Puisi Suara Karya: BERAMAI-RAMAI MENYETOP BIS KOTA
Harian Suara Karya, tanggalnya tidak tercatat.
dunia
siapa yang kita stop dan naiki
orang-orang
bernapas dengan bau keringat
dan
desak-desakan. kita pun hadir di sana
menjadi
pengamen jalanan, penjaja makanan ringan,
atau
menjadi penodong, pencopet, dompet,
atau
menjadi korban pemerkosaan hak dan kebebasan.
setiap
kita adalah warga bis kota
setiap
kita ramai-ramai menyetop bis kota
sehingga
tak ada yang tak pernah jadi warga bis kota.
itulah
kesakitan kita, saudara-saudara
kita
tidak bisa tidak menyetop bis kota,
sementara
limousin yang kita impikan,
kita
tuliskan dalam lembar-lembar puisi,
berjalan
tanpa penumpang.
di
setiap stopan kita terpesona dengan ulat
yang
berubah jadi kupu-kupu, terbang menuju
bunga-bunga
yang cantik. tapi begitu bis kota kita melaju,
impian
ulat dan kupu-kupu buyar oleh bau keringat
dan
pertanyaan yang bergaung di telinga:
memperkosa
atau diperkosa?
kita
pun melanjutkan perjalanan
di
dunia mahacerita, dunia keriuhan bis kota.
Januari
1993
BELAJAR
SEJARAH
sebaiknya
kita tak punya sejarah. sejarah
telah
kurang ajar memisahkan kita dan memaksa
untuk
menyingkirkan sesama kita. kita
tidak
lagi seperti kata hati kita.
kita
diperkosa tidak jadi A karena rahim kita B
kita
dipaksa tidak jadi B karena rahim kita C
lalu
apa jadinya perjalanan
kalau
sejarah telah menentukan rute kita?
kita
juga yang menentukan dan menysun sejarah
tapi
sejarah bukan mulut kita.
mulut
kita bicara bahwa kita tidak dibedakan
oleh
apapun. kita lahir dari kemurnian cinta.
sejarah
bukan milik kita. sejarah kepunyaan keserakahan.
menangislah
selama kita punya sejarah.
karena
sejarah membuat kita sibuk
mencatat
dan menentukan nasib sesama kita
“sebaiknya
kita tak punya sejarah.”
begitu
kalimat yang kita susun dalam buku sejarah kita.
Mei
1993
NYANYIAN
TANAH KELAHIRAN
dari
sini setiap manusia bermula, seperti
kacang
yang baru tumbuh dan jadi kecambah.
tapi
manusia bukan tempe atau tahu atau kecap
yang
diolah oleh tangan lain dan diperuntukkan bagi mulut lain.
manusia
adalah kacang yang jadi tempe karena mau jadi tempe,
jadi
tahu karena mau jadi tahu, jadi kecap karena mau jadi kecap.
maka
jangan tentukan nilai tempe atau tahu atau kecap
dari
penggorengannya atau mulut yang memakannya.
dari
sini setiap manusia menentukan langkahnya
seperti
pusat bumi tempat kejujuran dan kebenaran bermula.
manusia
melangkah gagah bagai hero dalam film
yang
membela kebenaran dan tak mati-mati.
tapi
bumi bukan layar lebar yang ditonton dengan ego
kebenaran.
bumi adalah tempat manusia
menggambar
hitam dan putihnya.
maka
jangan tentukan nilai manusia
dari
rahim tempatnya bermula atau jalan yang dilaluinya!
April 1993
0 Response to "Puisi Suara Karya: BERAMAI-RAMAI MENYETOP BIS KOTA"
Posting Komentar