Yang Sempat Melintas
“Saya tidak bisa melupakanmu,” kata Joy, suatu senja. Jus avokad
yang ada di hadapannya diaduk-aduk, tanpa diminum. Kafe yang siang tadi ramai
dengan pengunjung, begitu senyap. Kursi-kursi dan meja membeku, seperti
kesunyian setelah ditinggal pergi. Angin yang menyisir pipi begitu perih.
Berulang kali saya mendengar kalimat itu diucapkan Joy dengan suara
bergetar. Sejak makan siang, ketika pengunjung memadat, kami duduk tanpa banyak
bicara. Obrolan para pengunjung dan suara piring yang beradu dengan sendok,
menciptakan suasana tersendiri. Begitu ramai, tapi begitu murung.
“Berulang-ulang saya jatuh cinta kepadamu,” kata Joy lagi.
“Tapi kita tidak bisa apa-apa.”
Tarikan napas Joy begitu jelas di hati saya.
“Kamu masih muda, Joy. Masih banyak gadis yang bersedia menjadi
pendampingmu.”
“Tapi saya hanya mencintaimu.”
“Mengapa?”
“Apa cinta perlu penjelasan? Bukankah cinta adalah keanehan manusia
dalam menjalani kehidupan ini?”
Tidak ada lagi yang bicara. Sisa hujan membuat suasana tersendiri di
jalanan lengang yang selalu saya nikmati kesenyapannya dari pojok kafe ini.
Sebentar lagi malam akan datang dan kafe ini ramai kembali. Pengunjung kafe ini
memang penuh ketika siang oleh para pegawai kantor, dan malam oleh orang-orang
yang makan di luar rumah.
Saya hapal betul keadaan kafe ini. Hampir setiap hari, sepulang
kerja, saya selalu menyempatkan diri untuk mampir sekedar minum jus atau makan
siang. Suasana di sini memang enak. Dari meja pojok yang biasa saya tempati,
pemandangan menyusur jalan yang rindang dengan pohon-pohon besar. Selalu senyap
jalan itu. Jarang ada kendaraan atau orang yang lewat.
Menikmati suasana murung seperti itu saya selalu ditemani Joy, rekan
kerja di kantor. Joy sebenarnya pegawai baru. Tapi karena dia sarjana,
kedudukannya setingkat dengan saya. Usia Joy tiga tahun lebih muda dari saya.
Saya banyak bercerita kepadanya, tentang apa saja, termasuk masalah-masalah
pribadi.
“Semua orang punya masalah, Mbak,” katanya suatu kali. “Kita harus
berusaha memetik pelajaran, mengambil hikmahnya.”
Ya, Joy memang pendengar dan penasihat yang baik.
Komentar-komentarnya menyejukkan dan memberikan dorongan. Sesekali bila ia
berhalangan menemani saya duduk-duduk di pojok kafe, saya merasa ada sesuatu
yang hilang. Tanpa terasa persahabatan kami telah berlangsung beberapa minggu.
Keakraban dan saling membutuhkan (awalnya saya tidak yakin dia membutuhkan
saya) mengalir begitu saja. Dia tidak lagi memanggil saya Mbak. Saya memang
yang menyuruhnya, biar tidak ada jarak di antara kami.
Joy adalah seorang lelaki romantis. Sesekali bila kami makan malam
di kafe atau tempat lainnya, ia datang dengan setangkai mawar di tangannya.
Pertama kali ia melakukan itu, saya gugup.
“Mestinya ini bukan untuk saya, Joy.”
”Ah, sama saja. Saya belum punya pacar. Kepada Ibu pun saya sering
membawa bunga bila pulang. Saya selalu memberikan bunga untuk orang yang saya
sayangi.”
Hari-hari berikutnya saya hanya tersenyum dan mengucapkan terima
kasih bila ia membawa bunga. Di rumah kontrakan, saya selalu menyimpan bunga
itu di vas yang cocok. Saya selalu tersenyum dan mengenang bila malam-malam
memandangnya. Seandainya suami saya, Mas Iman, yang melakukannya. Ah, sedang
apa Mas Iman saat ini?
Hingga suatu senja, ketika saya dan Joy menikmati kelengangan jalan
dari pojok kafe, Joy berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir dan rindu
kepadamu. Saya jatuh cinta.”
Saya merasa antara terkejut dan tidak mendengarnya. Terkejut karena
Joy tahu bahwa saya punya suami dan ia selalu menganjurkan agar saya berbaik-baikan
dengan Mas Iman. Tidak terkejut karena saya telah menangkap isyarat itu sejak
beberapa minggu terakhir ini. Isyarat dari tatapan matanya, perhatiannya, nada
bicaranya. Saya ingat ketika kami pulang nonton film dan kehujanan. Joy
mengusap-usap rambut saya di ujung gang (Joy selalu tidak mau untuk masuk ke
rumah kontrakan saya). Saat itu saya melihat matanya sangat lain. Saya
merindukannya tapi saya tidak berani memandangnya.
Saya menggeleng, tapi matanya tidak berhenti menatap saya.
“Kamu tidak sadar Joy.”
“Saya berulang-ulang memikirkannya. Saya selalu ingin melihat
wajahmu dan membelai rambutmu, tidak seperti rindu saya kepada Ibu.”
Tidak ada lagi yang bicara. Pengunjung kafe tinggal kami berdua.
Pelayan kafe yang tahu kami biasa ngobrol sampai senja, memutarkan lagu lama
yang dinyanyikan kembali oleh Yuni Shara. Saya tidak tahu apa judul lagu itu
dan siapa yang pertama menyanyikannya. Tapi syairnya telah menyatu dengan senja
yang kami miliki.
Cinta yang tumbuh di dalam hatiku
Telah bersemi karenamu
Hati yang suram kini tiada lagi
Telah bersinar karenamu
Barangkali pelayan itu mengira kami
sedang pacaran. Tapi, ngobrol bareng hampir setiap siang sampai senja, apa lagi
namanya kalau bukan pacaran? Di kota
besar seperti ini laki-laki dan perempuan berduaan, bisa ditemui di setiap
tempat. Memang sulit dibedakan apakah itu pasangan kakak-adik, bapak-anak,
tante-keponakan, suami yang selingkuh dengan gadis seusia anaknya, istri dengan
other man-nya, pegawai kantor yang sama-sama selingkuh, remaja yang
pacaran, orang tua yang pacaran, dan sebagainya.
Tapi, apa pedulinya semua itu bagi pelayan kafe? Laki-laki dan
perempuan yang ngobrol berdua di kafe ini bukan satu dua pasang. Dia telah
terlatih menangkap suasana di antara pasangan-pasangan itu. Dia hanya
menyesuaikan lagu-lagu yang diputarnya dengan suasana itu. Dia tidak perlu
tahu, apakah itu pasangan selingkuh, pacaran, suami-istri, adik-kakak, dan
sebagainya.
“Kita pulang, Joy. Kita tidak mungkin membicarakan masalah ini. Saya
sudah bersuami.”
“Saya tahu itu. Tapi saya tidak tahu kapan dan di mana perasaan ini
singgah. Tiba-tiba tempat yang pernah kita kunjungi jadi begitu mengesankan dan
saya rindu ingin melihat wajahmu dan membelai rambutmu. Saya tidak memaksakan
perasaan ini.”
Tanpa mendengarkan pengakuannya pun sebenarnya saya tahu. Apakah ada
di dunia ini yang tahu tentang cinta? Seorang Kahlil Gibran yang penghikmah pun
memahami cinta tidak pernah lengkap. Barangkali cinta adalah rahasia Tuhan bagi
umat-Nya.
Senja itu kami pulang tanpa banyak bicara. Saya membiarkan Joy
meremas jemari saya. Di ujung gang, sebelum berpisah, saya pun membiarkan Joy
mencium rambut saya. Angin yang menyisir wajah begitu perih.
“Kita tidak bisa mendiamkan perasaan seperti ini, Joy. Kita harus
tahu diri.”
Joy memandang saya begitu tajam. Ketika saya melangkah memasuki
gang, saya merasa ada sesuatu yang tidak terbawa pulang.
Ketika Mas Iman pulang, saya menyambutnya begitu suka cita. Saya
berlari ke halaman dan merebut bawaannya. Saya menggelayut manja di pundaknya.
“Jangan begini, Yen, Mas Cape,” katanya sambil melepaskan tangannya
dari pegangan saya. Tanpa basa-basi dan memandang saya lagi, ia ngeloyor dan
merebahkan diri di kursi panjang.
Ingin saya melemparkan tas dan bawaan Mas Iman lainnya. Sikap
seperti inilah yang tidak saya sukai. Tidak bertemu selama dua minggu tidak
menjadikan Mas Iman rindu kepada saya. Tapi bagaimanapun, ia adalah laki-laki
yang telah saya pilih untuk mendampingi saya (kalau bisa) seumur hidup. Saya
tidak semestinya membalas sikapnya itu dengan sikap yang dingin pula. Saya
harus bisa menciptakan suasana hangat yang harus dipunyai sepasang suami-istri.
Saya membawa segelas air dingin untuk Mas Iman.
“Minum dulu, Mas, biar segar,” kata saya sambil duduk di sampingnya.
Saya memegang tangannya dan menjatuhkan kepala di bahunya. “Saya rindu, Mas,
dua minggu kita tidak bertemu.”
“Kamu kenapa, Yen, manja. Kita kan biasa tidak bertemu selama dua minggu.
Jangan begini, dong. Mas mau mandi dulu dan tidur sebentar. Lelah baru pulang
dari lapangan, langsung ke sini.”
Saya memandang punggung Mas
Iman yang berlalu begitu saja. Saya tidak yakin bahwa ia adalah suami saya.
Sikapnya selalu begitu. Tidak pernah menampakkan rasa rindu dan sayang.
Barangkali yang dinamakan perhatian buat saya adalah oleh-oleh yang dibwanya.
Itu pun tidak pernah dibarengi dengan perkataan bahwa oleh-oleh itu khusus
dibeli buat saya.
Sikap seperti itu yang beberapa waktu lalu membuat saya
uring-uringan ketika ada kabar bahwa Mas
Iman punya kekasih di kota
tempat kerjanya. Dia hanya menggelengkan kepala ketika saya mengatakannya suatu
kali.
“Siapa yang membawa kabar jelek seperti itu, Yen?” katanya sambil
mengeluarkan map-map yang entah berisi catatan apa dari tas besarnya.
“Semua istri punya seribu mata dan telinga bagi tingkah laku
suaminya, Mas.”
“Ah, kamu mengada-ada. Kita harus saling mempercayai.”
Malamnya, ketika Mas Iman pergi ke kota tempat kerjanya, saya menangis. Mau
percaya bagaimana kalau sikapnya seperti itu, tidak menampakkan rasa rindu dan
kangen walau berpisah selama dua minggu? Padahal kami bisa dikatakan masih
pengantin baru. Baru setahun lebih kami menikah.
Saya merasa punya banyak rencana robot hidup dengannya. Kita tidak
usah dulu punya anak sebelum membuat rumah sendiri, katanya. Saya menurut, saya
memasang spiral. Baru setahun menikah, Mas Iman dipromosikan menjadi pengawas
di kota
kabupaten. Saya mau pindah atau keluar dari pekerjaan yang sekarang, tapi Mas
Iman melarang. Kita harus menabung dan bekerja keras, katanya. Biarlah kita
berpisah sementara, kita bertemu dua minggu sekali. Saya nurut. Tapi saya tidak
bisa ditidakacuhkan terus-terusan seperti ini. Saya perlu dimanja, disayang,
dibelai, dikasih harapan-harapan yang menyenangkan.
Mas Iman awalnya memang pilihan Ibu. Saya kurang begitu kenal ketika
menerima lamarannya. Tapi saya sudah memutuskan untuk mencintainya. Saya akan
mengabdi kepadanya sebisa mungkin.
Ternyata memang tidak gampang belajar mencintai orang yang belum
begitu kita kenal wataknya. Mas Iman yang tidak bisa bergaul dan dekat dengan
perempuan, ketika dikabarkan punya pacar di kota tempatnya bekerja, tidak menyangkal
keras tuduhan saya. Dia hanya menganggap saya mengada-ada sambil tidak mengubah
perhatiannya kepada saya. Apa saya tidak curiga? Apa saya tidak sakit hati?
Ketika saya mengadu kepada Mama, dia hanya menasihati dan mengatakan, Mas Iman
itu orangnya memang begitu tapi jujur dan baik.
Saat itulah saya mendapatkan seorang pendengar dan penasihat yang
baik, Joy, meski awalnya kami tidak berharap ada perasaan lain dalam
persahabatan kami. Tapi kita, seperti kata Joy, tidak pernah tahu kapan dan di
mana perasaan singgah. Hal seperti itu mengalir begitu saja, tanpa
direncanakan.
**
Saya bersikeras meminta Mas Iman pindah ke kota tempat saya bekerja atau sebaliknya,
meski saya harus keluar dari pekerjaan.
Dan saya memberi tahunya bahwa saya akan membuka spiral, saya ingin punya anak.
Seperti biasa, ia hanya manggut-manggut.
“Saya serius, Mas.”
“Iya, dan keinginanmu akan terkabul, Yen. Mas memang punya rencana
dipindahkan lagi ke sini dan kita akan mendapat bantuan perumahan.”
Entah saya gembira atau tidak
mendengarnya. Saya hanya punya satu tekad untuk memberi tahunya bahwa
saya perlu dimanja, dibelai, diceritai hal-hal yang manis. Tapi saya belum tahu
cara yang tepat. Selama ini, bila saya butuh mengadu dan dimanja, saya akan
datang kepada Joy. Dan laki-laki itu saat ini akan pindah meninggalkan kota ini ketika saya beri
tahu bahwa Mas Iman akan pindah ke sini.
“Kenapa mesti pindah, Joy?” tanya saya. “Kita bisa memperbaiki
hubungan kita. Kamu bisa jadi adik saya atau keponakan.”
“Di depan suamimu atau siapa saja, saya yakin pasti bisa mengubah
sikap. Tapi saya tidak bisa mengubah perasaan.”
Jalanan lengang jadi semakin senyap saya rasakan. Seperti biasa,
senja ini kafe hanya berpengunjung dua orang, kami. Yuni Shara menyanyikan lagu
yang itu-itu juga.
“Saya akan pindah kerja. Atau kalau birokrasinya sulit, saya akan
keluar. Jangan dikhawatirkan, saya masih muda dan mesti banyak pengalaman.”
Mengantar kepergian Joy di stasiun kereta, saya menangis. Hal yang
tidak pernah saya lakukan ketika Mas Iman pergi. Saya menyesali diri sendiri,
karena perasaan ini ada. Barangkali sama dengan penyesalan Joy yang diungkapkan
kepada saya.
“Barangkali salah saya telah mencintaimu. Tapi saya tidak bisa
membendung perasaan ini,” katanya. Tangannya erat sekali meremas jemari saya.
Malam sehabis hujan berudara dingin. Dia membetulkan jaket saya. “Saya
berulang-ulang jatuh cinta kepadamu,” lanjutnya pelan. Dia mencium rambut dan
kening saya. Saya ingin menjatuhkan hati saya seperti kepala saya yang terbenam
di pelukannya.
Sebelum naik kereta, Joy membuka jaketnya dan mengeluarkan setangkai
mawar dari saku dalamnya. Kami tidak bicara lagi sampai dia melambaikan tangan
dari jendela kereta. Tapi saya dapat membaca banyak kata dari matanya.
Stasiun begitu sunyi ketika kereta semakin menjauh. Saya cepat
pulang dan melupakan segalanya. Saya berdosa kepada Mas Iman. Tekad saya hanya
satu, mengubah hubungan dengan Mas Iman selama ini.
Setelah Mas Iman pindah ke kota
tempat saya bekerja, saya menata rumah dengan bunga-bunga. Seminggu dua kali,
setiap senja, saya mengajaknya jalan-jalan. Tapi baru dua kali kami menikmati
senja dari pojok meja kafe, setelah makan, Mas Iman mengajak pulang.
“Sebaiknya kita tidak sering makan di luar. Kita harus kerja keras
dan menabung,” katanya.
Begitu sunyi jalanan yang jarang dilewati orang itu. Tapi di hati
saya, jalan-jalan lebih senyap. Saya tidak tahu, perasaan ini ketakutan atau
harapan, ada laki-laki yang lewat, setidaknya seperti Joy.
***
Femina, lupa tanggal terbitnya
Femina, lupa tanggal terbitnya
0 Response to "Yang Sempat Melintas"
Posting Komentar