GUBUK DI PINGGIR KOLAM
Cerpen ini pernah dimuat HU Media Indonesia 24 Desember 2000.
dimuatkan majalah Horison edisi April 2001
Di bawah jendela tumbuh bunga sedap
malam dan mawar. Setiap kali saya membuka jendela malam-malam untuk melihat
bulan, harum sedap malam menyelusup ke dalam dada. Selalu begitu lama kami
saling memandang, saling tersenyum. Kami memang saling merindukan setelah
bertahun-tahun tidak saling perhatikan. Bulan memang ada setiap malam di
langit, sedap malam dan mawar memang tumbuh di taman-taman, saya memang
mengunjungi banyak tempat setiap hari; tapi kami selalau tak acuh, seolah tidak
saling mengenal.
Sejak
beberapa hari yang lalu, pertemuan yang mengharukan itu terjadi. Saya membuka
jendela dan sedap malam yang tumbuh di bawah jendela memanggil-manggil dengan
harumnya. Saya memandangnya, saling tersenyum. Diperhatikan seperti itu, mawar
yang tumbuh di sebelah sedap malam, bergoyang-goyang memperlihatkan keindahan
tubuhnya. Kata sedap malam, mawar memang centil dan sudah lama menanti
pertemuan itu. Mawar tersipu malu. Saya tersenyum, geli, tapi juga terharu
masih ada yang merindukan. Saat itulah bulan yang bulat penuh menyapa kami.
Setiap malam kami bertemu, bercakap-cakap
tentang apa saja. Kami saling bergantian bercerita. Hanya bulan yang selalu
enggan membuka mulut. Rupanya dia pemalu, pikir saya. Tapi setelah mawar yang
centil menggodanya, bulan mau juga bercerita. Dia tidak pernah mengerti,
katanya, mengapa setiap yang memandang selalu menganggapnya cantik dan abadi.
“Karena
memang kamu cantik,” kata saya.
Bulan
tersipu malu. Dan katanya, “Barangkali karena kita memang berada di alam yang
berbeda, dipisahkan jarak yang jauh. Dan cantik, dan indah, adalah sesuatu yang
jauh, sesuatu yang hanya ada di negeri impian, di negeri yang tidak bisa
terjangkau. Coba seandainya saya bisa dipetik seperti mawar, saya pasti sudah
dibudidayakan dan hanya indah semusim saja.”
“Tapi kan
tetap indah.”
“Ya, indah,
tapi cepat layu karena memang terjangkau.”
Mawar yang
mendengarkan percakapan kami dan menyadari kesementaraannya, menunduk sedih.
Sedap malam mengusap-usap kelopaknya, membesarkan hatinya. Saya dan bulan yang
menyadari bahwa percakapan tadi telah membuat sedih mawar, ikut bersedih. Tapi
kenapa mesti bersedih, karena kesementaraan adalah bagian dari hidup. Semuanya
adalah fana, kecuali yang Abadi itu. Kenapa mesti bersedih kalau selama hidup
telah memberikan keindahan yang dimiliki masing-masing.
Mawar
tersenyum kembali. Kami menggodanya. Lalu percakapan pun beralih pada hal-hal
yang menyenangkan, pengalaman yang lucu-lucu. Saat seperti itulah, kadang angin
yang baru pulang dari pengembaraannya, ikut bercakap-cakap. Dia mengabarkan
bahwa di wilayah-wilayah lain pertempuran terus berlangsung, penindasan dengan
beragam warna dan corak menjadi peradaban umum. Kami selalu diam setelah
mendengar berita seperti itu. Kami punya pikiran masing-masing dan cara
bersedih yang berbeda.
Angin
pamitan dan mengatakan kapan-kapan akan singgah. Kalau ingin tahu lebih banyak,
kata angin, dia punya foto-foto dari wilayah-wilayah yang telah dikunjunginya.
Setelah angin pergi, tidak ada lagi percakapan di antara kami. Bulan
melambaikan tangan setelah memberitahukan dengan nada sedih bahwa sebentar lagi
tanggal tua dan dia tidak bisa menemui secara sempurna. Saya pun menutup
jendela setelah mengucapkan selamat malam kepada mawar dan sedap malam.
**
Pagi hari
saya membuka jendela, menyapa matahari yang baru datang, dan duduk di pematang
kolam. Ikan-ikan menyapa saya sambil menari-nari. Mereka selalu bergembira
dalam keadaan bagaimanapun.
“Kami memang
menguasai banyak tarian,” kata mereka sekali waktu. “Setiap saat kami menari.
Kesedihan pun ada tariannya. Jadi tampaknya memang gembira terus, padahal tidak
seperti itu.”
”Kamu pernah
bersedih juga?”
“Namanya
hidup, ya berpasangan.”
Tarian
ikan-ikan itu semakin menjadi saat burung kutilang bernyanyi. Suaranya nyaring,
kadang begitu bersedih, kadang begitu bersemangat. Saya memejamkan mata,
menikmati nyanyian yang aneh dan asing itu. Saya seperti dibawa ke tempat yang
begitu jauh, tempat yang memutuskan hubungan saya dengan apa saja. Di sana
hanya ada saya sendirian, menari seperti ikan-ikan dengan gerakan-gerakan yang
saya kehendaki sendiri, berteriak dengan tinggi-rendah suara semau saya. Inilah
barangkali dunia keindahan itu, dunia kesedihan itu, dunia amarah itu, dunia
kesunyian itu.
Saya
menghentikan semua lamunan setelah burung kutilang menghentikan nyanyiannya.
Burung itu terbang berkeliling, menyapa ranting, matahari, ikan-ikan, dan
hinggap di samping saya.
“Ikut berjemur,” katanya.
Saya
tersenyum tanda menyambutnya. “Suara kamu indah sekali,” kata saya. “Begitu
ekspresif. Kamu rupanya bisa melepaskan seluruh beban hidup.”
“Beban
bagaimana? Justru suara saya, hati saya, merupakan campur aduk dari beban
hidup, akumulai dari pengalaman di bumi yang selalu bergolak ini.”
“Maksud
saya, lepas dari berbagai tekanan.”
“Oh, saya kan
bukan burung di dalam sangkar.”
Saya
memandang ke jauhnya. Lepas dari segala tekanan, apa bukan sesuatu yang
berlebihan? Telah begitu lama rupanya hidup saya tidak mengalami hidup seperti
itu. Hidup saya banyak terisi dengan kepentingan-kepentingan aneh yang kemudian
dianggap biasa. Kenapa semuanya menjadi begitu terbalik tanpa disadari.
Nyanyian burung kutilang yang semestinya hal biasa dalam hidup, menjadi begitu
aneh dan asing.
“Begitu aneh
dan asing nyanyian kamu,” kata saya.
“Lho, kok
aneh? Setiap pagi kan saya bernyanyi?”
“Barangkali karena saya kurang memperhatikan.
Barangkali karena seluruh indera saya telah rusak. Berbagai keperluan telah
membuat telinga saya tidak mendengar semua suara, cukup yang merdu-merdu saja.
Mata saya tidak bisa melihat semuanya, cukup yang indah-indah saja. Hidung saya
tidak bisa menghirup semuanya, cukup yang harum-harum saja.”
“Apa bisa
hidup ala robot seperti itu?”
Saya
berkerut-kening. Apa selama ini pun saya bukan robot?
**
Tempat indah
yang jauh ke mana-mana ini sebenarnya saya temukan tidak sengaja. Saya sedang
mengadakan penelitian tentang binatang-binatang langka saat tersesat ke sini.
Setelah beberapa jam mengikuti arah sungai, saya menemukan gubuk ini. Kecil
tapi indah dan bersih. Halamannya luas dan banyak ditumbuhi bunga-bunga. Di
depan gubuk ada kolam, juga tidak begitu besar. Ikan-ikannya selalu berenang
setiap pagi.
Penghuni
gubuk ini, seorang kakek, menyambut saya. Dia menyuguhkan air teh hangat dan
harum. Makanannya bakar singkong dan gula aren. Lahap saya menyantap makanan
yang telah lama tidak saya temukan itu. Setelah melepaskan lelah, saya mandi di
pancuran dan merasa begitu segar.
“Tinggallah
di sini sehari dua hari kalau masih lelah,” kata kakek itu. Saya pun tinggal.
Malam-malam membuka jendela, menyapa mawar dan sedap malam, menyapa bulan,
bercakap-cakap dengan mereka. Paginya melihat ikan-ikan menari sambil merasakan
belaian matahari, menunggu burung kutilang bernyanyi. Agak siangnya mengambil
segala keperluan sarapan di kebun, tidak begitu jauh dari kolam. Segala sayuran
dan buah-buahan ada.
Setelah
bertahun-tahun saya tinggal di pusat keramaian, di wilayah penipuan,
penindasan, penodongan, di wilayah peperangan abdi: tempat ini seperti surga
bagi saya. Saya jatuh cinta kepadanya.
“Bagaimana
kalau saya tinggal agak lama di sini, Kek? Saya betah di sini,” kata saya.
Kakek
tertawa. “Mau tinggal sampai kapan pun boleh. Kakek ini sudah tua, sebentar
lagi mungkin tidak di sini lagi. Kakek tidak punya saudara atau siapapun.”
“Jadi, kalau tempat ini dibeli, Kakek mau
melepaskannya?” Pikiran saya untuk membeli tempat ini tiba-tiba saja datang.
Terbayang kalau tempat ini menjadi peristirahatan. Begitu indah, tanpa gangguan
dari apapun dan siapapun; dari koran, dari televisi, dari orang-orang yang
selalu kesusahan, dari para bandit, dari siapa saja.
“Tidak usah
dibeli. Kalau mau tinggal, tinggal saja. Kakek kan sudah tua. Sebentar
lagi mungkin....”
Kakek itu
memang meninggal beberapa hari setelah saya tinggal. Saya menguburkannya di
pinggir kolam. Tidak banyak yang saya ketahui tentangnya. Menurut ceritanya,
bertahun-tahun dia tinggal di sini. Dulunya dia adalah seorang pengarang yang
cukup terkenal. Karangannya tersebar di media massa, buku, dan diterjemahkan ke
berbagai bahasa.
“Tapi Kakek
lelah. Bertahun-tahun Kakek menulis karena didesak keadaan. Bertahun-tahun dada
ini hampir meledak. Akhirnya Kakek menemukan tempat ini, menyepi, melepaskan
segala beban.”
**
Saya pun
pernah berpikir untuk tinggal di sini selamanya. Merasakan yang indah-indah,
bercakap dengan teman-teman yang saling mencintai, tanpa punya pikiran jelek,
tanpa saling menyakiti. Tapi saat angin singgah, mengabarkan
peristiwa-peristiwa dari tempat yang jauh, memperlihatkan foto-foto yang
katanya tanpa disensor itu, seluruh tubuh ini serasa ditusuk-tusuk. Dada ini bergolak
seperti mau pecah.
Malamnya
saya tidak bisa tidur. Saya selalu bermimpi buruk. Dalam mimpi itu orang-orang
berdatangan dari segala penjuru. Gubuk ini menjadi begitu ramai, begitu ribut,
begitu polutif, begitu tanpa keramahan. Mereka adalah orang-orang yang kalah
perang.
Mereka
berteriak-teriak, memaki-maki saya sebagai orang yang tidak bertanggungjawab.
Waktu itu saya tidak melihat teman-teman yang saling mencintai, mawar dan sedap
malam, ikan-ikan, burung kutilang. Mungkin mereka telah dibunuh.
Diam-diam saya meloloskan diri, berjalan tanpa
tujuan. Bahkan di tempat sesunyi ini pun ketentraman tidak abadi.Baru malam ini
saya melihat bulan begitu pucat. ***
Bandung, 21
April 1998 / Rancakalong, 2000
0 Response to "GUBUK DI PINGGIR KOLAM"
Posting Komentar