DONGENG BUNGA MAWAR


Tribun Jabar, 12 Oktober 2014
Ingin membaca cerpen ini dalam bahasa Sunda? 

Setiap subuh, ketika hari masih gelap, saya selalu menantimu, Ujang. Saya selalu terkesan melihatmu turun dari rumah panggung dengan mata setengah terpejam. Senyummu merekah seperti mawar di depan rumah. Dan engkau berlari menghampiri bunga mawar yang mekar itu. Hidung dan bibirmu bergerak-gerak, seperti kelinci, matamu terpejam, ketika mendekatkan wajah ke kelopak mawar yang terbuka.
“Hmmm... ha...uummm,” katamu.
Abah yang melihatmu tersenyum.
“Bunga mawar tidak harum. Kalau mau yang harum, sedap malam dan melati. Tuh yang di pojok sana,” kata Abah.
Kamu cemberut. “Haauumm... war haum...,” katamu protes.
Abah tersenyum. “Boleh..., kalau kamu maunya mawar boleh saja, mawar juga ada harumnya,” kata Abah. Kamu tersenyum. Lalu mengikuti Abah menyusuri jalan setapak menuju pancuran. Air bening menyegarkan wajahmu sebelum masuk ke tajug.
Subuh yang membahagiakan.
**
Setiap hari saya selalu mengucapkan alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Berkali-kali, berulang-ulang. Karena bahagia melihatmu begitu beruntung, Ujang. Nasibmu begitu baik. Nasib baikmu adalah Abah. Tidak ada yang bisa sangat mengerti kamu kecuali Abah. Abah yang bisa memekarkan mawar di senyummu. Abah yang bisa menyalakan api semangat di dadamu. Abah yang bisa mengharumkan cinta di hatimu. Sehingga kamu begitu bening seperti air pancuran dari mata air itu. Sehingga kamu begitu indah seperti mawar yang selalu mekar di halaman itu. Sehingga kamu begitu rindang seperti pepohonan di hutan itu.
Kamu sudah semestinya mengucapkan terima kasih, Ujang. Ah, tapi kamu punya cara tersendiri untuk itu. Seperti ketika suatu hari kamu memetik setangkai mawar yang baru mekar dan menyimpannya di vas bunga yang kamu buat dari bambu aur. Vas itu kamu hias dengan gambar indah, kamu beri air biar bunga bertahan lama. Bunga itu kamu berikan kepada Abah. Tentu saja Abah tertegun. Lama Abah melihatmu, seperti yang tidak percaya.
“Ini untuk Abah?”
Kamu mengangguk. “Ha...um, Bah, haum....”
Abah meniru apa yang sering kamu lakukan, menempelkan kelopak mawar ke hidungnya, menghirup harumnya. Abah memelukmu lama. Abah sangat bahagia. Kamu tahu kenapa? Karena setangkai mawar yang kamu berikan melebihi segala-galanya. Bunga-bunga yang tumbuh di pekarangan rumah adalah mata pencaharian Abah. Sedap malam, aster, melati, lili, lidah mertua, selalu ada bandar yang membeli. Tapi tidak bunga mawar. Meski ditawar dengan harga berapapun bunga mawar tidak dijual. Karena rumpun mawar di depan rumah itu milik kamu, Ujang. Kamu yang menyiram dan memeliharanya bila musim kemarau tiba. Kamu tidak pernah rela bila bunga mawar ada yang memetik. Kamu lebih suka membiarkan bunga mawar mekar menghiasi pohonnya sampai satu per satu kelopaknya berguguran. Abah pasti masih ingat ketika kamu menangis berhari-hari karena ada setangkai mawar yang dipetik orang, mungkin oleh bandar yang iseng karena selalu gagal membeli bunga mawar itu. Abah tahu arti bunga mawar buatmu. Karenanya Abah merasakan perasaanmu ketika bunga mawar mewakilinya.
Itu namanya cinta, Ujang. Cinta! Kamu pasti sudah mengenalnya. Sangat mengenalnya. Karena perlahan engkau mengerti ketika Abah memenuhi halaman belakang rumahnya dengan berbagai bibit tumbuhan. Dan bila musim hujan tiba, biasanya seminggu sekali, Abah berkeliling kampung, menyusuri pinggiran sungai, mendaki lereng gunung, untuk menanam bibit pepohonan. Karena engkau selalu mengikuti ke mana pun Abah pergi. Kamu ikut menyemai bibit pepohonan itu, menanamnya di tempat-tempat yang gersang, membersihkan tanah di sekelilingnya.
Itu semua adalah cinta, Ujang. Tidak ada orang yang rela melakukan itu tanpa dibayar, kecuali ada cinta yang menyala, cinta yang berdebur, cinta yang bergelora, di dalam dadanya. Cinta yang begitu berbahagia ketika melihat pepohonan itu tumbuh tinggi, rindang, subur. Cinta yang begitu berbahagia ketika membayangkan orang-orang berteduh di bawah naungan pepohonan, menikmati buahnya, burung-burung mencari makan dan membuat sarang, dan setiap makhluk menghirup oksigennya.
“Kalau sudah besar, Ujang ingin seperti apa?” tanya Abah suatu hari.
“... hon... mangng... ga,” jawabmu sambil menunjuk pohon mangga.
“Kenapa?”
“... ngnggi... ma... nis... nndang.”
“Ya, pohon mangga memang tinggi, buahnya manis, dan rindang.”
Abah mengusap-usap rambutmu sambil tertawa. Waktu itu kalian sedang beristirahat di bawah pohon mahoni yang besar. Sejak pagi kalian menyusuri pinggir sungai yang gersang, menanam bibit pohon. Bibit mangga, rambutan, jeruk, sukun, lamtoro, jambu, dipikul Abah. Kamu pun membawa sebagian bibit pohon dengan pikulan kecil. Abah khusus membuatkannya untukmu. Lucu melihatmu begitu bersemangat membawa pikulan kecil. Berjalan tanpa beban saja kamu kesusahan, seperti yang terantuk batu, seperti jalan tidak rata, tangan selalu diangkat ke atas, leher condong ke depan. Sekarang dengan beban pikulan. Ah, sungguh indah melihatnya. Kamu tahu kenapa, Ujang? Karena ada bibit lain yang sedang tumbuh, bibit yang nantinya akan kuat, rindang, berbunga indah, berbuah manis, bibit cinta yang ada di dalam hatimu.
Bibit cinta itu yang membuat Abah kuat dikatakan orang-orang sebagai pamohalan. Setiap musim hujan Abah selalu menanam bibit-bibit pohon yang disemainya. Mungkin sudah ratusan, atau ribuan pohon yang sudah ditanamnya. Tapi musim hujan berikutnya hanya satu atau dua pohon saja yang bertahan. Sisanya ada yang kekeringan. Kebanyakan ada yang mencabut atau merusak. Abah kecewa. Pasti kecewa. Tapi tidak membuat Abah berhenti menanam pohonnya.
Kamu juga tentunya belajar untuk kuat menghadapi semua kesusahan. Seperti ketika melewati perkampungan setiap orang memandang kalian.
“Orang gila... orang gila...!” kata seorang anak.
“Bukan gila itu namanya!” timpal yang lain.
“Lalu apa? Berjalannya kan begitu.”
“Ideot kalau yang begitu.”
“Oh, jadi itu orang ideot?
“Ya.”
“Orang ideot...! Orang ideot...!”
Kamu membalas teriakan anak-anak itu dengan tersenyum. Abah selalu menuntunmu karena berjalanmu jadi tidak karuan. Abah selalu mengingatkanmu untuk tidak memperdulikan anak-anak itu. Lalu kamu pun membetulkan caping kecilmu, menatap ke depan, tersenyum. Saya pikir kamu sedang membayangkan menjadi Pendekar Naga seperti dalam dongeng Abah. Pendekar Naga yang tidak sengaja selalu berhadapan dengan para penjahat. Pendekar Naga yang selalu menolak untuk berkelahi. Pendekar Naga yang mengalahkan para penjahat dengan kebaikannya. Pendekar Naga yang selalu menolong orang-orang meski orang-orang itu tidak pernah menyadarinya.
Abah mungkin tidak pernah bercerita bahwa dia pernah menjadi Pendekar Naga. Suatu malam ketika kamu belum ada, ada seorang perempuan berlari-lari, begitu gembira ketika melihat gubuk Abah. Waktu itu hujan lebat. Perempuan itu menubruk pintu gubuk. Abah terkejut. Apalagi ketika membawa perempuan itu ke dalam, ternyata dia sedang hamil besar. Perempuan itu meraung kesakitan. Darah mengalir di kakinya.
Abah kemudian berlari menembus hujan, memanggil dukun beranak. Menjelang subuh lahir seorang anak. Tapi ibunya tidak tertolong karena pendarahan hebat. Perempuan itu, ibu dari anak itu, kemudian dikubur di depan gubuk. Di atasnya tidak dikasih batu nisan, tapi ditanami bunga mawar. Karena begitulah pesan si perempuan itu. Perempuan malang yang berusaha keras melindungi bayinya, melindungi cintanya. Karena pemerkosanya tidak menghendaki dia punya anak. Pemerkosanya adalah seorang koruptor yang tidak mau namanya tercemar. Malam itu perempuan itu melarikan diri dari para centeng yang dibayar.
Bayi yang lahir itu kamu, Ujang. Dan perempuan itu, perempuan yang merelakan tubuhnya menjadi pupuk, perempuan yang selalu melihatmu dari bunga mawar yang mekar, adalah saya, ibumu. ***


  
Keterangan:

Pancuran = saluran air dari bambu
Tajug = surau kecil

Pamohalan = tidak mungkin terjadi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DONGENG BUNGA MAWAR"

Posting Komentar