PERJALANAN MENUJU CAHAYA

Cerpen ini pernah dimuat majalan Matra edisi Januari 2001, sayang dokumentasinya hilang....


 Orang itu lewat begitu saja di depan kami. Mulanya kami tak mengacuhkannya. Tapi setelah kelelahan karena terus-terusan bertikai tidak lagi tertuntaskan dengan mengekspresikan seluruh dendam dengan cara apapun, kami melihat orang itu seperti magnet yang mempunyai daya tarik tersendiri.
Kami tidak tahu daya tarik itu dari mana datangnya dan berupa apa. Melihatnya, pelan-pelan kami terdiam, merasakan tarikan nafas dan detak jantung dengan kenikmatan tersendiri seolah-olah itu semua adalah kenikmatan yang tidak pernah kami dapatkan. Mata kami tidak berkedip melihat orang yang berjalan pelan seolah melayang itu dengan perasaan ingin tahu yang besar apa sebenarnya yang menjadikan daya terik orang itu sehingga kami terhipnotis seperti anak kecil yang takjub dengan penemuan barunya.
Entah berapa kali orang itu pernah lewat di depan kami. Kami tidak ingat dan tidak tahu serta tidak berani menerka. Kami hanya tahu kali itulah orang itu lewat dan pesonanya mencuri perhatian kami hingga tidak ada lagi persoalan dalam hidup ini selain dia yang berjalan dengan tenang seperti melayang dan anggun.
Kami tidak tahu apakah pesona orang itu ada dalam cara berjalannya yang tenang atau pada kain putihnya yang menyapu tanah hingga jalan yang dilaluinya begitu bersih dan kainnya yang sepertinya paling lembut dari setiap kelembutan yang pernah kami tahu dan rasakann atau dari cahaya yang diam-diam kami lihat keluar dari tubuhnya dan menerangi jalan yang pernah dilaluinya serta jalan lurus yang akan dilaluinya.
Kami tidak bisa menerjemahkan ketertarikan kami itu kecuali keinginan yang sanggup memusatkan konsentrasi untuk membuat mata terus memperhatikannya dan nafas ditarik pelan sepenuh perasaan seolah membaui harum orang itu. Saat itulah kami yakin bahwa dalam hidup memang banyak hal yang tidak bisa dimengerti oleh logika, karena itulah kami tidak memfungsikan pikiran seperti biasanya saat kami menjalani hari-hari penuh persaingan dan permasalahan yang kompleks.
Saat itu kami seperti mumi yang tanpa gairah, berdiri begitu saja dan berjalan pelan-pelan mengikuti orang itu dengan mata tidak berkedip dan konsentrasi tidak terpecah. Padahal di dalam hati kami ada gairah yang entah untuk apa begitu bergejolak menerjang-nerjang seluruh elemen tubuh kami seperti ombak tidak berhenti membanting-banting perahu dengan hasrat yang kami sendiri tidak tahu dari mana datangnya dan apa namanya.
Kami yang entah berapa jumlahnya ini tiba-tiba saja sudah memenuhi jalan dan memanjang seperti marathon terpanjang yang pernah terjadi di belahan manapun. Kami mengikuti orang itu dengan gairah yang terus meninggi meski detik-detik terus mengalir seperti jarum menusuk-nusuk tubuh kami. Kami memang luka-luka, tapi rasa sakit ini kami rasakan sebagai kenikmatan tiada terperi sehingga seluruh elemen tubuh kami begitu berbahagia.
Kami tidak tahu sudah berapa lama berjalan karena waktu tidak lagi ada dalam catatan hidup kami. Kami hanya tahu bahwa berjalan yang semakin memanjangkan barisan ini adalah hidup kami yang sebenarnya yang kami impikan entah sejak kapan. Kami tidak ingin kehilangan hidup kami, karena kami tidak ingat apa-apa lagi dan memang tidak ingin ingat apa-apa selain berjalan terus-menerus sampai seluruh elemen tubuh ini tidak bisa lagi berjalan.
**
Cahaya yang dipancarkan orang itu semakin memukau kami. Cahaya yang entah keperakan atau keemasan atau apa warnanya itu menyebar ke seluruh penjuru, diterbangkan angin, hinggap di batu-batu dan pohon-pohon dan tembok-tembok dan seluruh benda yang ada di sekeliling kami dan menjadikan benda-benda itu memancarkan cahaya pantulan. Cahaya yang menyebar dibawa angin itu begitu harum dan  membuat kami bernafas pelan sekali seolah seluruh harum yang baru kami rasakan itu ingin masuk seluruhnya ke dalam rongga dada ini dan menyebar ke seluruh tubuh menjadi penggerak tangan dan kaki dan mulut dan seluruh elemen tubuh kami sampai pori-pori halusnya.
Memperhatikan barisan yang mahapanjang ini timbul rasa sayang di hati kami, rasa untuk saling memperhatikan dan menjaga dan memahami bahwa kenikmatan berjalan mengikuti orang berkain putih hanya ada dalam kedamaian. Maka kami pun saling tersenyum dan menerbangkan indahnya dibawa angin berputar-putar di antara kami. Saat kami menyadari bahwa pohon-pohon dan air yang mengalir di sepanjang sungai yang kami lalui dan tanah yang kami pijak mengabarkan keindahan yang sudah lama tidak kami rasakan, kami yakin bahwa bumi ini memang betul diciptakan karena cinta dan untuk cinta.*1
Di antara kami, jutaan pejalan yang terpesona dengan orang yang berkain putih itu, tidak ada yang bicara sepatah pun. Bukan karena kami bisu, tapi diam telah kami rasakan seperti jutaan kata-kata indah yang sanggup menggetarkan hati dan seluruh elemen tubuh ini. Kami menemukan bahwa diam adalah bahasa yang lebih kaya dengan makna, komunikatif, saling dipahami, bernuansa kasih sayang.
Kami pun seperti mendengar nyanyian tanpa suara yang dinyanyikan hati kami, seperti nyanyian yang dinyanyikan burung-burung yang kami temui sepanjang perjalanan. Siapapun yang kami temui menyapa kami dengan nyanyian yang kami rasakan begitu indah. Pepohonan melambai-lambai memanggil-manggil kami untuk mengikuti dunianya yang pelan tapi pasti. Kami pun merasakan pucuk yang berubah menjadi daun tua dan gugur ke tanah menjadi pupuk. Kami tidak terpesona dengan akhir perjalanan atau tujuan keindahan karena perjalananlah akhir dan tujuan sebuah perjalanan.
**
Di mana akhir sebuah perjalanan? Pertanyaan itu pelan-pelan hadir di hati kami saat di sebuah padang kami memperhatikan bulan yang begitu bulat dan besar, melayang-layang seperti memayungi kemanapun kami melangkah. Cahayanya menyebar memasuki apa saja yang kami lihat dan rasakan sehingga udara yang kami hirup bunga yang kami tatap dan jalan yang kami pijak suara yang kami dengar angin yang menyisir kulit tak lepas dari kelembutan cahayanya.
Kami  merasa orang yang berjalan seperti melayang yang dari tubuh dan pakaiannya memancar cahaya yang menjadi pemimpin kami dalam perjalanan tak bertujuan ini pun terpesona dengan kelembutan dan keanggunan bulan yang semakin membesar. Pelan-pelan kami mengerti, bukanlah bulan yang memayungi perjalanan kami tapi kami yang mengikuti perjalanan bulan. Kami naik gunung turun lembah memasuki kota-kota menyusuri desa-desa agar tidak tertinggal oleh bulan yang mencari-cari pagi. Karena kami ikuti ke manapun bulan melayang maka tidak ada siang dalam hidup kami. Setiap bulan menghampiri pagi kami sudah sampai di bawahnya sehingga pagi itupun menjadi malam kembali dan kami mulai lagi perjalanan sepanjang malam.
Berabad-abad kami berjalan dengan pertanyaan sama: di mana akhir sebuah perjalanan? Saat kami bertemu burung-burung yang kemalaman kami melihat mereka terburu-buru menuju sarangnya. Bahkan burung pun punya rumah, punya tempat beristirahat, punya akhir setelah perjalanan seharian tadi. Pertanyaan itu semakin lama semakin memenuhi pikiran kami sehingga kemudian kami merasa bahwa tangan pun kaki pun mata pun dan seluruh elemen tubuh kami ikut bertanya-tanya.
Awalnya kami saling memandang, saling bertanya lewat tatapan mata. Lama-lama kami berkomunikasi dengan seluruh gerak perjalanan kami sehingga perjalanan ini terganggu. Sambil menikmati bulan yang semakin cemerlang di langit tanpa bintang, kami berkesimpulan bahwa bulanlah tujuan perjalanan kami. Untuk meyakinkannya kami ramai-ramai bertanya lewat bahasa kami yang tanpa kata-kata dan suara ini kepada orang yang berjalan seperti melayang yang kain putihnya berkibar-kibar memancarkan cahaya ke sekelilingnya yang menarik kami mengikuti perjalan ini.
Orang yang berjalan seperti melayang itu seperti yang mengerti apa yang kami pertanyakan dan apa yang kami maui. Tapi dia tetap tidak perduli. Dia terus berjalan, seperti angin, entah ke mana. Saat keinginan kami untuk menuju bulan semakin berdebur-debur seperti ombak, orang yang berjalan seperti melayang itu memenuhi keinginan kami. Dia melayang meniti cahaya yang entah dipancarkan bulan atau tubuh atau kainnya yang berkibar-kibar. Kami pun ikut terbang, seperti jutaan kupu-kupu, dengan gairah yang lain, gairah yang baru kami rasakan kembali. Mata kami tidak lepas dari bulan yang tersenyum dan melambai dan memanggil-manggil kami dengan cahaya yang begitu indah. Barangkali bulan memang tempat berkumpulnya segala keindahan.
Semakin lama kami semakin jauh dari bumi. Kami hampir memasuki angkasa yang keluasannya tidak terkirakan karena baru kali itulah kami melihat dan merasakannya. Jutaan bintang dan benda-benda lainnya melayang-layang, seperti juga kami, entah menuju ke mana. Saat itulah kami merasa telah tersesat. Kami telah terperdaya oleh tujuan yang mempesona seperti bulan. Semestinya kami tidak terpesona dengan akhir perjalanan dan tujuan keindahan karena perjalananlah akhir sebuah perjalanan. Kami menangis dengan kedalaman yang tidak terkira sehingga seluruh elemen tubuh kami ikut menangis dan kami rasakan seluruh benda di angkasa ikut menangis dan teman-teman kami di bumi meratapi.
Awalnya airmata kami menyusuri pipi dan seluruh lekuk tubuh kami, lalu berjatuhan menjadi rintik yang semakin menderas. Dari airmata itulah diam-diam kami menyusun bumi, membuat jalan-jalan dan gedung-gedung dan benda-benda keperluan sehari-hari dan tempat-tempat peristirahatan.
Di angkasa bulan semakin membesar. Tapi kami tidak lagi perduli karena perhatian kami, pikiran kami, mata kami, telinga kami, dan seluruh indera kami tercurah ke bumi, tempat kenangan menandai ketersesatan dan kesedihan kami. ***
      
                                                           Bandung-Rancakalong, 15-2/21-12, 1999

Catatan:
1        =  Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menulis: Dengan cinta dan untuk cintalah langit serta bumi diciptakan. Kalimat itu berkali-kali melintas di pikiran saya saat membaca berbagai kerusuhan atau missunderstanding dan misscomunication di antara para petinggi negara.



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERJALANAN MENUJU CAHAYA"

Posting Komentar