ORANG ASING - Cerpen Pikiran Rakyat
Awalnya saya tidak memperhatikannya. Saya merasa dia sama
saja dengan orang-orang yang berlalu-lalang di pinggir jalan. Mungkin dia mau
ke plaza, belanja, nonton film, atau sekedar jalan-jalan. Mungkin juga dia ada
keperluan ke balai kota. Atau ke pusat perdagangan gadget. Atau sekedar
jalan-jalan saja menyusuri suasana kota, mungkin dia punya kenangan dengan kota
ini.
Tapi setelah berkali-kali melihatnya, berhari-hari, selalu
seperti itu, saya jadi penasaran. Saya pun mengikutinya.
Jalanan semakin ramai. Mobil-mobil bagus bersaing dengan
angkot tua. Tapi raja jalanan masih tetap motor yang mengalir deras, ratusan
jumlahnya dalam sekian menit. Pagi mulai menggeliat. Pastinya pukul 07 lebih. Saya
kuliah di perguruan tinggi agama, ada kuliah yang masuk pukul 05 pagi, bakda
shalat subuh, sampai pukul 07.
Saya rasa orang asing itu sebenarnya bukan orang asing di
kota ini. Berkali-kali dia disapa oleh orang yang mengenalnya. “Hai, mau ke
mana?” tanya yang menyapa itu. “Hai, ke sana,” jawab orang asing itu. Lalu dia
melangkah lagi. Matahari mulai naik. Hangat. Klakson kendaraan ramai di
pertigaan.
Tapi bagi saya, dia tetap orang asing. Berapa lama pun
tinggal di kota ini, dia tetap orang asing. Begitu perasaan saya. Ya, karena
berjalannya, tatapan matanya, tarikan napasnya, raut wajahnya; selalu
menyatakan begitu. Bukankah tidak sedikit orang yang terasing dengan dirinya
sendiri sekalipun?
Orang asing itu naik ke jembatan penyeberangan.
Langkahnya perlahan. Seperti tidak bertenaga. Tapi juga seperti yang melayang.
Di tengah jembatan penyeberangan dia berhenti. Tatapannya memperhatikan
keramaian di bawahnya. Begitu kosong. Matanya mungkin mengarah ke keramaian di
bawah jembatan, tapi seperti yang tidak melihat apa-apa.
Seperti yang dituntun, saya pun mengikuti arah
pandangannya. Jalanan semakin ramai. Pengemis dan pengamen semakin banyak. Seorang
remaja yang tadi berjalan sambil merokok, minum kopi di belakang jembatan
penyeberangan, lalu ganti kostum dan mengemis dengan kaki dilipat seolah
buntung. Orang asing itu menarik napas panjang.
Saya terpaku di jarak yang cukup membuatnya tidak curiga.
Ada perasaan aneh melihatnya. Dia adalah orang yang aneh di kota ini. Atau saya
yang aneh, mengapa memperhatikan orang seperti dia? Selalu ada perasaan ingin
bertanya. Atau sekedar menyapa. Tapi selalu tidak jadi.
Orang asing itu berjalan lagi. Kadang berhenti menatap
gedung-gedung tinggi menjulang, perkantoran yang asri, tumpukan sampah, spanduk-spanduk
promosi diri calon legislatif, mobil-mobil mewah, pengamen dan pengemis, got
mampet, rombongan orang entah mau kemana.
“Mau ke mana?” tanya orang asing itu kepada salah seorang
rombangan yang membawa banyak kertas bertulisan aneh itu.
“Demo,” jawab yang ditanya.
“Mendemo apa?”
“Mendemo pendemo yang minggu lalu demo di depan Gedung
Demokrasi.”
Orang asing itu menatap rombongan pendemo itu tanpa
berkedip. Orang asing itu pasti ingat, demo selalu ada, setiap hari, di kota saya ini. Saat ini memang musimnya demo.
Pemilu legislatif, pilkada, pilpres, memang musimnya demo. Setelah semuanya
selesai, kesepakatan sudah disepakati para kandidat, musim demo pun berakhir. Seperti
mangga, bila tidak pada musimnya, demo pun harganya mahal. Orang-orang segan
untuk turun ke jalan. Meski sampah menumpuk di mana-mana, banyak orang
berprilaku asal bersih di rumahnya sampah dibuangnya sembarang saja. Meski korupsi
ketahuan di mana-mana, jadi rahasia umum saja. Meski musim sudah bertambah,
musim hujan berarti musim banjir musim kemarau berarti musim kekurangan air.
Orang asing itu masih menatap para pendemo yang
berombongan dengan keluarganya masing-masing. Anak-anak, ibu-ibu, kakek-nenek
pun dibawanya serta. Saya tidak berani menerka apa yang dipikirkan orang asing
itu. Tapi tatapannya memang khas. Tatapan yang membuat saya penasaran, tatapan
yang membuat saya berkesimpulan bahwa dia terasing dengan kotanya. Selalu ada perasaan ingin
bertanya di hati saya, memastikan apa yang dirasakan atau dipikirkannya. Atau
sekedar menyapa. Tapi selalu tidak jadi.
Setelah para pendemo itu menghilang disembunyikan gemuruh
kota, orang asing itu berjalan lagi. Langkahnya semakin lamban. Kadang menunduk.
Kadang menatap takjub gedung-gedung di sekelilingnya. Kadang menatap miris
pengemis, pengamen dan gelandangan yang semakin banyak. Di depan halaman
balaikota yang rimbun dengan pepohonan tinggi orang asing itu berhenti. Lalu
masuk ke dalamnya, menyusuri jantung kota yang tersisa.
Di sebuah bangku di bawah pohon flamboyan orang asing itu
duduk. Mungkin dia lelah. Mungkin juga tertarik dengan koran yang tergeletak di
sana. Entah koran siapa. Karena setelah diambilnya koran itu, ditatapnya lama
sekali. Tatapan yang aneh, misterius, yang selalu membuat saya ingin
menghampirinya dan bertanya. Tapi saya selalu tidak jadi, takut mengganggunya.
Hampir satu jam orang asing itu menatap koran. Tanpa
berkedip. Tanpa ekspresi yang jelas. Selembar daun kering melayang dari atas
pohon. Saya teringat adegan pembuka film Forest Gump yang sunyi dan misterius. Mungkin
benar, nasib orang memang misterius. Eh, hidup ini memang misterius.
Selembar daun yang melayang itu akhirnya jatuh di koran
yang sedang ditatap orang asing itu. Dia terkejut. Lalu disimpannya koran itu
tergesa, dan dia pergi. Saya menghampiri kursi di bawah pohon flamboyan itu, duduk
dan mengambil koran. Apa yang membuat orang asing itu menatap begitu aneh?
Sebuah foto hampir memenuhi setengah halaman pertama
koran itu. Foto orang-orang berekspresi gembira. Sambil tertawa. Sambil mengacungkan
tangan. Tanda damai, semangat, sapaan hangat. Orang-orang berjaket orange. Dua
orang polisi di sampingnya kalah ekspresi, seperti tikus kehujanan. Judul
berita di bawahnya juga kalah keren: 38 dari 40 anggota legislatif di kabupaten
ini jadi tersangka korupsi pengadaan raskin, gaskin, karsekin (kartu sehat
miskin), dsb.
Saya juga sebenarnya tertarik dengan berita koran aneh
itu. Tapi orang asing itu sudah pergi jauh. Saya segera menyusulnya. Adzan
duhur berkumandang. Orang asing itu shalat di masjid perkantoran. Para pegawai
keluar dari kantor. Ada yang ke masjid ada yang pergi entah ke mana. Orang
asing itu berhenti sejenak. “Wilayah Anti Korupsi”, “Wilayah Anti Gratifikasi”,
terbaca plang di dalam kantor. Orang asing itu mengalihkan pandangan ke mobil-mobil
mewah yang memenuhi halaman. Mungkin harganya di atas lima ratus juta rupiah,
atau malah ada yang di atas satu miliar rupiah. Oh, ini perkantoran instansi yang
dilaporkan pemerintah paling bersih dari korupsi.
Keluar masjid orang asing itu berjalan lagi. Di depan
warung nasi sederhana belakang pasar tradisional dia berhenti. Para kuli gali
sedang antri makan. Nasi menggunung, sayur kacang dan sepotong tempe. Orang
asing itu ikut makan. “Kerja semakin susah sekarang. Di kota ya kaya gini,
begitu dapat bayaran ditagih warung,” kata seorang buruh. “Di kampung, ikut
kerja proyek Dana Desa, buruhnya cuma tiga puluh ribu sehari,” kata buruh
lainnya. “Sing penting... makan enak,” kata remaja yang tadi mengemis sambil
tertawa.
Orang asing itu terhenti makannya saat televisi 14 inci memberitakan
sebuah kelalaian acara sekolah menewaskan beberapa orang muridnya. Tiga orang
guru yang menjadi tersangka digelandang dengan kaki telanjang, kepalanya botak,
menunduk, berurai airmata. Polisi yang mengawalnya berjalan gagah seperti super
hero di film-film Amerika.
Sorenya orang asing itu berjalan lagi. Duduk di bangku
taman. Tatapan matanya kosong. Sampai malam tiba. Menjelang tengah malam dia
berjalan lagi. Jalanan sepi. Tukang nasi goreng berpapasan. Di sebuah rumah
kost-kostan dia berhenti. Pintu gerbang didorongnya. Dia mengeluarkan kunci,
membuka sebuah kamar. Tidur di kasur tipis. Mencoba tidur. Tapi sulit. Matanya
selalu terbuka. Tepat seperti saya. Sudah tiga malam saya tidak bisa tidur. Karena
itu kasur saya, kamar kost saya. ***
Bandung - Rancakalong, 8-9 Desember 2019
0 Response to "ORANG ASING - Cerpen Pikiran Rakyat"
Posting Komentar