Namaku Budiman
Namaku Budiman.
Sederhana dan enak didengar. Kata bapak, sengaja aku diberi nama itu biar
menjadi manusia yang suci, suka menolong, memberikan penerangan bagi yang
kegelapan, dan sejenisnya.
Dan apa yang
diharapkan dari namaku itu sedikitnya sudah menjadi kenyataan, setidaknya
anggapan masyarakat kampungku seperti yang diceritakan Nur lewat
surat-suratnya. Dua bulan sekali aku selalu mengirim surat dan uang ke
kampungku. Kalau kemudian Nur menyatakan ada kebutuhan lain, atau ada pesan
dari warga kampung yang lainnya, lewat surat balasan tentunya, aku akan
mengirimnya dua bulan berikutnya.
Dalam surat
terbaru, Nur menyatakan bahwa Kang Dahlan yang aku bantu pembuatan mesjidnya
dan Pak Dasli atas nama kelompok petani yang aku belikan semprotan hama,
mengucapkan terima kasih. Mereka menanyakan kapan aku pulang, sekedar menengok kampung
halaman. Aku tahu, permintaan itu bukan hanya datang dari Kang Dahlan dan Pak
Dasli atas nama warga kampung, tapi terlebih adalah permintaan Nur, istriku,
dan emak. Mungkin emak dan Nur telah bosan memintaku pulang sehingga permintaan
warga kampung dijadikan alasan permintaannya.
Sebenarnya setiap
Nur dan emak memintaku pulang lewat suratnya, aku selalu berniat pulang. Aku
rindu Nur, istriku yang selama beberapa tahun tak pernah kutengok. Juga emak
yang waktu aku kecil mengajariku ngaji dan selalu mendongeng setiap malam
sampai aku tertidur di pangkuannya.
Masih ingat aku
bagaimana emak bercerita tentang kancil yang cerdik dan buaya yang rakus,
Sangkuriang yang sakti tapi mencintai ibunya secara salah dan Malinkundang yang
tidak mengakui orangtuanya. Setiap mengingat masa-masa itu, baru aku rasakan,
betapa sayangnya emak kepadaku. Demi aku, emak rela tidak kawin lagi, karena
takut ayah tiri tidak menyayangiku. Padahal sejak ayah meninggal, aku tahu,
banyak yang mendekati emak untuk dijadikan istrinya.
Tapi niat untuk
pulang yang semula begitu menggebu, setelah tiba waktu pengiriman uang, selalu
saja terhenti. Dan akhirnya aku hanya menulis surat yang menyatakan bahwa aku
sehat-sehat saja dan tak sempat pulang, sibuk. Di akhir surat selalu aku
tuliskan, siapa tahu dua bulan yang akan datang aku bisa pulang, aku rindu emak
dan Nur.
Surat dan uang
yang selalu aku kirim dua bulan sekali, dibawa oleh kurir kepercayaanku. Dia
masih sekampung denganku. Namanya Junaedi.
Dari dialah aku
banyak tahu perubahan di kampungku. Sawah-sawah dan kebun tumbuh subur. Setiap
panen orang-orang menjual hasilnya ke kota kabupaten dan pulangnya mereka
membawa kebutuhan sehari-hari. Beberapa keluarga, termasuk emak dan Nur, telah
mempunya televisi. Jarak kampungku denga kota kabuten yang jauh, sehari penuh
perjalanan, semakin dekat setelah jalan diperbaiki dan mobil hilir mudik ke
sana. Setiap sore ibu-ibu melihat kuis atau telenovela. Malamnya, terutama
malam Minggu, bapak-bapak melihat wayang golek di TVRI.
Menurut dia,
kampungku telah berbeda jauh dengan waktu aku meninggalkannya. Waktu itu,
kemarau panjang menyebabkan sawah dan ladang kekeringan. Persediaan makanan
habis dan kelaparan mulai mewarnai kehidupan kampungku. Masih terbayang dalam
benakku, kelaparan telah mengubah manusia menjadi binatang yang paling buas.
Rebutan makanan yang tersisa seperti anjing diberi tulang belulang. Sebagian
penduduk mulai makan makanan yang tidak biasa dimakan. Mereka manangkap kodok,
ular, tikus, dan menebang pohon pisang untuk dimbil bonggolnya. Ayahku yang
rela tidak makan demi aku dan emak, akhirnya meninggal.
Untungnya waktu
itu bantuan dari kecamatan datang. Waktu orang-orang mengantarkan bantuan itu
kembali ke kota kecamatan, aku ikut. Aku menjadi pembantu di salah satu
keluarga pegawai kecamatan. Setelah setahun, aku pergi ke kota provinsi dan
dengan gaji selama aku menjadi pembantu, aku dagang asongan di stopan, kemudian
dagang bakso.
Dengan
penghasilan yang aku kumpulkan, aku pulang kampung dan mendapat pujian dari
warga kampung. Hal itu memang bisa aku pahami. Dari kampungku, mungkin baru aku
seorang yang berani pergi jauh untuk mencari napkah dan pulang dengan mebawa
keberhasilan. Sebagai orang yang berhasil, sudah tentu banyak yang ingin
mengambil menantu kepadaku. Pilihanku jatuh kepada Nur, teman ngajiku sewaktu
kecil dan mencari ikan-ikan mungil waktu sawah masih berair.
Setelah beberapa
waktu menumpahkan kerinduan pada kampung halaman, aku kembali ke kota untuk
mencari napkah. Banyak yang ingin ikut kepadaku, tapi aku katakan nantilah setelah
aku berhasil. Aku hanya ditemani Junaedi, teman ngaji dan berlatih silat
sewaktu kecil.
Setahun dua tahun
pertama aku masih sempat pulang menengok Nur dan emak. Tapi setelah itu aku
hanya bisa mengirim surat dan uang. Aku tak punya lagi keberanian untuk pulang.
“Emak dan Nur
menanyakan, kenapa kau sudah setahun tak pulang-pulang?” kata Junaedi sepulang dia mengirim uang ke kampung.
“Kamu bilang aku
sibuk?”
“Ya, begitulah
alasanku.”
Hanya segitu kami
bercakap. Kami memang jadi jarang bicara banyak. Selain bertanya seperlunya,
mengenai keadaan Nur, emak dan kampung, tak lagi ada yang mesti dibicarakan.
Kami sama-sama kecewa dengan peristiwa demi peristiwa yang menjadikanku segan
pulang kampung. Tapi semuanya mengalir apa adanya, tanpa kami merencanakannya.
Bermula dari
perekonomian juga yang sanggup membakar napsuku. Waktu itu emak sakit. Aku
perlu uang banyak untuk membayar perawatan emak di rumah sakit kota kabupaten.
Uang tabunganku habis, karena setelah aku menikah dengan Nur, aku harus rutin
mengirim uang. Aku tidak bisa lagi seperti dulu mengumpulkan uang
sedikit-sedikit.
Suatu malam, aku
tak bisa membayar uang ‘keamanan’ yang biasa diminta oleh kelompok ‘penguasa’
daerah tempat aku mangkal. Aku bilang aku butuh uang banyak untuk mengobati
emak yang sakit. Tapi para pemeras itu tak mau tahu. Roda dorongku ditendang
sampai terguling. Mie bakso berserakan, mangkok banyak yang pecah, kompor
menyala membakar rodaku karena minyaknya tumpah.
“Lihat tuh!”
bentak si Cengos kepada pedagang-pedagang lainnya. “Nasib kalian tak akan
berbeda dengan itu bila tak mau membayar uang keamanan! Ngerti?” Tiga orang
temannya tersenyum sambil sesekali mengisap rokoknya.
Junaedi mencoba
memadamkan api dengan air pencuci mangkok pedagang lain. Api itu padam. Tapi
panasnya terlanjur membakar kehormatan dan napsuku. Aku hajar sekuatnya si
Cengos sampai darah keluar dari hidung dan mulutnya. Tiga orang temannya
mengepungku. Tapi semuanya bukan apa-apa bagiku yang sejak kecil telah dilatih
silat dengan kekuatan luar dalam. Keempat pemeras itu babak belur dan pulang
dengan merayap. Tapi napsuku masih belum reda, apalagi setelah melihat roda dorongku
yang berantakan.
Malam berikutnya
pemimpin keempat pemeras itu datang. Si Codet memandangku meremehkan, lalu
meludah. Tentu saja napsuku yang masih menyala seperti yang diberi bensin. Si
Codet aku terjang dengan jurus Harimau Menerkam Mangsa. Si Codet yang telah
berpengalaman berkelahi itu akhirnya tak berkutik menghadapi gempuranku yang
dibakar napsu. Dia babak belur. Hidungnya berdarah-darah, beberapa kali muntah
waktu aku tendang perutnya. Anak buahnya tak ada yang berani melawanku.
Aku meminta uang
pengganti roda dorong dan isinya. Dan untuk membeli harga diriku yang
tersinggung, aku memeras mereka. Aku kirimkan uang hasil memeras itu untuk
mengobati emak. Sejak itulah aku jadi pemeras para pemeras. Dan Junaedi
kemudian jadi tangan kananku. Meski dia tak begitu setuju dengan pekerjaan baru
itu, tapi dia tak punya kekuatan untuk menolak.
**
Namaku Budiman.
Tapi kalau kalian datang ke sini, ke tempat kerjaku, jangan tanyakan nama itu.
Anak buahku tak akan kenal nama itu, kecuali Junaedi yang kemudian suka
dipanggil Edi Botak. Di sini aku biasa dipanggil si Badak. Kalau ada yang
menodong, mencopet, katakanlah namaku, maka para penodong itu akan meminta
maaf. Mereka adalah anak buahku yang setiap hari akan setor kepadaku.
Daerah
kekuasaanku semakin luas setelah aku menumbangkan Joko Dodet, penguasa
terminal, dan Herry Macan, penguasa pasar grosir. Hampir setengah kota sekarang
aku kuasai. Aku disegani anak buahku. Tapi kekuasaanku seakan tak berarti
setiap aku mendapat surat dari Nur dan emak.
Aku selalu tak
bisa untuk melepaskan pekerjaan yang sekarang. Kembali menjadi pedagang bakso,
artinya kembali diperas orang dan berpenghasilan seadanya. Dari mana aku
mengirim uang yang banyak bagi Nur dan emak? Dari mana aku memberikan bantuan
bagi warga desa yang membutuhkan sesuatu?
“Jadi pemeras
mungkin yang terbaik bagi kita,” kata Junaedi suatu waktu. Aku mengangguk. Tapi
aku yakin, Edi pun sama-sama tak yakin dengan pilihannya. Jadi pemeras telah
membuatku segan untuk pulang ke kampung.
Dua tahun yang
lalu, sewaktu Idul Fitri, aku pulang. Seluruh warga kampung menyalami dan
mengagumiku. Di mesjid, setelah sholat, Pak Dahlan atas nama warga kampung,
mengucapkan selamat kepadaku. Mereka bangga punya warga sehebat dan sedermawan
aku.
Di rumah Nur
keheranan ketika melihat tatto di
tangan dan dadaku. Aku katakan saja bahwa itu jimat yang diberikan guruku di
kota. Nur percaya dan tak lagi bertanya. Tapi rasa percayanya itu justru yang
menyiksaku. Sore-sore berikutnya aku mendengarkan anak-anak membaca Al-Qur’an
di mesjid. Di rumah, Nur dan emak setiap selesai sholat Maghrib, membaca juga
ayat suci itu.
Aku rasanya telah
dilemparkan ke dunia yang menyiksa dengan segala kelembutannya. Aku pergi
kembali ke kota dan lama tak pulang. Setiap Nur mengirim surat yang menyuruhku
pulang, aku selalu ingin pulang dan rindu suasana kampungku. Tapi begitu waktu
pengiriman uang yang dua bulan sekali sudah dekat, perasaan tersiksa itu selalu
menghantuiku. Aku tak yakin dapat menikmati suasana yang aku rindukan itu. Maka
kalau sudah begitu, aku hanya bisa menulis surat dan menyatakan bahwa aku
baik-baik saja dan rindu untuk pulang, tapi sibuk. ***
0 Response to "Namaku Budiman"
Posting Komentar