagaiaman
sakitnya hati Tian waktu itu. Tapi hidup memang begitu. Kita harus siap
berhadapan dengan kenyataan yang kadang menyakitkan. Seperti juga kenyataan
menghadapi Tian yang ngotot untuk mengawini Mimin.
“Tian kecewa, ternyata Mama munafik! Mama kan yang
sering nulis artikel dan berpidato tentang kewanitaan, tentang emansipasi,
tentang kesempatan bagi perempuan. ‘Berilah kesempatan kepada para bekas WTS
untuk hidup layak di masyarakat! Mereka harus kita tuntun, bukan kita jauhi.
Jadikanlah mereka saudara kita, anak-anak kita, istri-istri kita, teman-teman
kita!’ Begitu kan Mama kalau berpidato menyambut Hari Ibu. Tapi sekarang? Tian
baru tahu, Mama ternyata munafik!”
Bu Marla tidak menjawab. Ingin dia berteriak: Itu dalam pidato, Tian! Bukan hidup yang
sebenarnya. Masyarakat tetap tidak akan menerima utuh seorang bekas WTS. Mereka
akan tetap terkucil di lingkungan yang tahu masa lalunya. Bolehlah itu terjadi
pada orang lain, tapi tidak di keluarga kita. Mama terpandang di masyarakat.
Papa terpandang di masyarakat. Kita keluarga terpandang!
Tapi kata-kata itu tidak keluar dari mulut Bu Marla.
Dia tahu dan yakin, Tian tidak akan menerima pendapatnya. Maka keputusan itu keluar
dari mulutnya: “Bolehlah kalau Tian mau mengawini Mimin, tapi artinya Tian
tidak lagi jadi anak Mama, anak Papa, adik Kang Herman, Kang Tatang, dan yang
lainnya.”
Baru kali itu Bu Marla melihat Tian diam. Dia tidak
lagi berargumentasi. Sekilas, karena Bu Marla cepat mengalihkan pandangannya,
dia melihat bagaimana beningnya mata Tian, bagaimana cepatnya Tian mengusap
mata dan pergi. Bu Marla merasa matanya pun perih. Dan di kamar dia tidak bisa
membendung airmatanya.
Dua bulan sejak itu Tian tidak pulang. Suatu sore, dia
datang dengan pakaian rapi. Dia memberitahu bahwa dia akan menikahi Mimin hari
Minggu yang akan datang. Bu Marla tahu, keputusan itu tidak akan bisa lagi
digagalkan. Dia masuk ke kamar dan tidak keluar lagi meski Tian mengetuk
beberapa kali untuk pamitan. Dan hari Minggu nanti, Bu Marla memutuskan untuk
melarang anak-anak dan suaminya menghadiri pernikahan Tian.
Hanya hari-hari besar Tian datang bersama Mimin. Hari
Raya Idul Fitri, Idul Adha, atau bila ada libur panjang. Pada hari-hari besar
itu Tian dan Mimin sungkem di kaki Bu Marla, meski selama ini mereka belum
pernah diacuhkan. Dan lima tahun lalu, setelah Mimin melahirkan, Tian
memberitahukan bahwa mereka pindah ke desa, bertani, dan belajar ngaji di
sebuah pesantren.
Bu Marla tidak pernah bicara pada Tian dan Mimin.
Meski sebenarnya dia ingin bertanya, mengapa mesti pindah ke desa dan
meninggalkan pekerjaan di perusahaan swasta dengan gaji besar? Mengapa mesti
memilih bertani, memelihara ikan, ternak, dan menulis lepas untuk koran-koran.
Bukankah pekerjaan itu tidak mapan dibanding pekerjaannya yang ditinggalkan? Ah,
tapi jawaban itu tidak usah dimintanya. Dia tahu dan merasakan pikiran dan
keinginan Tian. Meski di jaman ini, keinginan seperti itu rasanya kurang masuk
akal.
Sepuluh tahun Bu Marla bertahan tidak bicara kepada
Tian, Mimin dan Tantan. Dia tidak pernah bereaksi kalau hari besar tiba dan
Tian mencium tangannya, Mimin memijit kakinya, atau melihat Tantan yang
takut-takut mendekatinya. Bujukan suami dan anak-anak lainnya untuk menegur
Tian, tidak pernah digubrisnya. Mereka tidak tahu bagaimana sakit hatinya
ditentang anak yang paling disayanginya, diabaikan pendapatnya, dan tidak
dimengerti pendapatnya.
Meski diam-diam Bu Marla membanggakan Tian, merindukan
cerita-ceritanya, dan membuatkan makanan kesukaannya, sampeu wedang, setiap Lebaran tiba. Diam-diam Bu Marla merindukan
memeluk dan mengelus kepala Mimin. Tidak tahan dia melihat ketabahan
menantunya. Diam-diam Bu Marla merindukan memangku dan bermain dengan cucunya
yang selama ini didiamkannya.
Ada kesepian yang mendalam selesai Idul Fitri kali
ini. Dan malamnya, Bu Marla tidak bisa tidur. Suaminya yang telah pulas
ditepuk-tepuk pipinya, “Pah, besok kita ke rumah Tian. Mama ingin bakar jagung
dan melihat alam desa.” ***
Cerpen Ini Didukung Oleh :
Ingin tahu lebih banyak tentang Bait Surau? Klik saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "SEPULUH TAHUN LALU"
Posting Komentar