DELMAN
Sampai malam
ketika saya duduk di kursi balkon loteng, saya tidak mengerti apa yang
dikatakan Mang Dhipa. Tapi waktu saya masuk, menutup pintu balkon, terus ke
kamar mau meneruskan menulis dongeng yang belum selesai, baru saya mengerti
maksud Mang Dhipa.
Sayup-sayup
suara delman. Ketoplak telapak kaki kuda, suara kuda, huss... huss... kusir, dan
kling-klong kling-klongnya semakin jelas. Bulu kuduk berdiri. Bukan delman
biasa. Ini kan kampung di kaki gunung yang jalannya naik turun, mana ada delman
di kampung seperti ini?
“Kling-klong
kling-klong... husss... husss... hhiiieeemmm...!” Semakin jelas semakin
mencekam. Suara jengkrik, cihcir, gaang, caricangkas, entah ke mana. Binatang
juga sepertinya tahu siapa yang datang. Laptop yang sudah menyala kumatikan lagi. Akhirnya
saya sembunyi di bawah selimut sambil memasang telinga.
“Kling-klong
kling-klong... husss... husss... hhiiieeemmm...!” Sepertinya di depan rumah
delman itu melambat. Semakin berdegup ini jantung. Semakin bercucuk ini kulit. Kemudian
delman itu melaju kencang lagi. “Kling-klong... kling-klong... husss...
husss... hhiiieeemmm...!” Seperti yang berkeliling kampung.
Sebenarnya saya
ingin mengintip, benar tidak suara itu delman? Tapi lutut tidak bisa diajak
kompromi. Harus diakui saya ini penakut. Menyesal belum sempat belajar doa
pengusir setan. Padahal ustadz Wahyu sering mengingatkan. “Setan gentayangan
itu ada di mana-mana, Kang,” katanya.
Ya, delman itu
bisa jadi utusan dari kerajaan setan. Kata dongeng, delman seperti itu pertanda
ada orang yang akan dijemput. Orang yang bersekutu dengan setan tentunya. Orang
itu mendapat kekayaan yang melimpah, tapi setelah waktu yang dijanjikan jiwa orang
itu dibawa ke kerajaan setan. Di sana, di kerajaan setan, katanya orang seperti
itu dijadikan pesuruh, batako untuk bangunan, atau kesed yang selalu diinjak.
Kalau betul seperti itu, menjemput siapa delman itu?
Hanya berselang
beberapa menit, delman yang berkeliling kampung itu terdengar lagi. Berhenti di
depan rumah. Hanya setarikan napas, rumah bergoyang, seperti ada gempa. Lampu
gantung berayun-ayun. Suara ketukan pintu.
“Tok...tok... tok...!”
Jangankan
membuka pintu, mengintip dari celah selimut juga tidak saya lakukan. Hati ini
inginnya meloncat melalui pintu jendela, kabur ke rumah Mang Dhipa. Suara pintu
dibuka. Rekkeeettt...! Saya semakin menciut di dalam selimut. Belum pernah saya
berjanji dengan setan. Berkomunikasi, bertatap muka saja belum pernah. Kenapa
datang ke sini? Rekkeeettt...! Pintu kamar juga ada yang membuka. Selimut saya
pegang semakin kuat. Mandi keringat.
“Bwaangnguunnn...
euy! Juangan sembunyi guoblok...! Ngaaiingng tarik selimutnya baru nyahoo...!”
Suara yang
kecil, tenge, cempreng. Setan apa
suaranya seperti itu? Tidak mencekam, menakutkan. Selimut saya buka sedikit,
intip. Deg...! Bukan terkejut takut. Tapi ingin tertawa. Si setan itu memakai
mahkota di kepalanya, tangan kanan memegang tombak, tangan kiri memegang
tameng. Tapi badannya hanya sebesar gelas, tombak sebesar lidi, tameng sebesar
daun sirsak. Selimut saya lemparkan. Guoblok, rugi saya sudah takut dari tadi!
“Marrii...
ngikut dengan ngngaaiingng...! Kamu sudah spakat perjanjian dengan boss ngngaaiingng...!
Kamu bakal dijadikeun keset di karajaan ngngaaiingng...! Di tubuhmu bakal
ditulisi: Well Come. Heuk..heuk..heuk...!”
“Sayanya juga
tidak takut sekarang mah, euy!” kata
saya sambil duduk di kasur. “Kamu tuh setan bangsa apa?”
“Ngngaaiingng
bangsa yutul.”
“Tuyul mungkin.”
“Yutul goblok! Tuyul
mah kakak tiri ngngaaiingng.”
Ingin tertawa
mendengarnya. Tapi karena
bahasanya yang kasar, saya ikut marah juga. “Sakali lagi bicara kasar, saya
tendang kamu!” kata saya sambil berdiri, memperagakan Boas Salosa mau menendang
penalti.
“Hey... hey...
hey...! Kawan-kawan kararumpul... Ini manusia melawan...!” Si setan bangsa tuyul,
eh yutul, itu malah bernyanyi, meniru pasukan buta dalam wayang golek yang
dimainkan Ki Dalang Asép Sunandar Sunarya. “Marriii...! Kita kepung wakul buaya mangap...!”
Seperti
bendungan yang dibuka pintu airnya, ribuan bangsa yutul, mungkin juga sampai
jutaan, masuk ke kamar. Semuanya mengepung saya dan menyerang.
Lima menit
kemudian saya sudah ada di dalam delman. Tangan dan kaki saya diikat. Pasukan tentara
bangsa yutul yang berjumlah jutaan itu berbaris di belakang delman. Gerimis
masih menyiramkan tiris, dingin.
Delman maju di jalan datar, karena ternyata jalannya di udara.
“Kling-klong...
kling-klong... husss... husss... hhiiieeemmm...!”
@@
Perlu saya ceritakan sedikit, takut pembaca salah mengerti, lalu gosipnya menyebar ke mana-mana, bahwa saya pengikut setan yutul. Begini ceritanya: saya ini seorang pendongeng. Setiap hari mengunjungi kota-kota, desa-desa, daerah-daerah terpencil. Menurut pengalaman saya, sekarang ini orang-orang sangat membutuhkan dongéng. Agar hidup tidak tersesat. Di setiap tempat saya selalu dikelilingi banyak orang. Tidak hanya anak-anak. Para remaja, dewasa, kakek-nenek, buruh tani, buruh pabrik, pejabat pemerintahan, guru, pedagang, profesional, semuanya mendengarkan dongeng saya. Cerita-cerita klasik, cerita rakyat, cerita dalam bentuk yang lebih kekinian; novel, cerpen, puisi, pernah saya dongengkan. Habis semuanya. Akhirnya saya berkesimpulan; saya harus mengarang dongeng sendiri.
“Kalau butuh
tempat untuk mengarang dongeng, pakai saja rumah saya,” kata seorang sahabat
waktu tahu saya mau mengarang dongeng. Tidak akan saya sebutkan nama sahabat
itu. Takut menjadi aib. Dia adalah seorang pejabat di pemerintahan, aktivis di
banyak organisasi, pengurus partai besar, pemilik saham di banyak perusahaan.
Tidak akan saya
ceritakan pengalaman di kerajaan bangsa yutul. Tidak penting di cerpen ini.
Jelasnya, pasukan penjemput bangsa yutul itu salah sasaran. Ciri-ciri yang
diberikan Raja Yutul memang sudah benar. Jemput orang yang mempunyai rumah
bertingkat dua di sebuah kampung, di depannya ada pohon hieum. Tapi Raja Yutul itu tahu saya orang yang salah.
Waktu saya
dikembalikan lagi ke rumah, malam sudah menjelang subuh. Waktu itu juga saya
menghubungi sahabat pemilik rumah ini. Dia terkejut. Katanya semalaman dia
tidak bisa tidur. Padahal pil tidur sudah sejak sore ditelan. Gelisah. Seperti ada yang
mengejar-ngejar.
“Ke sini
sekarang, ada yang ingin saya ceritakan, penting,” kata saya.
Pukul tujuh pagi
sahabat saya itu datang dengan sedan SUV yang harganya miliaran rupiah. Saya ceritakan semua
pengalaman semalam. Dia termenung.
“Nah, saran
saya, tebang pohon itu, biar utusan penjemput dari bangsa yutul itu tersesat,” kata
saya. “Setelah itu kita ke ustadz Wahyu, kita belajar caranya bertobat, kita
bertobat bersama. Dosa saya juga perasaan sudah menggunung.”
Sahabat saya itu
masih termenung.
“Kalau pohon itu ditebang, kiamat buat saya. Kekayaan dari setan itu akan
dibawanya lagi,” katanya mengeluh. “Rumah-rumah bisa terbakar tiba-tiba. Pacar,
selir, istri simpanan, semuanya pergi. Mobil mewah, kebun, kolam, perusahaan,
surat-surat berharga, semua disita oleh KPK.”
“KPK Komisi
Pemberantasan Korupsi? Apa hubungannya? Apa setan bangsa yutul itu dengan KPK sekongkol?”
“Bukan begitu.
Setelah saya melakukan perjanjian dengan setan bangsa yutul itu, saya langsung
diangkat jadi kepala bidang di instansi tempat saya bekerja. Kekayaan mulai
mengalir tidak terbendung. Proyek ini proyek itu dipercayakan kepada saya.
Jabatan terus naik. Perusahaan-perusahaan tersembunyi saya dirikan, menampung
proyek-proyek pemerintah. Partai-partai berusaha menarik simpati saya. Setelah
perusahaan di mana-mana, partai dikuasai, populer, jabatan tinggi, ingin apa-ingin
apa tinggal negosiasi dengan yang setingkat.”
Saya
mengangguk-angguk tapi tidak mengerti.
“Kalau pohon itu
ditebang, hilang semua kekayaan. Saya
sendiri, bisa jadi dipenjara, ditangkap KPK.”
“Tapi lebih baik
dipenjara di sini, di alam manusia, apalagi kemudian tobat, terus tobat. Kalau
pohon itu tidak ditebang, akhirnya kamu akan terlacak juga. Kamu jadi batako
pengganjal tembok, atau kesed yang diinjak setiap waktu. Iiyy...!”
Dia termenung.
Sampai kemudian pulang, dia tidak bicara sepatah kata pun. Saya juga lalu
beres-beres, mau meneruskan perjalanan ke tempat-tempat yang belum dikunjungi.
Suatu pagi di
sebuah kampung di pinggir hutan, ada sebuah delman
lewat. “Kling-klong... kling-klong... husss... husss... hhiiieeemmm...!” Panumpangnya...
ternyata sahabat saya, melamun, menatap ke
kejauhan.
Sejak itu saya
tidak pernah bersapa dengan sahabat itu. Meski dalam sebuah acara Mendongeng
Nasional dia yang membuka acara dan saya pengisi acara. Ya, karena sekarang dia
bukan sahabat saya lagi. Dia sekarang semakin sibuk di tv-tv, di koran-koran,
di radio-radio, di internét. Tapi jiwa dia kan sudah dijemput ke kerajaan setan
bangsa yutul itu, jadi keset
atau batako pengganjal tembok. @@@
Kepung wakul buaya mangap (peribahasa Sunda) = mengepung dengan banyak orang dan bersenjata lengkap
Ngaing
(dari aing) = saya, aku
CERPEN DELMAN
Susah dimengerti dan dinikmati alur ceritanya, wkwkw
BalasHapushihi....
Hapus