Jangan Katakan Cinta
“Jangan katakan cinta!” kata Wulan. Baban terhenyak. Entah berapa
kali kalimat penolakan itu didengarnya dari mulut mungil gadis yang dikaguminya
ini. Baban memang sudah menduga kalimat itu akan meluncur sebagai jawaban dari
kata cinta yang diucapkannya. Tapi berulang-ulang dia mengulanginya. Dengan
mengatakan cinta terus-terusan, Baban berharap, jawaban Wulan akan berubah
suatu kali. Atau kadang Baban tidak memperdulikan jawaban itu. Dia hanya ingin
mengatakan perasaannya terhadap Wulan. Apa lagi namanya perasaan ini selain
cinta?
“Kenapa jangan katakan cinta?” tanya Baban sambil mengusap-usap
rambut Wulan. “Kalau saya selalu ingat terus sama kamu. Kalau apa saja selalu
terlihat seperti kamu. Kalau tiba-tiba ada suara seperti suara kamu padahal
kamu tidak ada. Kalau malam sulit tidur, dan males makan karena ingat terus
sama kamu. Apa lagi namanya selain cinta?”
“Diberi nama apapun boleh, asal jangan cinta. Saya tidak percaya
lagi dengan cinta. Eh, kok hanya mengelus rambut, mana kebiasaanmu yang buas?”
Wulan menengadah, menatap Baban. Karena Baban hanya tersenyum, tanpa melakukan
apa-apa seperti biasanya, Wulan memulai. Tangannya menggelantung di leher Baban
dan bibirnya mencari-cari bibir Baban. Mereka terjatuh. Wulan menindihnya.
Tangannya cekatan membuka kancing baju Baban.
“Jangan lakukan!” Baban mendorong Wulan. Wulan terhenyak saat hampir
jatuh dari kasur. Dia tidak mengerti apa yang dilakukan Baban.
“Kenapa?”
“Saya tidak mau melakukan itu. Saya cinta sama kamu. Dengarkan,
Wulan, saya cinta sama kamu! Kamu harus menjawab selain dari jawaban yang
biasa!”
Wulan menarik napas panjang. “Apa itu penting?” tanyanya seperti
berbisik setelah beringsut ke samping Baban. Kancing bajunya yang sudah terbuka
setengahnya dibiarkannya. “Biasanya kamu kan tidak seperti ini. Biasanya kamu
buas.”
“Saya muak dengan semua itu, Wulan. Saya tidak hanya menginginkan
tubuh kamu. Saya ingin semuanya yang ada pada kamu. Saya ingin mencintaimu.
Kamu harus percaya, Wulan, saya mencintaimu!”
Wulan sekarang yang mengusap-usap rambut Baban. Pelan-pelan dia
menciumnya dalam-dalam.
“Saya ingin, kita pergi meninggalkan kota ini, dan tak pernah
kembali lagi. Percayalah, Wulan, kita akan bisa hidup wajar dengan penghasilan
saya. Saya punya beberapa kios di beberapa pasar. Kita bisa menjualnya dan
membeli kios baru di tempat baru.”
“Kamu tidak mengerti, Baban, kita tidak bisa seperti itu.”
“Saya tidak perduli kamu pernah dipakai oleh puluhan, bahkan ratusan
atau jutaan laki-laki. Saya tidak perduli, karena saya cinta sama kamu. Kita
akan membangun hidup baru, Wulan. Percayalah!”
“Saya percaya, Baban. Dan saya pun merasakan hal yang sama. Tapi
profesi saya menuntut untuk tidak seperti itu. Saya sudah bertahun-tahun
melakukannya. Saya sudah kenyang pengalaman dan tahu diri. Sejak saya tidak
bisa melanjutkan sekolah ke SMP, saya sudah menekuni pekerjaan ini. Kamu baru
beberapa bulan saja mengenal saya, mengenal perempuan.”
“Artinya kamu tidak percaya kepada saya, Wulan!”
Baban membereskan bajunya dan pergi. Wulan menarik napas panjang.
Jam tembok sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Tanpa membetulkan bajunya, Wulan
menarik selimut. Lebih baik tidur, takut nanti malam ngantuk, pikirnya.
**
Malam belum begitu tua ketika langganan Wulan itu datang. Si Bos,
begitu dia biasa dipanggil Wulan, datang bersama dua orang temannya. Sudah
pasti, kalau Si Bos datang, yang dicarinya adalah Wulan. Dan Si Tante, selalu
memberikan yang terbaik bagi langganan royal. Wulan akan ditarik meski sedang
menemani tamu lainnya yang minum bir.
Wulan memang senang setiap kedatangan Si Bos yang tidak tentu itu.
Si Bos biasa memanjakannya dan selalu memberikan bayaran yang lebih. Tapi malam
ini, ketika si Tante menariknya saat berjoget dangdut dan memberi tahu bahwa si
Bos mencarinya, Wulan kurang bergairah. Seminggu terakhir ini dia memang kurang
lincah, ketawanya tidak lepas dan sensual seperti biasa.
“Katanya kamu mau dibawa liburan ke Puncak, dua hari,” kata Si
Tante. Wulan biasanya tertawa manja bila berita seperti itu datang. Tapi kali
ini dia diam. Si Tante merasakan gelagat tidak baik.
“Mengapa?” Tanya Si Tante.
“Tidak apa-apa. Saya sebenarnya lagi senang di sini, menghabiskan
malam dengan berjoget, mendengarkan Evi Tamala.”
“Huss! Kamu kaya orang kasmaran saja.” Si Tante tertawa sambil
menggandeng Wulan. Perhatian kepada ‘anak-anaknya’ yang istimewa memang
istimewa juga. “Di sana juga bisa berjoget sepuasmu. Mau sambil telanjang juga
pasti dibolehkan oleh Si Bos. Eh, Si Bos sepertinya mau hura-hura. Dia datang
bersama dua orang temannya.”
“Saya mesti melawan tiga orang?”
“Huss! Si Bos tidak akan mau kamu dibagi bertiga. Kamu ini, kok
lucu, seperti yang baru saja mengenal Si Bos.”
Malam itu Wulan bersama dua orang temannya, Dewi dan Lia, dibawa Si
Bos dan temannya ke Puncak. Dua malam mereka berada di sana, di tempat
peristirahatan Si Bos. Bagi Wulan sebenarnya bukan yang pertama kali datang ke
sana. Dia biasanya bergembira, menikmati pemandangan alam yang indah, melayani
Si Bos yang kadang lembut kadang menyerbu tak tertahankan di ruangan mana saja
yang dikehendaki.
Tapi kali ini Wulan tidak bergairah, terlalu kacau untuk menikmati
jamuan Si Bos. Pikirannya memang dipenuhi oleh Baban, anak muda yang baru
beberapa bulan ini menjadi langganannya. Sudah dua minggu anak itu tidak datang
sejak marah dan pergi dari kamarnya. Awalnya Wulan tidak memperdulikannya. Dia
pikir, Baban akan kembali lagi dan melupakan kata-kata cintanya yang
menggelikan itu. Cinta. Ah, makhluk apa sih itu?
Wulan ingat saat pertama melihat Baban. Anak muda yang mungkin baru
20 tahun itu minum bir beberapa botol ditemani seorang temannya. Matanya
memandang jauh, tembus ke orang-orang yang sedang berjoget dangdut, tembus ke
tembok-tembok. Anak muda yang menggairahkan, pikir Wulan. Tapi mengapa mesti
datang ke lokalisasi seperti ini?
“Wulan, tolong temani tuh teman saya,” kata Yuki, pengunjung tetap
tempat Wulan bekerja. “Dia baru putus dengan pacarnya. Lamarannya ditolak calon
mertua. Dia kaya, anak juragan sayur. Bapaknya sudah meninggal, jadi
kios-kiosnya dikasihkan ke dia. Ininya tebal” Yuki menggesekkan jari dan
telunjuknya.
Malam itu Wulan menemani Baban minum bir sesanggup perut Baban
menampungnya. Dan saat Baban tak sanggup lagi, Wulan membopongnya ke belakang,
ke kamar tempatnya beristirahat. Siangnya, saat terbangun dan membuka selimut,
Baban terkejut. Dirinya berada di kasur dengan tidak memakai baju. Dan di
sampingnya, seorang perempuan, juga tidak berbaju, tidur lelap.
“Apa yang telah terjadi semalam?” tanya Baban setelah mandi dan
perempuan itu membuat kopi.
“Saya mengantar kamu ke surga.”
“Kalau begitu, saya ingin pergi ke surga lagi.” Baban menarik Wulan.
Wulan yang tidak menyangka kejadian itu, ikut terjatuh ke kasur. Sebelum dia
protes, Baban sudah menindihnya dengan buas.
Sejak itu Baban datang seminggu sekali dan hanya mau ditemani Wulan.
Dan Wulan, entah mengapa, sejak pertama melihatnya, sudah bermurah hati membawa
Baban ke kamarnya tempat istirahat. Selama ini, selain langganan royal seperti
Si Bos, semua tamunya dilayani di kamar-kamar tempat kerjanya. Selanjutnya
Baban datang hampir setiap malam. Meski tidak mau ‘main’, dia bisa datang hanya
untuk mendengar suara Wulan atau melihat wajahnya.
Wulan tertawa pertama kali mendengar pengakuan Baban. Dan setiap
Wulan membawa Baban ke kamar tempat peristirahatannya, anak muda itu tidak
henti-hentinya mengatakan cinta. Wulan tertawa mendengarnya. Ah, anak muda yang
lugu dan lucu. Dikiranya cinta itu apa?
Tapi sejak Baban ngambek dan tak datang-datang, Wulan tidak tertawa
mengenang pengalamannya dengan anak muda itu. Selama ini, selama ini tidak ada
langganannya yang seperti Baban. Langganan yang memaksa ingin ditemani nonton
film dan pulangnya sepanjang jalan dia mendekapnya. Wulan baru sadar, anak muda
itu memang beda dengan langganannya yang lain. Beda saat dia begitu bergetar
menggenggam tangannya, mencium tambutnya dan keningnya, mengusap-usap rambut
dan pipinya, tak henti-hentinya mengatakan cinta dan tak bisa melupakannya.
Ah, Wulan tak bisa mengerti mengapa
dirinya bisa menjadi tidak bergairah hanya karena tidak kedatangan seorang
langganannya yang bukan paling royal. Langganan yang baru beberapa bulan datang
ke lokalisasinya. Apa seperti ini namanya jatuh cinta? Wulan merasa lucu
memikirkannya. Seorang penjaja cinta sedang jatuh cinta. Tapi, Wulan mengakui,
sepanjang pengalamannya yang bertahun-tahun itu, dia tidak tahu apa-apa tentang
cinta. Cinta, ah, makhluk apa itu?
**
“Dua hari dua malam saya menunggu kamu di sini,” kata Baban. “Saya
cemburu dan marah begitu tahu kamu ada yang membooking. Saya ingin melupakan
kamu, Wulan, sejak kamu tidak mau diajak memulai hidup baru di tempat baru.
Tapi ternyata saya tidak bisa melupakan kamu. Saya benar-benar telah jatuh
cinta kepadamu.”
Wulan tidak bicara. Tangannya semakin kencang memeluk Baban. Malam
ini, sepulangnya dari Puncak, dia tidak ingin kerja. Si Tante menyetujuinya.
Wulan memang istimewa, karena bayarannya dari langganan tertentu seperti Si
Bos, paling mahal. Malam ini Wulan mengkhususkan diri untuk menemani Baban.
Mereka pergi ke gang belakang, ke kamar istirahat Wulan. Begitu sampai, Baban
tak sabar untuk menyerbu. Wulan tertawa. Begitu nikmat diserbu seperti itu oleh
orang tertentu.
“Pikirkanlah sekali lagi, Wulan. Kita pergi dari sini,” kata Baban
setelah permainan itu selesai. Wulan tidur di dada pemuda itu.
“Saya bisa menghidupi kamu dengan penghasilan yang besar. Kios-kios saya bisa mengeruk
untung jutaan rupiah sebulannya. Apa kamu tidak ingin punya anak? Punya rumah
sendiri, memelihara bunga, menunggu suami pulang kerja?”
Wulan memejamkan matanya. Membayangkan impian yang diucapkan Baban.
Ah, bukankah mimpi seperti itu berkali-kali dialaminya. Tapi mimpi,
sepengalamannya, hanya nikmat dalam khayalan, bukan dalam kenyataan.
“Mau, kan, Wulan? Kamu mau?”
“Kita tidak bisa hidup seperti itu, Baban. Kamu hanya mimpi. Kamu
tidak hapal bahwa hidup ini bukan mimpi, tapi kenyataan.”
“Maksudnya apa? Kamu tidak percaya, Wulan?”
“Lebih baik seperti sekarang saja. Kalau kamu butuh saya, saya akan
memenuhi keinginanmu, kapan saja. Tidak perduli saya sudah dipesan atau dibooking
langganan istimewa.”
“Tapi saya akan cemburu. Saya tidak
bisa melihat kamu dicolek orang lain, dibawa orang lain.”
Malam semakin tua. Suara jengkrik, semakin jelas terdengar.
**
Sejak malam itu Baban tidak lagi mengatakan cinta. Setiap malam dia datang ke tempat kerja Wulan. Tapi
Baban tidak mau ditemani siapapun, termasuk oleh Wulan. Kerjanya hanya minum
dan minum. Matanya menerawang jauh. Wulan merasa ada perasaan yang asing setiap
memandangnya. Perasaan yang menjadikannya kurang bergairah bekerja.
Dan entah malam ke berapa, Baban menarik Dewi ke pangkuannya. Dewi
terkikik. Tidak menyangka dia akan ditarik Baban seperti itu. Sudah lama Dewi
ingin merasakan langganan Wulan. Tapi anak muda itu tidak bisa lepas ke
siapapun dari pelukan Wulan. Saat Baban minta ditemani ngamar, Dewi semakin
terkikik.
“Saya nyobain deh gandengan kamu,” katanya saat melintas di depan
Wulan. Lalu tawanya terdengar begitu centil.
Wulan mencibir. Dia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya.
Sesuatu yang asing, yang selama ini tidak dikenalnya.
***
0 Response to "Jangan Katakan Cinta"
Posting Komentar