Keluarga Hitam
Suatu malam, satu keluarga donatur
yang terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anak, datang ke panti asuhan.
Selain menyumbang makanan, pakaian dan sejumlah uang, mereka pun membawa
seorang pendongeng untuk menghibur. Di depan anak-anak yatim piatu yang
meyambutnya antusias, pendongeng itu berkisah.
**
Hari masih pagi
ketika Si bangun. Sinar matahari hangat menerobos lewat kaca jendela yang
gordennya terbuka sejak semalam. Lagu menghentak dari Green Day membuat kamar
luas bercat pink itu meriah. Si merentangkan tangannya dan menguap. Komputer
yang lupa dimatikan masih memperlihatkan Britney Spears dengan baju minim. Si
tidak perduli. Itu sudah biasa. Tapi begitu jam dinding yang menunjukkan hampir
pukul tujuh terlihat sekilas, Si melompat dari kasurnya dan segera menyambar
handuk. Sekolah sebentar lagi masuk.
Di meja makan,
sudah berkumpul ayah, ibu dan tiga orang kakaknya.
“Cepat sarapan,
nanti telat!” kata So sedikit membentak.
Si mengambil roti
dan segera memasukkannya ke mulut. Dua lembar roti lainnya dimasukkannya ke
misting kecil. Segelas jus berwarna kuning diminumnya sampai tandas.
Kakak-kakaknya, So, Su dan Sa, berdiri, pamitan dan mencium tangan ayah dan
ibu. Mereka tahu bila si bungsu Si makan roti tergesa artinya dia akan
menghabiskan sisanya di dalam mobil.
Di dalam mobil
yang dikemudikan Mang Diman, So, Su dan Sa, bernyanyi mengikuti Westlife. Si
memperhatikan orang-orang yang berjajar di pinggir jalan. Tidak hanya para
pegawai, anak-anak berseragam sekolah pun masih ada. Tentunya mereka bangun
kesiangan seperti dirinya, pikir Si. Tentunya mereka pun habis surfing semalaman menjelajah dunia aneh
di situs-situs. Tentunya mereka pun tahu ada wanita-wanita telanjang, ada
kebakaran hutan, ada pembantaian gajah, badak, harimau, dan manusia. Tentunya
mereka pun ingin berteriak tapi tidak tahu caranya.
Tapi pagi itu, di
dalam mobil yang membawanya ke sekolah, Si benar-benar berteriak.
Kakak-kakaknya berhenti bernyanyi. Mang Diman menghentikan mobilnya.
“Ada apa?” bentak
So.
“Ini!” Si
menjulurkan tangannya. Roti yang sudah dimakannya sebagian, yang dibukanya
sambil melamun, tidak hanya dilapisi selai, tapi juga ada bangkai cecak.
“Memangnya
kenapa?” bentak Sa.
“Kenapa?”
“Ini mekanan enak
dan istimewa, bodoh! Tidak setiap orang mendapatkannya!” Su merebut roti dari
tangan Si dan memakannya.
Huakkh! Si muntah
melihatnya.
“Memangnya yang
kamu makan setiap hari apa? Kalau tidak selai cecak, yang rasanya sedikit asin
itu selai kucing, yang rasanya sedikit asam itu selai tikus. Minuman berwarna
kuning itu campuran airmata kera yang dibunuh perlahan-lahan dan susu kambing
yang diperas sampai mati, yang berwarna merah itu darah harimau Sumatera yang
hampir punah.”
Huakkh! Huakkh!
**
Si ternyata tidak
hanya muntah-muntah di dalam mobil. Di halaman sekolah, di dalam kelas, di
rumah, dia muntah-muntah setiap ingat apa yang telah dimakannya. Wajahnya pucat
kekurangan cairan.
“Bawa saja ke
dokter. Rawat beberapa hari sampai sehat betul,” kata ayah. Mang Diman segera
dipanggil. So, Su dan Sa tertawa-tawa melihat adiknya digendong Mang Diman. Ibu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalian jangan
sok! Dulu juga seperti itu.” Ibu mencibir.
“Ini juga
pelajaran, menerima sesuatu yang baru, yang tidak lajim, yang awalnya kita anggap
menjijikkan, memang tidak gampang. Setelah terbiasa, kalian kan teringat terus bagaimana rasanya
susu kucing yang anaknya dibunuh, airmata anjing yang tubuhnya disayat-sayat,
lalu steak dagingnya, bakar harimau hidup-hidup. Itu baru kelas menengah, karena
ada makanan lainnya yang kalian belum tahu.”
“Apa lagi, Yah?”
tanya So, Su dan Sa serempak.
“Ada makanan yang
membuat tubuh kita seperti tiwikrama
menjadi raksasa, seperti Batara Kresna. Padahal itu baru kita membayangkannya
dan menghirup baunya. Setelah tiwikrama,
tentu kita bisa menikmati makanan itu sempurna.”
“Makanan seperti
apa, Yah? Panggang jerapah Afrika yang dibaluri darah gajah? Atau hati singa
gurun yang dimakan sambil mengisap candu?”
“Itu makanan
kelas remaja. Nanti saja sekalian kalian mencicipinya.”
So, Su dan Sa
bersorak.
Malamnya, di
taman belakang rumah yang luasnya hektaran, ayah, ibu, So, Su dan Sa berkumpul.
Ayah mengajak semuanya untuk berkonsentrasi membayangkan sesuatu, sesuatu yang
dinikmati sepenuh hati, tanpa perasaan-perasaan mengganggu lainnya. Tiba-tiba
tubuh ayah dan ibu membesar menyaingi gedung-gedung dan gunung-gunung. So, Su
dan Sa juga membesar, tapi tidak seraksasa ayah dan ibu. Mereka sejajar,
setinggu gunung kecil. Mereka memang
beru kali ini belajar tiwikrama.
“Nah, sekarang
kita nikmati makanan istimewa ini!” Suara ayah menggelegar. Lalu dicomotnya sebuah gunung dan
mengunyahnya. Suara pohon-pohon patah seperti kerupuk dimakan anak kecil. Ibu
memilih gedung bertingkat puluhan untuk dikunyah. So, Su dan Sa terbengong-bengong.Tapi
begitu mereka merenggut rumah bangunan tipe 21, mereka tahu bagaimana
nikmatinya tembok keras, genting yang rangu
dan sesuatu yang pecah basah sedikit berbau amis.
“Yang pecah basah
seperti mata ayam kalau kita makan di pinggir jalan itu, mungkin manusia atau
binatang yang tercomot,” kata ayah.
So tertawa sambil
menggenggam sebuah kereta api.
“Kenapa tertawa?”
tanya Su dan Sa berbarengan.
“Lihat!” So
menunjuk sambil mengunyah lokomotif. Di bawah, orang-orang berlarian tidak
tentu arah. Mereka bersembunyi di rumah-rumah, pohon-pohon, kardus atau apa
saja yang sekiranya bisa menyembunyikan perasaan takutnya.
“Lihat! Bagaimana
takutnya mereka ketika melihat tangan kita,” kata So, sesekali tangannya
merubuhkan bangunan sehingga orang-orang berlarian. Su dan Sa mencobanya dan
mereka pun tertawa-tawa.
“Yang lebih
menyenangkan seperti ini,” kata ayah. Geretan besar dinyalakannya, ayah
membakar gedung-gedung dan hutan-hutan. Orang-orang berlarian tidak berarah.
Ayah, ibu, So, Su dan Sa tertawa-tawa. Sesekali So, Su atau Sa membunuh
seseorang dengan tangannya atau kayu, seperti orang membunuh semut. Teman-teman
orang terbunuh itu mencari tahu pelakunya dan mereka berkelahi dengan
tersangka. Mereka saling membantai di hutan-hutan, kota, desa, pasar, di mana-mana.
“Sekarang tinggal
santapan penutupnya. Tinggalkan saja mereka,” kata ibu. Ibu dan ayah
membalikkan kursi. So, Su dan Sa mengikutinya. Mereka duduk-duduk sambil
melihat wilayah lain. Ibu dan ayah merentangkan sebuah slang ke lautan lepas.
Bergiliran mereka menyedot laut.
“Kenapa wilayah
itu tidak kita makan atau bakar, Yah,” kata So.
“Ini wilayah
miskin. Lihatlah, mereka siang malam bekerja. Mengerjakan apa saja. Bertani,
berdagang, beternak, mengambil ikan. Tanah mereka pun subur, tanaman apapun tumbuh
bagus, lautnya banyak ikan. Tapi mereka tetap miskin, tidak bisa mengelola
kekayaannya, selalu bertengkar. Ini adalah bagian kesukaan ibu.”
“Rasakanlah
dengan sepenuh hati, bagaimana nikmatnya menyedot laut sambil memandang
kemiskinan,” kata ibu. So, Su dan Sa mendengarkan secara seksama. Lalu mereka
mencoba menyedot laut merem-melek
sambil melihat orang-orang bekerja keras siang malam, tanpa istirahat yang
cukup, tapi mereka selalu miskin, selalu diintip pencurian, penodongan,
perampasan, dan kejahatan lainnya.
“Dulu kita masih
bisa bermain untuk wilayah itu. Tapi sekarang tidak lagi. Dulu, setiap wilayah
itu maju menuju sejahtera, ibu dan ayah mengganggu tanaman mereka, memberi
kesempatan orang-orang tertentu untuk mencuri, mengambil untung sendiri,
berkelahi satu sama lain. Sekarang lingkaran kemiskinan, kebodohan dan
ketamakan sudah hampir sempurna. Sistem kehidupan mereka sudah penuh dengan
sogok-menyogok, curi-mencuri, jegal-menjegal. Kita tinggal menikmatinya.
Mendengarkan sayup-sayup suara tangis menyedihkan, erangan kesakitan, jeritan
frustrasi, teriakan kebingungan. Ini suara-suara yang indah, tidak seperti
Westlife, Destiny’s Child, The Corrs, Dewa 19, Jamrud, Iwan Fals, atau penyanyi
kacangan lainnya. Ini bagian yang memerlukan penghayatan tinggi untuk
menikmatinya.” Ibu menerangkan panjang lebar. So menyedot lagi sambil merem-melek. Air laut, perahu,
ikan-ikan, karang, mengalir ke dalam perut So yang semakin besar. Tapi dia
tidak merasa kenyang. Su dan Sa tidak sabar menunggu giliran.
**
Seminggu kemudian
Si dijemput dari rumah sakit. Wajah anak kelas satu SMP itu cerah. Dia
tersenyum-senyum. Di rumah, ibu telah menyediakan makanan istimewa menyambut
Si. Seminggu berikutnya, saat bersantai di taman belakang rumah malam-malam,
setelah meraka tiwikrama, Si meminta
semuanya tenang, dia akan membacakan puisi.
“Ini sebenarnya
tugas sekolah. Sebelum dikumpulkan, saya akan membacakannya. Semoga kalian bisa
menikmatinya.
Sembilan bahan pokok harganya melambung
Tapi ibu tidak khawatir. Karena kita bisa makan
gunung
makan gedung makan tanah makan sungai makan sawah.
Ayah tertawa, karena sejak dulu ayah biasa minum
laut
menghirup semen mengunyah karet sarapan padang
berlapis aspal.
Coba bayangkan, bagaimana nikmatnya menyedot laut
sambil memandang keindahan kemiskinan, kata ibu
merem-melek
Saya pun belajar makan cecak makan tikus makan
kucing
memasak hutan mengunyah gedung menyemur sawah
Saya muntah-muntah. Saya dibawa ke dokter
yang selalu penuh pasien itu.
Tidak apa-apa, nanti juga biasa, kata dokter. Ayah
tersenyum.
Sekian.”
Ayah, ibu, So, Su
dan Sa bersorak.
**
“Di negeri
dongeng mana cerita menyeramkan itu terjadi, Paman?” tanya seorang anak.
“Ini bukan cerita
dongeng. Ini kisah nyata. Dan sekarang, kesukaan mereka adalah menghirup darah
langsung dari leher sambil menikmati erangan korbannya. Makanya mereka hampir setiap malam gentayangan, seperti
vampir.”
Anak-anak yatim
piatu itu bergidik. Tapi kemudian mereka berteriak melengking begitu melihat
mata keluarga donatur yang terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anak itu
mengeluarkan sinar garang. Anak-anak yatim piatu itu berlarian tak berarah.
Melihat ketakutan mereka, dari mulut keluarga donatur itu tumbuh taring.
**
Sumedang, 4 April
2001
Catatan:
Tiwikrama = Berubah menjadi raksasa. Dalam cerita
wayang, Batara Kresna dan
Arjuna Sosrobahu bisa
melakukan ini.
Dicomot = Diambil dengan kelima jari tangan
Rangu = Berbunyi nyaring saat dimakan,
seperti kerupuk (Sunda)
Merem-melek =
Menutup membuka mata untuk menikmati sesuatu.
0 Response to "Keluarga Hitam"
Posting Komentar