Pohon Tumbuh di Atas Kepala
Setiap pulang ke
Cihegar, Aini selalu ingat dongeng anak yang di atas kepalanya tumbuh pohon. Bu
Erum yang mendongengnya. Selepas mengaji di surau, anak-anak melanjutkannya
dengan mendengarkan dongeng Bu Erum di bale-bale rumahnya. Rumah Bu Erum
bersebelahan dengan surau. Ustad Soleh, yang mengajar mengaji, adalah suami Bu
Erum. Tapi Ustad Soleh tidak pandai mendongeng. Hanya Bu Erum yang bila
mendongeng selalu membuat anak-anak terpesona. Suami istri setengah baya yang
menyukai anak-anak itu belum mempunyai anak.
“Karena anak itu
sangat suka dengan pepohonan, suatu hari dari atas kepalanya tumbuh tunas,”
kata Bu Erum dengan mimik khas.
Aini masih ingat
bagaimana ia dan teman-temannya tertawa mendengarnya. Terbayang, kalau di atas
kepala ada pohon. Wah, ribet. Pasti malu. Pasti diejek oleh teman-teman.
“Tapi anak itu
tidak menangis. Karena meski pohon itu semakin membesar, berbatang kuat,
tinggi, berdaun lebat, berbunga, berbuah, tidak terasa berat, tidak membuat
pusing,” kisah Bu Erum. “Malah anak itu semakin banyak yang menyukai.”
“Kan malah
nyusahin, Bu. Mau masuk ke rumah tidak bisa, mau masuk ke kelas tidak bisa,”
kata Esep.
“Anehnya,”
lanjut Bu Erum dengan mimik dan nada khas. Aini selalu tersenyum mengingat
mimik dan nada Bu Erum saat mengucapkan kata itu. Sampai sekarang, setelah
berusia dua puluh dua tahun, setelah melihat pertunjukan para pembaca puisi
hebat atau aktor terkenal; Aini tetap merasa mimik dan nada Bu Erum saat
mengucapkan kata ‘anehnya’ yang paling mempesona.
“Pohonnya
mengecil kalau anak itu masuk ke dalam rumah. Saat anak itu tidur, makan,
belajar di kelas, bermain di dalam ruangan, pohonnya mengecil. Pohon itu tidak
mengganggunya.”
“Bagaimana dia
bisa disukai banyak orang, Bu?” tanya Isal.
“Saat anak itu
keluar ruangan, pohon itu meninggi dan membesar lagi. Daunnya lebat, batangnya
kuat, bunganya membuat betah yang memandangnya, buahnya bergantungan membuat ngiler
yang melihatnya,” lanjut Bu Erum. “Bukan hanya orang yang menyukai anak itu.
Tapi juga banyak binatang. Burung membuat sarang, bertelor, beranak, di pohon
itu. Ulat mencari makan, menjadi kepompong, lalu terbang menjadi kupu-kupu yang
indah. Dan banyak lagi binatang, mungkin ribuan jumlahnya, yang rupa dan
namanya saja kita tidak tahu saking kecilnya.”
“Buah-buahannya
bisa diambil, Bu?” tanya Oteng.
“Susah dong
memetik buahnya! Kasihan anak itu,” kata Rena.
“Kecuali kalau
dilempar! Seperti kalau Oteng melempar rambutan Haji Dulah!” komentar Roro.
“Aku kan
melempar rambutan karena Haji Dulah tidak pernah ngasih,” kata Oteng sambil
tersenyum malu.
Anak-anak
semakin riuh. Semuanya memberi komentar.
“Pohon ini kan
ajaib,” lanjut Bu Erum. Anak-anak langsung terdiam. Aini masih hapal meski
tidak bisa menirukan, bagaimana nada suara Bu Erum saat menekan kata ‘ajaib’
yang sanggup membuat anak-anak terdiam. “Siapapun yang meminta diberinya,
sampai kenyang. Caranya, tidak usah dilempar atau dinaiki atau dijorok pakai
galah. Cukup anak itu meminta, buah-buahan itu akan berjatuhan.”
@@@Untuk baca lebih lanjut, KLIK ini.
0 Response to "Pohon Tumbuh di Atas Kepala"
Posting Komentar