Bulan di Taman
Sehabis bertengkar dengan istrinya, lelaki itu selalu datang ke
taman di pinggir kota. Dia duduk di bangku kayu yang dipayungi kembang kertas.
Matanya memandang bunga-bunga yang tumbuh tak beraturan. Sebagian mawar berbunga.
Juga aster, melati, kacapiring, anggrek, dan bunga-bunga rumput yang tidak
sengaja ditanam.
Bulan yang bercahaya penuh memberikan pesona tersendiri terhadap
tanaman-tanaman yang tumbuh di taman itu. Bunga-bunga dan daun-daun yang tampak
jelas dan yang jadi siluet, membentuk pemandangan tersendiri. Pemandangan yang
membawa lelaki itu kepada masa lalunya, kepada kenangannya.
Di taman itu, lelaki itu memandang segalanya menjadi indah.
Bunga-bunga, daun-daun dan bulan serta lampu merkuri di ujung sana adalah
panorama yang tiada celanya. Pikirnya, tempat terindah bagi setiap manusia
adalah di mana pikiran dan perasaannya tersangkut. Banyak orang yang sengaja
pulang ke kampung halamannya, ke tempat mereka dibesarkan, setelah
pengembaraannya yang panjang, karena di sana mereka mempunyai masa lalu,
mempunyai kenangan, mempunyai keindahan.
Maka lelaki itu selalu datang ke taman di pinggir kota setelah ia
bertengkar dengan istrinya. Di taman itu kenangannya memanjang. Tapi bukan masa
lalu dengan istrinya yang baru saja menjadi lawan pertengkarannya. Setiap
datang ke taman itu, dia selalu teringat kekasih pertamanya. Di taman pinggir
kota itu mereka biasanya ngobrol setelah jalan-jalan atau nonton film, atau
melihat pameran lukisan atau menyaksikan pertunjukan teater.
“Apa sebenarnya yang selalu dikejar oleh manusia dalam hidupnya?”
Kekasihnya pernah bertanya begitu setelah mereka pulang menyaksikan pertunjukan
teater di gedung kesenian yang tidak refresentatif itu.
“Keindahan,” jawab lelaki itu. Matanya tidak lepas dari bulan yang
bersinar penuh.
“Seperti bulan?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Seperti memandang wajahmu.”
Kekasihnya yang berambut panjang itu, yang sedang memandang bulan,
tersipu. Berhari-hari ia menunggu kata-kata seperti itu. Mata mereka beradu dan
bercerita tentang bermacam-macam keindahan yang tidak mungkin tertuliskan dalam
jilid-jilid novel. Di malam berbulan penuh itu, lelaki itu membacakan puisi
yang telah lama dibuatnya.
Sampai larut malam mereka bercakap-cakap. Tentang apa saja. Tak
bosan-bosan. Karena, apa pun itu, bila dirasuki dengan perasaan dan pikiran
yang indah, akan menjadi indah. Apalagi tentang bunga-bunga yang sejak dulu
telah dinyatakan sebagai lambang keindahan. Lelaki itu memetik setangkai mawar
dan menyelipkannya di rambut kekasihnya.
Malam penuh keindahan itu sebenarnya hanya titik puncak saja dari
perjalanan yang tidak pernah direncanakannya. Lelaki itu mengenal kekasihnya di
perpustakaan ketika ia mengembalikan buku trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya
Ahmad Tohari.
“Buku ini telah ditunggu berhari-hari,” kata penjaga perpustakaan
itu.
Dan sang penunggu ada di sebelah lelaki itu. Seorang gadis berambut
panjang, bermata bulat, dan berkulit bersih, tersenyum ketika lelaki itu
memandangnya. Mereka berkenalan. Setiap bertemu di perpustakaan yang mereka
kunjungi secara teratur, pembicaraan seperti tak akan ada habisnya. Mulai
tentang novel-novel yang telah mereka baca, sampai masalah-masalah sastra, juga
sosial-politik yang mencuat di media massa, mereka bicarakan.
Sampai malam itu, ketika bulan bercahaya penuh, lelaki itu
membacakan puisi yang telah lama dibuatnya di hadapan perempuan berambut
panjang dan bermata bulat itu.
“Segalanya mengalir begitu saja, tanpa kita mampu merencanakannya,”
kata lelaki itu. “Juga tentang perasaan-perasaanku yang membuat segalanya
menjadi indah, asal bersamamu.”
Perempuan berambut panjang dan bermata bulat yang kemudian menjadi
kekasih lelaki itu, menunduk malu. Tapi kemudian ia memandang bulan, menatap
bunga-bunga, pohon-pohon, merasakan angin yang menyisir kulit wajahnya,
menangkap segalanya yang ada di sekelilingnya menjadi indah dan menyenangkan.
Berhari-hari kemudian, pembicaraan mereka mulai mengarah kepada
cita-cita, harapan-harapan, keinginan-keinginan.
“Apakah yang akan kita wujudkan dengan menikah juga adalah
keindahan?” tanya perempuan berambut panjang itu suatu waktu.
“Ya.”
“Seperti bulan?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Seperti memandang wajahmu. Seperti melihatmu menimang anak kita
kelak.”
**
Sebulan kemudian lelaki itu datang sendirian ke taman di pinggir
kota itu. Dia duduk di bangku kayu yang dipayungi kembang kertas. Matanya
menerawang memandang bunga-bunga, pohon-pohon, bulan, bintang. Pikirannya
menerobos menembus ruang dan waktu. Lelaki itu menganggap benda-benda itu
adalah teman-temannya, kekasih-kekasihnya, kenangannya yang indah dan
menyedihkan.
Lelaki itu mengingat kembali ketika tiga minggu yang lalu teman
kuliah kekasihnya datang kepadanya, memberitahukan bahwa kekasihnya yang
berambut panjang itu hilang dalam ekspedisi penelitian di suatu gunung di
Kalimantan. Koran-koran kemudian menulis, kekasihnya raib ditelah kelebatan
rimba Kalimantan. Tim SAR yang melakukan pencarian tidak menemukan petunjuk
apa-apa tentang kekasihnya. Apalagi tubuhnya yang masih hidup. Lelaki itu
sering membayangkan keajaiban terjadi, kekasihnya ditemukan masih segar bugar.
Tapi kejadian seperti itu tidak kunjung tiba.
Seminggu kemudian, di bangku kayu yang dipayungi kembang kertas, di
taman pinggir kota, lelaki itu memahami bahwa kekasihnya yang hilang pun adalah
keajaiban. Sesuatu yang misterius. Juga kisah cintanya tiba-tiba jadi begitu
menakjubkan, begitu ajaib, begitu misterius. Ah cinta, pikirnya, adalah
keajaiban yang tidak bisa dimengerti, keindahan yang menyedihkan, kesedihan
yang indah.
Lelaki itu menjalani hidupnya seperti air, mengalir begitu saja, apa
adanya. Dia tidak mengejar apa-apa yang disangkanya keindahan. Karena ia yakin,
keindahan ada di dalam hatinya. Sebagai mahasiswa, ia hanya belajar, belajar
sebagai ibadah. Setelah diwisuda, ia bekerja, bekerja sebagai ibadah. Dengan
begitu, ia merasa bisa menangkap sesuatu yang indah. Dia yakin, segala
sesuatunya akan mengalir begitu saja, tanpa ia mampu merencanakannya.
Juga ketika pertama kalinya ia tersenyum kepada perempuan teman
sekerjanya yang kemudian menjadi istrinya, di dalam bus yang membawanya pulang
ke tempat kost, ia tidak berpikir macam-macam. Percakapan mereka adalah
percakapan biasa. Percakapan basa-basi sebagai orang yang baru dikenalkan oleh
keadaan. Juga ketika hari-hari berikutnya mereka selalu pulang bersama dalam
bus yang sama, lelaki itu tidak mempunyai pretensi apa-apa. Dia mencoba
mempertahankan hidupnya yang seperti air, mengalir begitu saja.
Ketika perasaannya menjadi
lain saat ia pulang bersama perempuan itu, atau mengantar perempuan itu
belanja, nonton film, ke salon, lelaki itu mencoba untuk mengalir, untuk jujur.
Karena hanya dengan begitu, sesuatu yang indah dapat terasakan.
“Mungkin benar kata orang tua bahwa kasih sayang bisa tumbuh karena
sering bertemu,” kata lelaki itu, di bangku yang dipayungi kembang kertas di
taman pinggir kota, suatu malam. “Aku pun merasakan hal yang sama terhadapmu.
Aku ingin mencintaimu dengan lembut.”
Perempuan yang sudah lama menunggu kata-kata seperti itu, menunduk
malu. Tapi kemudian ia memandang bulan, menatap bunga-bunga, pohon-pohon,
merasakan angin yang menyisir wajahnya. Mata mereka beradu dan saling
tersenyum. Ah, tiba-tiba segalanya begitu indah, begitu menakjubkan, begitu
misterius.
Dua bulan kemudian mereka menikah. Mereka mengontrak sebuah rumah.
Menjalani kehidupan yang mereka inginkan, cita-citakan, mewujudkan
harapa-harapan.
Lelaki itu mengecup kening istrinya suatu malam, memandangnya ketika
tidur, menatapnya ketika istrinya menimang anak mereka. Sesekali mereka pun
tidak bisa menghindari pertengkaran. “Itukah keindahan?” tanya lelaki itu
kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba lelaki itu teringat kekasihnya yang pertama
yang berambut panjang yang pernah bertanya, “Apa yang dikejar manusia dalam
hidupnya?” Dan lelaki itu menjawab dengan pasti dan yakin, “Keindahan!” Lalu,
keindahan itu seperti apa?
**
Sehabis bertengkar dengan istrinya, lelaki itu selalu datang ke
taman di pinggir kota. Dia duduk di bangku kayu yang dipayungi kembang kertas.
Matanya memandang bunga-bunga yang tumbuh tak beraturan. Sebagian mawar
berbunga. Juga aster, melati, kacapiring, anggrek, dan bunga-bunga rumput yang
tidak sengaja ditanam. Bulan bersinar penuh.
Pemandangan yang sebenarnya tidak begitu berubah sejak beberapa
tahun yang lalu ketika lelaki itu pertama kali datang, tidak memberikan pesona
tersendiri di hatinya. Keindahan yang dulu ditemukannya pada bulan,
bunga-bunga, pohon-pohon, dan angin yang menyisir wajahnya, seperti lenyap.
Hatinya tidak lagi memberikan tempat bagi perasaan seperti itu. Hatinya terlalu
dipenuhi oleh berbagai persoalan yang memicu pertengkaran dengan istrinya.
“Mungkin benar bahwa keindahan itu seperti bulan,” gumam lelaki itu.
“Bulan yang tidak terjangkau, hanya cita-cita, keinginan-keinginan,
harapan-harapan. Ya, apalagi yang lebih indah selain harapan? Karena, harapan
yang telah terwujud, ternyata tidak lagi indah.”
Lelaki itu ingat bagaimana ia dan istrinya dulu menangkap
keinginan-keinginan, cita-cita, harapan-harapan, di taman ini di bangku kayu
yang dipayungi kembang kertas. Bagaimana ia memandang segalanya begitu indah.
Tapi setelah mereka menikah, bercinta, mempunyai anak, kenapa pertengkaran yang
didapatinya?
**
Lelaki itu selalu membawa jalan-jalan anak gadisnya ke taman di
pinggir kota dan duduk-duduk di bangku kayu yang dipayungi kembang kertas. Dia
sering menceritakan kebaikan dan kecantikan istrinya yang telah melahirkan anak
gadis itu, yang telah meninggal lima tahun lalu. Dan anak gadisnya sering juga
menceritakan sekolahnya, teman-temannya, pacarnya yang ia temukan di plaza.
“Kenapa mesti selalu ke taman ini kita jalan-jalan, Pak?” tanya anak
gadisnya suatu kali.
“Karena di taman ini Bapak selalu melihat ibumu yang selalu
tersenyum dan cantik.”
“Di mana?”
“Lihatlah bunga-bunga, pohon-pohon, bulan, atau rasakan angin yang
menyisir wajah, di situ ada ibumu.”
Anak gadisnya hanya mengangkat bahu. Dia tidak mengerti. Lelaki itu
sadar, hanya ia yang bisa mengerti semua
ini. Dia paham, segala sesuatunya akan menjadi indah dan bermakna bila masih
berupa harapan yang belum terjangkau dan bila telah menjadi kenangan (telah
tiada). Keindahan dan makna itu hanya bisa terbaca lewat tempat atau
benda-benda yang telah menyangkutkan pikiran dan perasaan. Bagi lelaki itu,
tempat terindah adalah taman di pinggir kota itu.
“Kenapa mesti selalu ke taman ini kita jalan-jalan, Pak?” tanya anak
gadisnya.
Lelaki itu memandang bulan tidak berkedip.
“Kenapa tidak ke plaza saja, Pak. Di sana lebih ramai, lebih indah,
lebih mempesona, lebih menakjubkan. Lagipula, semua yang ada di sana
mengingatkan aku akan pertemuan pertama dengan kekasihku.”
Lelaki itu menatap bunga-bunga sambil tersenyum.
***
0 Response to "Bulan di Taman"
Posting Komentar