POHON TUMBUH TiDAK TERGESA-GESA
Cerpen ini pernah dimuat HU Suara Pembaruan 16 Pebruari 1997, kemudian menjadi judul kumpulan cerpen yang diterbitkan Asy-Syaamil, 2003
“Lihatlah matanya,” kata
seseorang ketika saya turun dari gunung untuk belanja ke kota. Maka saya
memperhatikan mata lelaki yang mencangkung di trotoar sambil menatap bulan itu.
Saya mendapatkan berbagai metamorfosa terjadi di sana: Seorang anak menyilet lidah
kucing, membiarkannya tercekik dan sekarat, lalu menghantam dan menggerus
kepalanya.2* Seorang perempuan kecil dididik bapaknya, pamannya, suaminya, para
lelaki lain, untuk menjadi pelacur. (“Oleh karena dunia penuh dusta, ia harus
membayar harganya dengan kematian,” kata Nawal. “Tapi dari keadaan seperti ini
perlawanan dimulai,” kata saya).3*
Saya pernah
melihat dan merasakan kekhawatiran seperti itu. Metamorfosa seperti itu pernah
hadir di pikiran dan hati saya. Tapi saya lupa kapan dan di mana itu terjadi
“Kamu pasti melihatnya di mata orang-orang,” kata seseorang.
“Ya, barangkali,” jawab saya.
“Kamu pasti melihatnya di cermin.”
“Ya, barangkali.”
Di mata orang itu saya melihat kejadian lain: para pelajar berangkat
sekolah dengan membawa clurit dan belati, mereka berkelahi dan saling membunuh,
para perampok menggasak harta benda dan memperkosa, suara bisik-bisik dari
balik meja (saya tahu itu korupsi), demonstrasi di jalan-jalan, semua orang
berteriak, antrian panjang tidak terlihat ujungnya. (“Saya ingin jadi
polisi atau tentara atau pejabat agar bisa berkuasa,” kata mereka.)
Saya cepat pergi. Saya ingin ketenangan. Tapi seseorang mencegat saya.
“Mau ke mana?” tanyanya.
“Saya mau pulang. Saya ingin ketenangan.”
“Pulang ke mana?”
“Ke gunung.”
“Saya baru pulang dari sana. Gerah sekali hidup di sana.”
Saya tidak percaya.
**
Sekali waktu saya melihat ‘instalasi tumbuh’ Tisna Sanjaya.4* Di sana
berulang-ulang saya mendengar seseorang, berkumis, berbicara: “Tanamlah pohon
apapun sebagai rasa syukur atas kelahiran anak-anak kita (atau rasa syukur atas
apapun – yus), supaya negeri ini ditumbuhi sikap menghargai proses hidup,
belajar dari pohon yang setiap pagi kita sirami, supaya setiap pagi kita
belajar dari falsafah pohon, tidak tumbuh tergesa-gesa.”
Saya pulang ke kampung tempat saya dilahirkan. Saya melihat kebun yang
sewaktu saya kecil, setiap pagi dan sore, kakek selalu mengajak saya
mendatanginya, menyiram pohon kecil atau sekedar mengontrol. Saya duduk di
bawah pohon durian. Pohon yang dulu setiap sore saya siram ini akarnya kokoh,
batangnya keras, daunnya rindang, kalau lagi musim berbuah kakek selalu
mengirim saya buahnya yang manis.
Dulu saya pernah ingin hidup seperti elang (saya terpesona begitu
bebasnya elang melayang) yang hampir setiap sore mendatangi kebun kakek. Tapi
sekarang saya ingin seperti pohon yang tidak tumbuh tergesa-gesa tapi jadi
kokoh dan kuat. Dulu saya sering memperhatikan bagaimana pohon tumbuh:
bagaimana pucuk membesar, akar memanjang, batang menguat. Tapi saya tidak
pernah tahu kapan itu terjadi. Pohon tidak pernah sombong memperlihatkan
kekuatannya.
Di kampung inilah saya ingin menghabiskan hidup, saat ini. Saya ingin
ketenangan. Saya menata kembali pohon-pohon yang tumbuh di kebun kakek. Saya
menanam pohon mahoni, melinjo, rambutan, mangga, dan menyiraminya setiap pagi
dan sore. Hampir setiap sore, sehabis menyiram dan membersihkan pohon, saya
duduk-duduk di bawah durian. Saya melihat (menikmati) pemandangan pedesaan:
kehijauan pegunungan, kebun-kebun, hamparan sawah, sungai yang berkelok. Saya
menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.
Suatu hari, ketika panen tiba, saya melihat orang-orang memetik padi
dengan tergesa-gesa: para perempuaan tidak lagi memakai ani-ani tapi
menggunakan sabit membabat padi, mengirik tidak lagi dengan kaki tapi memakai
mesin, menumbuk padi yang biasanya dipakai kesempatan oleh mojang dan jajaka saling mengikat janji diganti mesin
giling yang cukup menyuruh ojek untuk mengantarkannya, para lelaki mengangkut
padi berlari-lari.
Saya ingat bagaimana proses itu terjadi. Suatu kali, ketika saya dan
anak-anak lainnya sedang berenang di sungai, seorang teman berlari dan berkata:
“Wa Uke membeli televisi. Mang Warja memasang antenanya dengan sebatang bambu.
Mari kita nonton.” Sejak itu hampir setiap sore anak-anak melihat film kartun.
Bila ada tayangan bagus (seperti wayang golek) para tetangga ikut nonton sambil
tidak lupa membuat makanan khusus. Sejak itu hidup tidak lagi makan dan minum.
Tapi hidup juga berarti tape recorder, kompor gas, kosmetik, baju mode terbaru,
shampo, tamasya ke kota dan pulang membawa donat atau apel New Zealand atau
Kentucky Fried Chicken, televisi berwarna, parabola, motor, mobil, dan
teman-teman mereka lainnya.
Malamnya, ketika diputar layar tancap, saya melihat para mojang tersipu malu melihat adegan seks di
film nasional, para jajaka mengantar mereka sambil menggoda
berani, sebagian remaja membeli minuman keras dan mabuk di pinggir-pinggir
jalan. Di mata mereka saya melihat ... Ah, sudahlah, saya tidak mau lagi
memperhatikan hal seperti itu. Saya hanya ingin menikmati kesegaran udara kebun
dan pemandangan pedesaan. Saya tidak perduli dengan berbagai metamorfosa yang
terjadi di mata orang-orang.
**
“Karena kita menghargai proses,” kata saya ketika ada seseorang yang
datang dan bertanya kenapa saya setiap pagi dan sore menyiram pohon.
“Ya, kita memang harus menghargai proses, tapi proses terjadi di
mana-mana,” kata orang itu, lalu pergi begitu saja tanpa pamitan. Keramhan desa
pun sudah mengalami proses, pikir saya.
Pucuk mahoni dan melinjo yang saya tanam dan sirami setiap pagi dan sore
sedikit membesar, akarnya sedikit memanjang, batangnya sedikit mengeras. Entah
sudah berapa lama saya memperhatikan semua itu. Entah seminggu, sebulan,
setahun, berabad-abad, atau baru beberapa detik saja terjadi di kepala saya.
Saya tidak hapal lagi. Hal yang sama ketika saya memperhatikan awan berarak di
atas gunung. Awan itu sedikit menghitam dan semakian menghitam, sedikit
menggumpal dan semakin menggumpal, sedikit mendekat dan semakin mendekat. Lalu
pohon-pohon yang saya tanam dan sirami setiap pagi dan sore itu ditelannya.
Daun-daun pohon saya sedikit melayu dan semakin melayu, sedikit mengering dan
semakin mengering, sedikit berguguran dan semakin berguguran. Lalu udara
sedikit sesak dan semakin meyesakkan, sedikit berbau dan semakin berbau.
Saya terkejut. Saya lari kesana kemari dan berteriak: “Pohon saya, pohon
saya semuanya kering! Udara saya, udara saya semakin bertuba!” Orang-orang
tidak memperhatikan. Saya tidak tahu, apakah kejadian ini baru terjadi,
sudah seminggu, sebulan, setahun, berabad-abad, atau sebenarnya bayangan yang
akan terjadi.
“Kenapa mesti terkejut, karena semuanya juga mengalami proses,” kata
kakek ketika saya mengadu. “Kita sendiri yang harus mengarahkan proses itu.”
Saya pun semedi di bawah pohon-pohon yang mengering, di bawah mega-mega
yang menyengat. Saya ingat, saya pernah ingin menjadi elang. Saya terpesona
dengan kebebasannya melayang. Tiba-tiba – atau mungkin sudah lama terjadi, saya
tidak tahu – seekor elang entah dari masa lalu atau masa mana, datang dan mengajak
saya melayang. Saya pun terbang. Saya menyusuri mega-mega hitam yang menjadikan
pohon-pohon saya mengering. Saya memakai masker yang saya ambil entah dari
mana. Saya turun di sebuah kota.
“Lihatlah matanya,” kata seseorang. Saya pun memperhatikan mata lelaki
yang duduk mencangkung di trotoar sambil menatap bulan itu. Saya mendapatkan
berbagai metamorfosa di sana. Dari metamorfosa itu keluar asap yang semakin
menggumpal dan menghitam. Inilah sumber mega-mega hitam yang merusak
pohon-pohon itu, pikir saya.
“Ya, inilah sumbernya. Kita harus mengatasi proses ini,” kata seseorang
yang sudah berada di belakang saya.
“Pohon-pohon anda pun mengering dan berguguran?”
“Ya.”
“Yang saya juga,” kata yang lain. Di belakang saya sudah berdiri
orang-orang.
“Bagaimana kalau kita congkel saja matanya dengan belati,” usul
seseorang.
“Jangan, itu tidak sesuai Hak Azasi Manusia. Kita harus melawan proses
itu dengan proses kita.”
Kami pun menanami kota dengan bibit-bibit pohon. Menyiramnya setiap pagi
dan sore. Jantung kota harus diperbesar biar udaranya segar dan mega-mega hitam
itu terserap. Bangunan-bangunan tanpa IMB (ijin membuat bangunan) kami
runtuhkan dan kami tanami pohon-pohon. Pabrik-pabrik yang belum bisa mengolah
limbah kami hancurkan dan kami semai bibit-bibit pohon. Entah sudah berapa lama
kami lakukan pekerjaan itu. Mungkin berbulan-bulan, bertahun-tahun,
berabad-abad atau baru saja terjadi.
Tapi mega-mega hitam pembawa kehancuran pohon-pohon kami tidak pernah
habis. Tiba-tiba – atau mungkin telah terjadi sepanjang kami ingat atau malah
sepanjang kami hidup – kami melihat orang-orang bermata bermetamorfosa
mengerikan itu semakin banyak. Kami tidak lagi tahu siapa saja yang bermata
bermetamorfosa itu. Mungkin juga mata kami.
Mata-mata bermetamorfosa itu ada di mana-mana. Di koran, televisi, layar
tancap, barang-barang yang kami beli, anak-anak, orang tua, remaja, laki-laki,
perempuan, baju-baju, kulkas, jalan-jalan, udara, angin, tanah.
**
Suatu senja saya membaca koran sambil minum secangkir kopi. Anak-anak
tetangga nonton film televisi. Saya merasa ada banyak pohon yang tumbuh di hati
saya. Saya tidak tahu siapa saja yang menyiram dan memupuknya. Mungkin orang
lain atau saya sendiri atau yang lainnya. Saya pun tidak tahu sejak kapan
pohon-pohon itu tumbuh. Mungkin baru saja, atau sudah berbulan-bulan,
bertahun-tahun, berabad-abad, atau hanya sepanjang hidup saya, atau lebih lama
atau lebih sebentar dari itu. Saya pun tidak tahu pohon-pohon apa saja itu.
Mungkin pohon ketidakperdulian. Atau pohon kecapean. Atau pohon pengakuan
sebagai manusia saya penuh dengan kekotoran. Atau pohon kesakithatian. Atau
pohon luka yang selalu membawa rasa perih sepanjang hidup saya. Atau pohon
dendam. Atau pohon yang tidak ada artinya. Atau bukan pohon apa-apa. ***
Rancakalong, 5 Juni 1996
Keterangan:
1 + 4 = Tisna Sanjaya menggelar
instalasi tumbuh, dari tanggal 4 Mei sampai 30 Juni 1996, di Bandung,
Solo, Surabaya. Dalam instalasi itu, Tisna mengajak kita agar belajar dari
filsafat pohon, tidak tumbuh tergesa-gesa. Melihat instalasi itu, sadar atau
tidak, saya tidak bisa berhenti berpikir tentang metamorfosa ‘tumbuh’ itu, juga
ketika cerpen ini tiba-tiba ditulis.
2 = Dalam cerpen Perempuan Sumi,
Khazanah 21 Mei 1996, Joni Ariadinata melukiskan bagaimana metamorfosa itu
terjadi: Umur empat tahun – entah mungkin juga kurang, pertama kali Ibu
mengajariku menyilet lidah kucing; membiarkannya tercekik dan sekarat: “Ambil
batu, Buyung.” “Buat apa?” “Hantam dan gerus kepalanya!” Delapan ekor, mungkin
lebih, mati.
3 Dalam novel Perempuan Di Titik Nol,
Nawal el-Saadawi menggambarkan bagaimana Firdaus si anak desa berproses menjadi
pelacur kelas atas. Dalam pemahaman Firdaus, kepura-puraan dunia dan
ketidaktahuan Firdaus untuk membunuhnya (seperti ia membunuh germo), menjadikan
kepura-puraan itu ingin membunuh Firdaus. Tapi Firdaus merasa menang atas
keduanya, kehidupan dan kematian. Firdaus tidak lagi berhasrat untuk hidup,
juga tidak lagi merasa takut mati.
Mengirik = Melepaskan butir padi dari tanagkainya dengan kaki
Mojang = Gadis perawan
Jajaka = Remaja laki-laki
0 Response to "POHON TUMBUH TiDAK TERGESA-GESA"
Posting Komentar