Calon Menantu

Cerpen Calon Menantu Yus R. Ismail

Tentu sangat gembira mendapat kabar dari Nadia, anak saya satu-satunya, tentang pacarnya yang katanya calon menantu saya.
“Kalau Umi mau ke sini, lebih baik hari Minggu,” kata Nadia waktu saya menghubungi lewat telepon. “Bila hari Minggu, saya dan Kang Sutardi kan libur.”
Saya tidak mengajak Abi, suami saya, pergi menengok Nadia. Pertama karena Abi sepertinya sibuk persiapan membuka cabang baru kios bakso kami. Kedua karena Mamih, ibu saya, neneknya Nadia, sangat antusias sekali ingin ikut, apalagi saat diceritakan Nadia ingin mengenalkan pacarnya yang dikatakannya calon menantu saya.
Jadinya hari Minggu sore saya dan Mamih berangkat naik KRD dari stasiun Bandung. Saya kira hari Minggu kereta KRD akan kosong. Ternyata ngantri di loket juga termasuk panjang. Beberapa gerbong saya masuki, tidak juga ada tempat duduk yang kosong.
Di stasiun Kiaracondong KRD berhenti. Sepertinya belum ada penumpang yang turun. Tapi penumpang yang masuk masih banyak. Ada yang ikut melangkah di tengah gerbong yang penuh, entah mau kemana, karena gerbong di belakang juga sama penuhnya.
Ada seorang kakek terdorong ke tengah mendekati saya. Berdiri di tengah, tidak kebagian untuk bersandar. Keringat berbutir bening memenuhi keningnya. Beberapa kali kopiah hitam penutup kepalanya dibuka sambil melihat ke sekeliling, mungkin mencari tempat yang lebih nyaman. Tidak membawa apa-apa. Tapi meski begitu, kakek itu terlihat lebih mengkhawatirkan dibanding yang lain. Kakinya bergetar, seperti yang mau ambruk.
Saya ikut berkeliling melihat penumpang lainnya. Hampir semuanya penumpang yang duduk sudah tua. Ada juga wanita muda yang sedang menyusui. Kasihan kalau dia mesti berdiri. Di depan ada sepasang anak muda, sepertinya sedang berpacaran. Tangan lelaki berjaket jeans itu memeluk pacarnya. Mereka sedang bermain games di tablet. Kadang saling berbisik dan tertawa kecil. Sepertinya mereka tidak perduli dengan sekelilingnya. Masa sih mereka tidak tahu dua langkah dari mereka ada seorang kakek yang berdiri dengan kaki bergetar mau ambruk?
Tangan saya merasa gatal juga ingin menepuk yang sedang berpacaran itu. Ingin ngasih tahu, mereka memang berhak duduk di sana karena lebih dulu menempatinya, tapi kasih sedikit empati bagi seorang kakek yang berdirinya mau ambruk.  Saya akhirnya hanya berdehem dua kali. Pemuda si jaket jeans sekilas melihat ke arah saya, diikuti oleh pacarnya. Tapi kemudian mereka asyik lagi ke dunia gamesnya sambil saling berbisik dan tertawa kecil. 
Saya yakin, mereka itu bukannya tidak tahu ada seorang kakek yang berdirinya mau ambruk. Tapi keduanya tidak punya hati, tidak empati terhadap kesusahan yang lain, tidak menyayangi orang yang menderita. Saya segera menepuk tangan si kakek.
“Bapak, silakan bersandar di sini,” kata saya sambil menggeser tempat berdiri. Penumpang lain yang berdiri memberi jalan kepada si kakek. Si kakek tersenyum lega sambil berkali-kali berterima kasih. Saya balas tersenyum. Ya, saya merasa yakin, saya akan lebih kuat berdiri darinya. Usia saya baru 47 tahun, belum terlalu tua untuk berdiri di gerbong kereta.
**
Nadia mencium dan memeluk ketika saya dan Mamih datang. Saya tentu tidak kalah erat memeluknya. Meski bulan kemarin bertemu, tapi selalu ada rasa rindu kepadanya. Kalau menurut keinginan, mestinya Nadia tetap tinggal di rumah seperti dulu. Tapi bila begitu, artinya rasa sayang saya tidak bijaksana.
“Mana calon mantu Nenek itu?” tanya Mamih. Saya pura-pura tidak mendengar meski telinga disiapkan untuk mendengarnya, karena sama-sama ingin segera tahu.
“Katanya bakda Magrib mau ke sini, Nek. Tadi pagi katanya mengantar dulu ibunya berobat ke Bandung,” jawab Nadia sambil tersenyum.
“Kenapa belum diajak ke rumah?” Mamih bertanya lagi seperti yang tidak sabar. “Kenalkan dulu ke Umi dan Abi, ke Nenek-Kakek. Jalan-jalan dulu. Bibik, Paman, Uwak, semuanya ingin segera bertemu, ingin tahu calonnya Nadia.”
Nadia tersenyum malu. “Bertemunya juga belum lama, Nek. Katanya Kang Sutardi guru mengaji di mushola di Majalaya,” katanya mulai bercerita. “Baru kenal juga sudah kirim-kirim WA terus. Nadia takut jadi dosa. Waktu bertemu kedua kalinya di pengajian Masjid Raya Cicalengka, Nadia bilang tidak mau dikirim-kirim WA. Kang Sutardi malah bilang ingin mengkhitbah. Nadia juga kan keinginannya seperti itu. Tidak mau berlama-lama ta’aruf, apalagi pacaran. Kata Nadia, boleh mau mengkhitbah, kasih waktu saja mau sholat istikharah dulu. Kang Sutardi malah ingin bertemu dengan Umi, dengan Abi, katanya mau mengkhitbah langsung.”
Saya masih belum memberi komentar apapun. Tenggorokan rasanya kering, takut salah bicara. Di lingkungan pengajian anak-anak muda, mungkin perjodohan itu seperti itu berlangsungnya. Tidak ada istilah pacaran, tidak ada jalan-jalan, apalagi sambil berpegangan tangan atau berpelukan. Menyegerakan khitbah itu juga kan maksudnya untuk menghindari perilaku yang mereka anggap mendekati perilaku berdosa.
Nadia sudah sholat istikharah?” Mamih bertanya lagi.
“Malam itu juga Nadia sholat istikharah, berdo’a berpanjang-panjang. Nadia ingin disegerakan, didekatkan, dihalakkan, bila betul dia itu jodoh Nadia. Tapi juga cepat dijauhkan bila bukan jodoh Nadia yang terbaik.”
Saya hanya tersenyum kecil mendengarnya. Perasaan, seingat saya, usia dua puluh tahun saya tidak berpikir seperti itu. Halal dan haram dalam pergaulan lain jenis kelamin pun mungkin tidak begitu tahu. Makanya meski kepada anak, hati terdalam saya menghormati Nadia. Bagaimanapun, Nadia lebih sholehah dibanding saya.
Waktu Magrib tiba, kami sholat berjamaah bertiga. Lalu berdo’a masing-masing. Belum selesai berdo’a ketika ada yang mengucapkan salam, lalu mengetuk pintu. Nadia berdiri membuka pintu. Jantung saya berdetak lebih cepat. Bagaimanapun, perasaan ini masih belum tenang. Saya akan mempunyai menantu, punya anak baru, dan berpisah dengan Nadia mungkin lebih lama dan lebih jauh karena harus mengikuti kemana suaminya mencari nafkah.
Saya dan Mamih ke ruang tamu. Tempat kost Nadia ini berupa rumah yang ada delapan kamar. Ada ruang tamu untuk semua yang kost. Pemuda yang duduk di kursi itu berdiri, mengangguk, waktu saya dan Mamih datang.
“Ini Kang Sutardi, Umi, Nenek,” kata Nadia.
Pemuda yang mau menyalami saya itu terdiam. Lalu menunduk. Tangannya bergetar. Kakinya juga bergetar, seperti kakek yang berdiri mau ambruk di tengah gerbong KRD yang penuh. Tentu, saya hapal kepada pemuda itu. Hapal jaket jeans yang dikenakannya. ***

Catatan:
Khitbah = melamar
Ta’aruf = perkenalan
           Istikharah = sholat sunat meminta petunjuk Allah swt dan keyakinan di hati.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Calon Menantu"

Posting Komentar