SENYUMAN ABADI


Kompas, 21 Nopember 1999

Orang itu selalu tersenyum setiap berpapasan dengan siapa saja. Kami, para warga kota yang saling mengenal ini, selalu terkesiap melihat senyumnya. Berbagai kegiatan yang sedang kami lakukan terhenti seketika. Dan setelah orang itu berlalu, kami saling bertanya, apakah ada di antara kami yang mengenal dia. Kami menggeleng. Jangankan mengenalnya, mengingat wajahnya saja tidak ada di antara kami yang tahu persis. Karena setiap orang itu lewat, senyumnya telah mencuri perhatian kami, hingga hal lainnya luput dari perhatian.
Senyumnya itu memang seperti membius. Banyak sentuhan yang kami dapatkan, meski satu sama lain berbeda memahaminya. Ada yang kemudian menangis begitu mengingat senyum itu. Katanya, senyum orang itu seperti luka yang dideritanya, luka yang sampai saat ini tidak bisa dihindarinya. “Begitu menyedihkan diingatkan kembali tentang hal itu. Hidup ini memang perjalanan kesedihan,” kata orang yang menangis itu.
Ada lagi yang melihat senyum itu seperti menonton film yang cerita, gambar-gambar dan soundtrack-nya begitu menggetarkan. Berhari-hari orang itu termenung. Melihat dan merasakan hembusan angin kecil saja dia bisa begitu peka dan menarik napas panjang. Setiap pengemis anak-anak yang ditemuinya diusap-usap kepalanya. Pekerjaannya terbengkalai. “Sebenarnya saya memang tidak menyukai pekerjan ini. Saya terpaksa mengerjakannya karena didesak oleh keadaan dan kebutuhan,” katanya.
Dan beragam pengakuan lainnya dipunyai setiap orang setelah melihat senyum itu. Memang penglihatan kami berbeda. Tetapi kami sama-sama merasa takjub dan terpesona. Itulah barangkali suasana yang sebenarnya kami harapkan sepanjang hidup kami. Seperti bulan yang selalu indah di langit. Padahal, bulan begitu indah karena tidak terjangkau. Seandainya bulan bisa kami bawa dan dibuat hiasan di kamar, barangkali kami tidak akan terpesona lagi.
“Bila orang itu lewat lagi ke sini, saya akan memotretnya beberapa rol,” kata seoranag fotografer. “Koran-koran tentu akan membelinya mahal. Karena potret senyum seperti itu tentunya akan mendongkrak penjualan yang berlipat-lipat. Atau dibuat kalender dan poster juga akan laku keras. Atau ditawarkan kepada Depparpostel, mungkin akan dibuat perangko atau kartu pos.”
“Saya setuju kalau dibikin kartu pos,” kata yang lain. “Tak terbayangkan kalau saya mengirimi kenalan-kenalan dengan kartu pos bergambar senyum yang indah itu. Mereka akan takjub dan terus mengingat saya.”
“Bila orang itu lewat lagi ke sini, saya akan mengikutinya. Saya ingin tahu sebenarnya dia tinggal di mana dan apa saja yang dilakukannya. Tentu orang seperti dia punya dinamika hidup yang indah. Saya akan buat skenarionya untuk sinetron. Pasti para penonton selalu menunggu tayangan ini.”
“Bila orang itu ...”
Begitulah kami bercakap bila kerinduan kepada senyum indah itu semakin terasa. Kami berangan-angan, angan-angan yang tidak pernah terlaksana. Karena sepengalaman kami, bila orang yang selalu tersenyum itu lewat lagi, semua angan-angan itu tidak pernah terjangkau. Si fotografer yang berhari-hari sudah menyiapkan kameranya, saat melihat orang yang selalu tersenyum itu, tidak bisa berbuat apa-apa. Kamera yang tinggal dipijit itu digenggamnya, tanpa dipergunakan seperti angan-angannya. Dan orang yang ingin mengikuti serta membuat kisah hidup orang yang selalu tersenyum indah itu, cuma bisa bengong sampai orang itu menghilang di belokan.
Semuanya ribut setelah sadar orang yang selalu tersenyum indah itu sudah menghilang. Ada yang kemudian mengejar ke belokan, tetapi orang itu tidak pernah diketahui jejaknya sekalipun. Si fotografer mengepalkan tinjunya dan memukulkannya ke dinding tembok saking menyesalnya. Dia berjanji bila orang yang selalu tersenyum itu lewat lagi, dia akan konsentrasi dan tidak akan kehilangan lagi kesempatannya. Tetapi dalam pertemuan berikutnya, semua angan-angan itu hancur kembali. Sampai kami merasa lelah sendiri berangan dan menyesali diri sendiri.
**
Kami tak pernah tahu orang yang selalu tersenyum indah itu dari mana datangnya dan ke mana tujuannya. Dia akan lewat begitu saja dan menebarkan senyum yang menakjubkan itu tanpa kami menduganya. Awalnya kami menduga bahwa dia adalah salah seorang dari para urbanis atau para pendatang yang sedang mempunyai  keperluan di sini. Tetapi seandainya orang yang selalu tersenyum itu salah seorang di antara mereka, tentu beberapa hari saja kami sudah tahu data-datanya. Kalau tidak di Pak RT, daftar namanya akan ada di sebuah penginapan atau hotel. Tetapi sepanjang kami mengecek, identifikasi orang yang selalu tersenyum itu tidak pernah kami dapatkan.
Meski begitu, kami mencatat peristiwa-peristiwa saat melihat senyum itu. Setiap memikirkannya kembali saat kami bersimpuh di sejadah yang kami rajut dari sunyi malam, kami merasa senyum orang itu adalah dunia yang hilang entah sejak kapan. Dunia yang tiba-tiba menjadi dongeng, menjadi kemustahilan yang hanya ada di negeri awan.
Setiap melihat senyum itu, kami merasakan sakit yang begitu nikmat dan nikmat yang begitu sakit. Betapa selama ini banyak perilaku kami yang sebenarnya tidak kami inginkan dan banyak keinginan yang tidak kami lakukan. Selama ini kami begitu takut oleh ketakutan-ketakutan yang sebetulnya tidak mesti ditakuti. Kami merasa mendapatkan kemenangan dengan memaksakan kehendak meski di hati kami sebenarnya ada kekalahan. Begitulah, kami hidup dengan kekalahan-kekalahan yang dimenangkan dan kemenangan-kemenangan yang dikalahkan.
Kemudian orang yang selalu tersenyum itu datang. Kehidupan kami kacau. Kami ragu-ragu untuk berbuat. Kami banyak diingatkan akan keinginan yang tidak dilakukan dan perilaku yang tidak diinginkan. Setiap melihat senyum itu, kami merasa seperti melihat cahaya yang begitu memabukkan, cahaya yang sepanjang hidup  kami rindukan, cahaya yang selalu memanggil-manggil untuk menikmati keabadiannya. Dan kami mengikutinya, tidak perduli topan dan badai tiba-tiba membanting dan memporak-porandakan tubuh ini. Kami selalu terbanting ke tempat-tempat yang justru begitu jauh dari cahaya yang dirindukan itu. Kami berpikir, barangkali topan dan badai yang membanting adalah sahabat-sahabat sejati, sahabat yang menjadikan kesakitan sebagai kenikmatan yang tiada taranya. Karenanya kami mengerti kalau ada di antara kami yang menangis dan selalu terharu melihat senyum orang itu.
“Adakah yang begitu indah dalam hidup ini?”
“Ada. Keinginan-keinginan yang tidak terjangkau begitu indah.”
“Adakah yang begitu asing dan kosong dalam hidup ini? Yang begitu senyap saat kita mengingatnya?”
“Ada. Keinginan-keinginan yang dilupakan dalam hidup ini begitu asing, kosong dan senyap saat kita mengingatnya.”
Begitulah biasanya kami bercakap. Sampai diam-diam kesibukan menjalani kehidupan membuaat kami lupa akan hal-hal itu. Sampai kerinduan kami kepada senyum itu lambat laun hilang. Sampai orang yang selalu tersenyum itu lenyap di depan kami dan membuat kami tersentak.
**
Karena setiap orang yang selalu tersenyum itu lewat kami terpesona dan pekerjan kami terbengkalai, para penentu kebijakan kota menurunkan tim peneliti dinamika kerja. Mereka menanyai kami, memotret jalan-jalan yang pernah dilewati orang yang selalu tersenyum itu, membuat hipotesa dan kesimpulan sementara. Dari hasil penelitian itu, tim peneliti menganjurkan kami agar tidak menghiraukan orang yang selalu tersenyum itu. Tetapi begitu orang itu lewat, kami ternyata tidak bisa tidak menghiraukannya. Tim peneleti sendiri tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat senyum itu. Mereka terpesona seperti kami. Jadi, meski mereka pernah melihat senyum orang itu, mereka tidak dapat data-data tambahan selain yang pernah kami berikan.
“Hidup ini memang penuh keajaiban dan keanehan,” kata ketua tim peneliti di depan kami. Mereka terlihat tidak sesemangat awal bekerja. Di antara mereka malah ada yang menangis begitu mendalam.
Berhari-hari setelah merasa terbebas dari pengaruh senyum itu, ketua tim peneliti dipanggil atasannya.
“Memang ada yang aneh dari senyum orang itu, Pak,” lapor ketua itu. “Ada semacam racun, atau mungkin candu, yang membuat kami terpesona.”
“Lalu penyelesaiannya bagaimana?”
“Kami telah mempersiapkan tim yang lebih lengkap. Para ilmuwan terkemuka telah kami undang dan mereka bersedia membantu.”
“Masalah ini memang harus segera selesai. Saya ingin pada pelaksanaan perdagangan bebas nanti, dinamika industri kita tidak lagi terganggu.”
Ketua tim peneliti pamitan. Berhari-hari dia bekerja keras meneliti dan membuat penawar pengaruh senyum itu. Para ilmuwan yang dikerahkan menemukan kacamata dengan lensa penawar senyum. Dengan memakai kacamata itu, katanya, pengaruh senyum orang itu akan teratasi. Kacamata itu dinamakan “kacamata homo homini lupus”.
Satu tim stabilitas keadaan berhari-hari mengelilingi kota kami. Mereka menunggu di setiap tempat. Mereka dilengkapi dengan senjata dan “kacamata homo homini lupus”. Diam-diam kami berdoa agar orang yaang selalu tersenyum itu tidak lewat. Kami memang merindukannya. Tetapi kami tidak tega melihat orang itu dihajar tim stabilitas keadaan. Setiap waktu kami selalu waswas. Orang yang selalu tersenyum itu memang bisa datang kapan saja tanpa terlebih dahulu memperlihatkan tanda-tandanya. Dia bisa datang saat matahari menyengat, saat hujan turun dan kami berteduh, saat kami akan berangkat atau pulang kerja, atau saat kami sibuk dengan pekerjaan.
Saat yang ditakuti itu pun tiba. Orang itu datang dengan senyum yang khas. Senyum yang kami rindukan. Senyum yang diam-diam kami harap menjadi abadi dalam hati kami. Saat kami terpaku melihat senyum yang mempesona, tim stabilitas keadaan mencegat orang itu. Dan tanpa tanya-tanya, mereka mengerubuti orang itu. Orang yang selalu tersenyum itu tidak melawan, mengaduh, atau meringis. Senyumnya tetap tersungging dan membuat kami bergetar. Tidak dihiraukannya kepalan tangan yang menghunjam keningnya, pisau yang menusuk perutnya, peluru yang berdesingan menghantam punggungnya. Sampai orang itu rubuh dan baju putihnya menjadi sangat merah  karena darah, senyum itu tidak lepas dari bibirnya.
Kami menarik napas panjang dan berharap senyum itu abadi. Tetapi, tim stabilitas keadaan yang semakin kalap setelah memukul, menusuk dan menembak itu, tidak membiarkannya. Senyum yang mengembang tanpa dosa itu ditembak dengan bazoka. Suara senjata berat itu menggelegar. Kami yang sejak awal tidak bisa berbuat apa-apa, tersentak. Kami begitu sedih saat mengetahui senyum yang menggetarkan itu hilang karena orang itu sudah tidak berkepala. Kami menangis. Dari air mata kami itulah ribuan, bahkan jutaan, senyum yang menggetarkan terbang seperti kupu-kupu di udara. Tim stabilitas keadaan membabi-buta  menembaki senyum-senyum itu. Tetapi senyum yang menggetarkan itu semakin banyak, memenuhi langit, memanggil-manggil kami. ***

                                                                                      Bandung, 20 April 1998

                                                                          

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SENYUMAN ABADI"

Posting Komentar