Pencuri Hati
Pencuri itu datang tengah malam dan mencuri hati Dewi. Gerimis turun
memburamkan kaca jendela. Jarum jam berdetak-detak dalam tempo yang sama.
Begitu bangun, Dewi merasa ada sesuatu yang hilang. Dilihatnya pencuri itu meloloskan
diri begitu saja. Dewi berlari, mengetuk-ngetuk kamar orangtuanya.
“Ada apa?” tanya Bapak.
“Ada pencuri, Pak.”
Bapak dan Ibu memeriksa ruang tengah, dapur, kamar Dewi. Tidak ada
barang yang hilang.
“Di mana pencurinya, Wi?”
“Sudah menghilang di kegelapan.”
“Yang dicurinya apa?”
“Hati Dewi.”
Bapak dan Ibu saling memandang.
“Pencurinya tampan?” tanya Ibu.
“Ya.”
“Seperti ksatria?”
“Ya.”
“Kamu jatuh cinta, Dewi.”
“Bukan hati itu, Ma, yang hilang.”
“Lalu?”
“Hati yang lain. Hati yang menjadikan Dewi kesepian. Hati yang
menyudutkan Dewi setiap saat.”
Bapak dan Ibu saling memandang.
“Ah, tidak masuk akal, Wi.”
“Absurd.”
“Sekarang tidurlah, masih lama menunggu pagi.”
Tapi Dewi tidak bisa tidur. Dewi merasa ada sesuatu yang hilang. Dewi
merasa kesepian. Dewi menitikkan airmata. Dewi membayangkan, di luar rumah
tentu masih banyak orang yang terjaga. Teman-temannya semakin tersesat di
diskotik, sopir taksi berkumpul di depan tempat hiburan, anak-anak pengemis
berkaparan berselimut karung, tukang mie rebus dan roti bakar meladeni yang
begadang, satpam terkantuk-kantuk, seorang pengarang sedang mengetik dengan
pikiran begitu gelisah, seorang mahasiswa sedang membaca dan resah melihat
kenyataan di luar buku-bukunya, abang becak terkantuk-kantuk, pedagang mulai berdatangan
ke pasar, seorang koruptor yang diadili sedang merencanakan untuk umroh atau
menyusun skenario jawaban dengan pengacaranya atau memberi uang damai jaksa dan
hakim.
**
Sebenarnya
Dewi sudah lama melihat pencuri itu mendatanginya. Dia bisa datang ketika Dewi
menonton iklan-iklan televisi, di layar film ketika Dian Sastro berciuman, di
baju-baju mode terbaru yang tak menutupi perut yang dipamerkan dengan model
gadis-gadis muda di pertokoan, di terminal ketika seorang pencopet cilik
tertangkap dan dipukuli sampai mati, di alun-alun ketika Dewi melihat anak-anak
pengemis berkaparan di tempat panas, di rumah ketika orangtuanya menasihati
bahwa orang yang baik itu adalah yang cepat selesai kuliah dan cepat dapat
kerja dan dapat uang yang banyak, di desa-desa ketika anak-anak busung lapar
disumbang berkaleng-kaleng susu oleh petinggi negeri yang korup dengan sebaris
wartawan yang siap meliput, di koran-koran ketika Dewi membaca ada polisi over
dosis narkoba ada koruptor memimpin lembaga negara ada pencuri berdasi yang
disebut-sebut sebagai petinggi negeri ada partai yang merantai ada pemerintah
yang menyengsarakan rakyatnya ada jutaan anak-anak kekurangan gizi ada hakim
yang tidak mau disuap dibunuh ada orang-orang miskin dipukuli ada rencana
membangun tempat judi yang dilegalkan.
Dan
malam itu, ketika pencuri itu datang mencuri hati Dewi, adalah saat klimaks
dari pertemuan-pertemuan yang berlanjut itu.
Besoknya
Dewi mencari pencuri itu. Dia ingin mengambil kembali hatinya. Dia tidak
sanggup hidup tanpa hati. Dia tidak sanggup hidup tidak tenteram, selalu
kesepian, sakit hati, menangis.
Di
kampus Dewi bertanya kepada teman-temannya yang demonstran, kutu buku, modis,
atau dosen-dosennya yang hanya membaca buku teks ketinggalan jaman. Tapi mereka
tidak ada yang tahu dan mengerti.
“Pencuri
apa?” tanya mereka.
“Hati.”
“Kamu
jatuh cinta?”
“Bukan
hati itu.”
“Lalu?”
“Hati
yang lain. Hati yang menjadikan saya kesepian. Hati yang menyudutkan saya
setiap saat.”
“Ah,
tidak mengerti.”
“Absurd.”
“Tidak
masuk akal.”
Dewi
menyusuri jalan dan bertanya kepada orang-orang. Tapi mereka mengangkat bahu,
berkerut kening, menggeleng. Jadi mereka tidak ada yang tahu? tanya Dewi kepada
dirinya sendiri. Di taman kota Dewi istirahat. Di taman yang rindang itu banyak
orang berteduh. Matahari bersinar terik. Tukang es cendol dikerubungi buruh
pabrik yang baru pulang. Seorang ibu pengemis memberi makan anaknya yang
ditidurkan di rumput. Sepasang remaja duduk berduaan. Tukang parkir lari
terbungkuk-bungkuk ketika ada sedan masuk.
Dewi
membuka koran dan membaca berjuta-juta penganggur kebingungan di gang-gang
kumuh di jalan-jalan di tempat-tempat sampah, kejahatan terjadi di mana-mana,
korupsi menjadi sistem penggerak di lembaga negara di usaha swasta dan di
tempat-tempat publik lainnya, perkelahian pelajar menewaskan ratusan pelajar
seolah menjadi ekspresi untuk menyatakan eksistensi diri, jutaan orang pergi ke
luar negeri menjadi babu dan jutaan lainnya diusir-usir di negeri orang.
Dewi
merasa kesepian yang sangat. Dewi merasa dirinya telah terlepas dari kehidupan.
Mungkin benar, pikirnya, kesempurnaan manusia adalah ketika merasa tidak
sempurna. Tapi, apalah artinya merasa tidak sempurna kalau tanpa berbuat untuk
menyempurnakannya? Karena itulah, Dewi perlu mencari kembali hatinya yang telah
dicuri. Hati itulah yang menjadi penggerak untuk berbuat menyempurnakan
kesempurnaan sebagai manusia.
“Saya
tidak percaya!” kata seseorang. Dialah pencuri itu.
“Kamu
pencuri hati itu, kan?”
“Ya.”
“Berikan
kepadaku. Aku perlu hati untuk menyempurnakan diri sebagai manusia.”
“Saya
tidak percaya! Hatimu saya curi karena kamu tidak butuh lagi hati. Hati hanya
membuat hidupmu lebih terpojok, lebih hurt feeling, lebih kesunyian,
lebih merasa tidak sempurna. Ingat-ingatlah, apa yang kamu perbuat ketika punya
hati?”
Dewi
merasa angin yang menyisir pipi begitu perih. Dewi ingat, dari mana pencuri itu
berasal. Ya, ia datang ketika Dewi selalu merasa kesunyian, sakit hati, tidak
berdaya, tidak sempurna sebagai manusia. Dan bukan, bukan hati itu yang
menyebabkannya. Tapi ketakutan yang diterjemahkan sangat materialistik, seperti
warna pergaulan selama ini. Ketakutan hidup tidak punya rumah, mobil, belanja
di tempat mewah, berwisata. Ketakutan dikucilkan dari pergaulan. Ketakutan
tersayat pisau kejujuran dan kebenaran. Ya, Dewi merasa telah begitu lama
memandang keberhasilan hidup sebagai gemebyar cahaya material. Pikiran itulah
yang mendatangkan pencuri yang kemudian mencuri hatinya itu.
Tapi,
apa orang-orang tidak merasa kecurian? Dewi tidak mengerti. Angin yang menyisir
pipi begitu perih. Di kejauhan, seseorang, mungkin gila, berterik: “Dasar gila!
Masa saya dibilang gila! Apa tidak gila menuduh orang lain gila? Apa devinisi
gila? Apa?….”
**
Tengah
malam Dewi mendengar suara-suara berbisik di kamar orangtuanya. Dewi menghampiri
dan menempelkan telinga ke pintu.
“Apa
Dewi masih mencari hatinya?” Suara Bapak yang terdengar.
“Mungkin.”
“Kasihan.”
“Kanapa
kasihan? Dia harus tahu bahwa hidup adalah sakit hati, sunyi, terpojok.”
“Mungkin
dia mengira hanya dirinya yang kehilangan. Padahal nabi-nabi, telah
merasakannya sejak berabad-abad yang lalu.”
Dewi
merasa suasana rumah begitu mencekam. Bayangan dirinya terpantul di mana-mana.
Kursi, meja, gorden, karpet, dinding, semua memantulkan dirinya. Dewi melihat
seseorang yang pucat, gelisah, dan misterius, dari setiap bayangan yang
terpantul itu. Mungkin benar, pikirnya, semua manusia bersedih ketika
sendirian. Semua manusia merasa ada yang hilang dari dirinya. Gerimis yang
mengetuk-ngetuk genting menciptakan sunyi tersendiri.
Sejak itu
Dewi tidak pernah bertanya kepada siapapun tentang hatinya yang hilang. Dewi
pura-pura tidak kehilangan sesuatu. Dewi pura-pura punya hati. **
0 Response to "Pencuri Hati"
Posting Komentar