BISMAYUDA
Radar Surabaya, 19 Juli 2016
Mau baca cerpen ini dalam versi bahasa Sunda? Klik saja DI SINI
Waktu terlihat Wara Srikandi maju ke tengah padang Kurusétra,
Resi Bisma tersenyum. Matanya dipejamkan beberapa saat. Meski begitu, Srikandi
yang berdiri di kereta perang terasa gagah dan beraninya. Rambutnya berkibaran
dipermainkan angin yang juga membawa bau darah, jerit prajurit, suara senjata,
ngeri peperangan; ke tempat-tempat yang jauh.
“Waktu yang ditunggu,” bisik Resi Bisma.
Perang Baratayuda Jayabinangun semakin ngeri. Bima
mengamuk, gada Rujakpolo menebarkan belasan prajurit Astina sekali membanting. Dursasana
dan adik-adiknya membuat kocar-kacir prajurit Amarta. Gelar perang Garuda Mlayang
yang dipimpin senapati Drestajumena melawan gelar perang Capit Urang yang
dipimpin senapati Resi Bisma, semakin campuh.
“Tapi perang ini tidak terasa apa-apa. Juga
hari-hari kemarin waktu senapati perang prajurit Amarta adalah Resi Seta yang
gagah perkasa,” gumam Resi Bisma. “Karena ada perang yang lebih dahsyat, yaitu
perang yang suah berlangsung bertahun-tahun, di dalam diri.”
Resi Bisma terkenang lagi ibu-bapaknya, Prabu
Sentanu dan Ibu Durgandhini. Oh, ke masa sebelum itu, saat Prabu Sentanu
mengumbar asmara dengan Dewi Gangga.
“Saya menerima lamaranmu, dengan satu syarat,” kata
Dewi Gangga. “Setiap bayi yang lahir dari perkawinan kita harus dihanyutkan di
sungai Gangga.”
Karena begitu cintanya kepada Dewi Gangga, Prabu
Sentanu menyanggupinya. Lahirlah bayi pertama, kedua, sampai bayi kedelapan.
Semuanya dihanyutkan di sungai Gangga. Tapi begitu lahir bayi kesembilan, Prabu
Sentanu tidak bisa menahan cinta terhadap anaknya yang dinamai Dewabrata itu.
Dewi Gangga pun pulang ke Kahyangan.
“Oh, Rama Prabu, betapa bahagianya menjadi engkau
yang bisa mengumbar rasa cinta,” gumam Resi
Bisma. “Sementara anakmu ini....”
Resi Bisma ingat lagi dengan Prabu Sentanu yang
mencari wanita yang sanggup menyusui Dewabrata. Akhirnya ketemu Durgandhini di
sungai Yamuna.
“Saya menerima lamaranmu, dengan syarat saya harus
jadi permaisuri,” kata Durgandhini.
Prabu Sentanu terpaksa setuju. Lalu lahirlah Citranggada
dan Wicitrawirya. Ketika Prabu Sentanu undur keprabon mandeg pandita,
Citranggada yang menggantikannya. Dewabrata harus mengalah. Waktu itulah
peperangan di dalam dirinya dimulai. Dia merasa lebih berhak untuk berkuasa di
Astina. Tapi demi janji ayahnya, demi ambisi ibunya, dia rela mengalah. Malah
ketika ada ketakutan keturunan mereka nantinya berselisih rebutan mahkota,
Dewabrata bersumpah. Itulah sumpah Brahmacahya, sumpah dahsyat yang
menggegerkan jagat raya. Diapun mendapat nama baru, Bisma.
Sumpah untuk tidak menikah itu terasa gelegarnya
saat pulang mengikuti sayembara di kerajaan Kasi. Amba, Ambika da Ambalika,
ketiga puteri cantik itu diboyongnya. Ambika dan Ambalika dipersembahkan untuk
kedua adiknya. Sementara Amba punya nasib tersendiri. Nasib yang bersama Bisma kemudian
saling jatuh cinta.
Waktu itu Bisma merasakan bagaimana beratnya
memegang teguh sumpah Brahmacahya. Hampir saja dia menyerah. Ya, Amba memang
puteri yang kecantikannya lengkap. Matanya yang berbinar menyenangkan untuk
ditatap. Suaranya yang merdu membuat hati siapapun jatuh cinta. Tapi bukan itu
yang membuat Bisma hampir menyerah. Bisma tidak kuat melihat Amba yang
bercucuran airmata menangisi nasibnya. Karena nasib sendu Amba, Bisma sendiri
yang membawanya.
“Kekasih, harus bagaimana lagi hamba membuktikan
rasa cinta ini,” bisik Amba sambil mnangis di hadapan Bisma. “Tapi meski
penolakan bagaimanapun yang engkau lakukan, hamba tetap teguh hati. Rasa cinta
ini, Kekasih, hanya untukmu.”
“Maafkan Amba. Sekali lagi maafkan. Seandainya tidak
bersumpah....”
“Kekasih, kemanapun engkau pergi, hamba akan
mengikutinya.”
Sikap itu yang membuat Bisma bingung. Perang dahsyat
terjadi di dalam dirinya. Rasa kasihan kepada Amba, rasa cinta di dalam
dirinya, selalu berhadapan dengan keteguhannya bersumpah Brahmacahya.
Sekali waktu, karena tidak ingin diikuti terus, Bisma
menakut-nakuti Amba dengan menodongkan panahnya. Bisma bergetar hatinya,
bergetar tangannya. Jari-jemari tangannya yang dialiri keringat membuat anak
panah itu melesat tanpa terasa. Amba tahu-tahu terjatuh dengan berlumuran
darah. Bisma menjerit sambil memburu Amba. Didekapnya Amba sambil menangis yang
tidak tertahan.
“Amba... Amba....”
Waktu itu, hanya waktu itu, Bisma merasakan jatuh
cinta yang sangat, jatuh cinta yang menghancurkan segala perasaannya.
Waktu terlihat Wara Srikandi maju ke tengah padang
Kurusétra, Resi Bisma tersenyum. Ya, bukan Srikandi cucunya yang terlihat oleh
Bisma. Tapi Amba yang menjemputnya. Waktu panah Pasopati dilepaskan Srikandi,
suara dahsyatnya menggetarkan hati siapapun, lalu menembus dada Bisma, Baratayuda
Jayabinangun berhenti untuk menghormatinya. Arjuna meloncat dari kereta
perangnya. Puntadewa dan Werkudara memburunya. Duryudana, Dursasana dan
adik-adiknya yang lain berlarian.
Perang sudah selesai dalam diri Bisma. **
23 Februari 2016
0 Response to "BISMAYUDA"
Posting Komentar