Warung Tengah Malam
Pemuda berjaket kumal itu tertawa di antara irama dangdut yang
sedang dinikmatinya. Sesekali ditenggaknya bir yang tak lepas dari
genggamannya. Lalu tawanya menggema kembali setelah dia berhasil mencolek
pantat perempuan yang lewat di depannya. Teman-temannya yang juga sedang berjoget,
memeriahkan suasana dengan tawa khasnya masing-masing.
Aku memandang pemuda-pemuda itu sambil menikmati kopi yang
disuguhkan Nori. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya dua atau tiga bulan yang
lalu, yang berjoget sambil mabuk seperti pemuda-pemuda itu adalah aku.
Setelah letih berjoget dan bir di botol habis, aku akan menghampiri
Mirna dan menyewa kamar di belakang. Kalau tidak si Mirna, Sita, Dewi, Rini
atau yang lainnya suka juga menemaniku. Setelah itu aku tidur dan puas.
Kalau kemudian aku lebih suka nangkring di warung Nori, ini
karena dia punya sesuatu yang menarik hatiku. Nori membuka warung paling ujung
di antara deretan warung-warung yang dibuka setiap malam dan tutup menjelang pagi
di belakang pasar kota kecilku. Hampir setiap malam, warung Nori bisa dikatakan
yang paling sepi.
Suatu malam aku mencoba minum kopi di warungnya. Aku menikmati
kesendirian sambil memandang teman-temanku yang lagi joget. Aku ngobrol
dengan Nori dan mendapatkan suatu kenikmatan yang membuatku kecanduan untuk
menghabiskan malam-malamku di warungnya.
Kenikmatan itu kudapatkan ketika aku mengajaknya untuk tidur dan dia
menolak. Di tempat seperti ini, dimana orang-orang tak lagi sempat memikirkan
moral, susila dan kebersihan hati, karena terlalu sibuk memikirkan nasi sebagai
penunjang hidup ragawi, Nori adalah sebuah lelucon. Dan aku senang lelucon itu.
Meski bagi pengunjung lain, lelucon itu mungkin sama artinya dengan penolakan
untuk mengunjungi warung Nori.
Sekali waktu, setelah sekian lama kami hanya ngobrol, aku memeluk
pinggang Nori. Dia mendiamkanku. Sebagai wanita usia menjelang tiga puluhan,
Nori masih menggairahkan dengan daging-dagingnya yang kenyal.
“Kenapa selalu menolak setiap kuajak ke belakang?”
Nori tidak menjawab. Tangannya mengusap-usap tanganku.
“Takut dosa?”
Nori tertawa. Baru kudengar suara renyah itu sejak aku jadi
pelanggan tetap warungnya.
Dan sejak malam itu, Nori mau kuajak ke belakang untuk menyewa
kamar. Nori memang memuaskan. Dia tidak seperti Mirna, Sita, Rini dan yang
lainnya, yang main cepat-cepat dan pergi begitu saja. Nori banyak bercerita,
tentang perjalanan hidupnya, dengan suara parau. Dan dari sudut matanya aku
melihat sebutir air jatuh.
Sering aku tertawa mendengar perjalanan hidupnya. Tapi Nori mungkin
tak tahu, ada nada kecewa dalam setiap tawaku. Bagiku, Nori lebih memberikan
kenikmatan saat menolak untuk tidur. Dia mungkin tidak tahu perasaanku dan aku
tak mau menceritakannya. Yang masih memberi kepuasan buatku karena Nori hanya
mau diajak ke belakang olehku. Pengunjung lain yang mencoba mengulurkan tangan,
selalu ditolaknya. Tapi meski begitu, aku lebih mengharapkan Nori menolak siapa
saja, termasuk aku, seperti pertama aku mengenalnya.
“Sekarang tak takut dosa?” tanyaku suatu malam.
Nori tertawa. Tangannya memegang tanganku yang sedang memeluknya.
Kemudian wajah anggunnya menghadapku dan berkata, “ Sekarang ke belakang?”
Aku tertawa. Tapi kemudian aku yang merasa kesepian dan kesal,
mungkin juga marah, seperti pertama kali aku datang ke tempat ini. Aku tidur di
pangkuan Nori dan berkata, “Malam belum begitu dingin. Berceritalah, aku ingin
mendengarkan ceritamu.”
**
Warung tempat aku menghabiskan malam-malamku ini dikenal dengan
sebutan Warung Buka Malam. Tapi aku lebih senang menyebutnya Warung Tengah
Malam. Aku memang dating ke warung di belakang pasar dan singgah di tempat Nori
setiap hampir tengah malam dan pulang menjelang pagi.
Meski aku tak pernah menyaksikan waktu-waktu lain selain waktu
kunjunganku, aku tahu keadaan Warung Tengah Malam ini. Siang hari, bila kita ke
belakang pasar, warung-warung ini tak akan pernah ada. Di sana hanya akan kita
dapatkan tukang sayuran, pindang, buah-buahan dan semacamnya menggelar
dagangannya. Baru menjelang malam, warung-warung ini akan dibangun. Tiangnya
adalah bambu-bambu kecil dan atapnya lembaran plastik. Dengan mengambil aliran
listrik dari gardu keamanan pasar, warung-warung ini sedikit meriah dengan
lagu-lagu dangdut dan bohlam sepuluh watt.
Berbagai macam makanan ada. Mulai dari sate, gule, soto, sampai mie
rebus, roti bakar dan minuman macam bir, ada di situ. Dan sebagai daya tarik
tambahan, atau mungkin juga daya tarik utama, di sana ada perempuan-perempuan
yang siap diajak bercanda dan seterusnya.
Sarana seperti itu memang memberi sedikit kesenangan bagi pengunjung
yang rata-rata lelaki sibuk dalam mencari penunjang hidup. Asal sedikit punya
uang, siapa saja boleh bersenang-senang di sana. Maka sopir bis, kondektur,
pegawai negeri golongan bawah yang frustrasi karena gajinya tak memenuhi
kebutuhan hidup, pedagang-pedagang kecil yang pulangnya tiga bulan sekali ke
kampung, atau pengangguran-pengangguran yang frustrasi dan kebetulan sedang
punya uang, hampir setiap malam ada di sana.
Menjelang pukul sembilan malam, pengunjung mulai meramai. Perempuan
yang biasa mangkal di sana, mulai hilir mudik ke belakang (Di sana ada rumah
yang menyewakan kamar-kamar kecil per jam), atau pergi ke suatu tempat kalau
ada perjanjian khusus dengan penyewanya. Satu dua pengunjung laki-laki, datang
dan pergi bergantian. Mereka makan-makan sambil tertawa. Sebagian menenggak bir
dan joget di depat warung. Yang lain menyoraki dan memberi
komentar-komentar. Lalu mereka tertawa bersama-sama. Atau, kalau keadaan lagi
jelek, ada juga yang berkelahi.
Aku hapal betul keadan Warung Tengah Malam seperti ini. Aku memang
salah seorang penikmatnya. Hampir seluruh tempat seperti ini, di kotaku, pernah
aku kunjungi. Sampai aku kecanduan untuk datang ke Warung Tengah Malam yang di
belakang pasar ini, karena di sini ada Nori.
Aku tak pernah menyesal untuk menghabiskan uang di warung Nori.
Sampai uang hasil menarik becak siang tadi, atau uang pemberian istriku, habis
di sini, aku tak kapok. Nori bagiku bagaikan air yang kutemukan di saat aku
kehausan. Dia memberikan kesejukan dalam hatiku atau mungkin dalam
kefrustrasianku. Aku, yang pernah menamatkan SMA dan sempat masuk kuliah,
akhirnya hanya jadi tukang becak. Dan istriku, yang dulu aku cintai setengah
mati, aku biarkan utnuk mencari nafkah, karena aku tak berdaya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Maka Nori adalah pelarianku. Dia begitu mempesona saat menolak
ajakan untuk ke belakang menyewa kamar. Meski kemudian aku kecewa karena Nori
mau kuajak ke belakang, pesonanya di mataku tak luntur semua. Aku yakin, Nori sendiri
tak pernah menginginkan hal itu terjadi.
Suatu malam, selesai tidur, Nori mengusap-usap rambutku, lalu
katanya, “Manusia, tak pernah puas akan keadaannya. Mereka selalu terpesona
oleh sesuatu yang gemebyar dan mengejarnya.”
Aku membenarkan dalam hati. Tapi kemudian aku berpikir, apakah dia
menyindir atau sedang membicarakan dirinya. Aku tidak tahu. Mungkin
kedua-duanya benar.
Lalu Nori bercerita tentang kisah hidupnya, seperti malam-malam yang
lain. Dia datang dari desa, bersama suaminya, untuk hidup di kota. Setelah
melalui perjalanan yang mereka rasakan begitu pahit, mereka terdampar di Warung
Tengah Malam belakang pasar. Suaminya menarik becak dan menjaga keamanan di
sana. Mereka hidup lumayan dan tak mau lagi hidup susah.
Aku belum pernah melihat suami Nori selama ini. Sampai suatu malam,
saat ada perkelahian, Nori memberi tahu. “Itulah suamiku,” katanya sambil
menunjuk orang yang mengamankan pemuda-pemuda yang berkelahi. Aku ingat, lelaki
itu yang pernah mengantar aku pulang dengan becaknya. Hanya sekali itu aku mau
diantarnya. Dia terlalu mencurigakan. Setiap malam, saat aku lewat di tempat
pangkalan becak, laki-laki itu selalu memandangku.
Malam itu, waktu laki-laki itu mengantarku pulang, dia berkata: “Tak
pernah ada orang yang senang saat apa yang dipunyai dan dicintainya
dipermainkan orang lain. Semuanya akan marah, meski kata yang lain barang itu
begitu murahan dan tak berharga. Cinta adalah sesuatu yang tidak pernah
diperjualbelikan.”
Hampir saja aku turun dan mengajaknya berkelahi waktu itu. Tapi aku
terlalu capek dan mungkin apa yang dikatakannya
hanyalah sebuah kebetulan, tidak menyindirku. Waktu itu Nori belum mau
kuajak ke belakang untuk menyewa kamar. Aku hanya sering memegang tangannya dan
mengusap-usap rambutnya.
**
Malam ini kembali aku menghabiskan sebotol bir. Kopi yang diseduh
Nori tidak lagi memberi kepuasan. Pesona Nori berkurang lagi dari hatiku. Tadi,
saat aku memeluk pinggangnya, perlahan Nori melepaskannya.
“Mau ke belakang sekarang?” tanyanya.
“Aku ingin mendengarkan dulu ceritamu.”
Tapi Nori menggeleng. Dan katanya, “Duduklah dulu di depan, aku ada
tugas malam ini.”
“Tugas apa?” tanyaku. Belum sempat pertanyaanku terjawab, Nori
berdiri dan menghampiri si Gendut, sopir bis yang rutin setiap bisnya bermalam
di kotaku mengunjungi Warung Tengah Malam belakang pasar ini. Mereka
bergandengan menuju ke belakang.
Lewat tengah malam aku mengambil lagi sebotol bir. Nori yang tadi
telah menemani si Gendut, menghampiri dan membenamkan kepalaku ke pelukannya.
Lalu katanya, “Mau ke belakang?”
Aku tidak menjawab.
“Atau ke rumahku saja. Suamiku tadi pergi dengan si Mirna. Sejak dia
mengijinkan aku menemanimu ngamar, dia sering pergi dengan si Mirna. Mungkin di
rumah si Mirna dia mabuk.”
Sejak malam itu, saat Nori menerima ajakan si Gendut, warung Nori
mulai ramai, seramai warung-warung lainnya. Sesekali, aku pun melihat suami
Nori mabuk dan ngamar. Dia tak lagi jadi penjaga keamanan di Warung Tengah
Malam ini. Aku mengerti perasaannya. Sekali aku berkelahi dan mabuk bersamanya.
Meski Nori sibuk melayani pengunjung lain, ia selalu menyempatkan
diri menghampiriku dan membenarkan kepalaku di pelukannya. Lalu ia akan
mengusap-usap kepalaku dan berkata, “Mau ke belakang?”
Aku menggeleng. “Malam sudah larut, sebentar lagi subuh, aku harus
pulang,” kataku. Aku pun pergi, menuju Warung Tengah Malam lain, kira-kira dua
kilo meter jauhnya dari sini. Di sana, istriku pasti sudah menunggu. Atau
mungkin aku hanya mendapatkan surat seperti biasa yang menyatakan bahwa istriku
sedang pergi dengan penyewanya dan warung dititipkan pada tetangga dan harus
dibongkar.
***
Bandung Pos, lupa tanggalnya
Bandung Pos, lupa tanggalnya
0 Response to "Warung Tengah Malam"
Posting Komentar