SUARA TUHAN

cerpen suara tuhan

“Suara Tuhan itu sekarang sedang menuntunmu, sedang ada dalam tubuhmu,” kata Parsyah.
Luguwan termenung. Betulkah Suara Tuhan ada dalaman tubuhnya dan sedang menuntunnya? Pertanyaan itu mampir juga di benaknya. Setelah sekian lama tidak memperdulikannya, Luguwan akhirnya luluh juga.
“Makanya turuti saja Suara Tuhan itu. Banyak orang, bbaaannyyaaakk sekali, yang menginginkan seperti dirimu,” kata Parsyah lagi.
Luguwan sebenarnya orang yang sederhana. Sebagai anak yang lahir dari keluarga buruh tani yang miskin dia tidak punya keinginan yang aneh-aneh. Kalaupun ada yang disebut aneh, untuk ukuran di kampungnya, saat lulus SMP Luguwan begitu bersemangat melanjutkan ke SMK.
Tapi setelah lulus SMK, keinginan aneh itu malah mendapat cemooh. Ya, karena setelah melamar pekerjaan ke sana  ke mari, jadi honorer sekalipun, tidak ada yang mau menerimanya secara gratis. Akhirnya ikut bapak, tetangga dan saudara-saudaranya, jadi buruh tani lagi di kebun-kebun milik orang kota.
Karena tidak kuat menghadapi cemooh dan tertawaan orang-orang yang selalu bilang “ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau hanya jadi buruh tani”, Luguwan lalu ke kota dan bekerja di tukang bakso. Bukan pedagang bakso besar tempat Luguwan bekerja. Hanya roda bakso kecil yang mangkal di depan sebuah perumahan kecil.
Tugas Luguwan sendiri mulai dari menyiapkan roda, meladeni pelanggan, cuci mangkok-gelas, lalu juga belanja dan meracik. Lima tahun kemudian setelah melamar Siti Suciati, gadis sederhana yang bekerja sebagai tukang cuci piring di rumah makan Padang, Luguwan pulang ke kampungnya. Dia berdikari dengan berjualan bakso keliling dari kampung ke kampung menggunakan motor.
Empat belas tahun kemudian usahanya berkembang menjadi sebuah warung bakso yang lumayan besar, sepuluh motor yang berkeliling ke berbagai penjuru kota kabupaten. Saat itulah, saat anak semata wayangnya lulus SD, Luguwan ingin memasukkan anaknya ke pesantren.
“Kamu jangan hanya bisa baca Qur’an sekedarnya, Jang. Kamu harus tahu ilmu membaca yang benar, harus hapal di luar kepala. Di jaman yang semakin banyak godaan ini, sabda Tuhan dalam kitab suci akan semakin berguna, Jang,” kata Luguwan kepada anaknya.
Tapi mau apa dikata ketika Luguwan tidak menemukan pesantren yang cocok untuk anaknya belajar. Pesantren sekarang berbeda dengan dulu. Saat kakek-neneknya berkisah masuk pesantren hanya cukup modal kemauan, membantu-bantu di rumah kiai, membawa hasil tani alakadarnya bila pulang; sekarang tidak ada lagi. Masuk pesantren itu mahal. Jadi hafidz Qur’an itu butuh jutaan bahkan puluhan juta rupiah ketika masuk. Malah jauh lebih mahal dari masuk kuliah.
Sebagai juragan bakso, Luguwan sebenarnya sanggup saja membayar 10-20 juta rupiah untuk sekolah anaknya. Tapi dia melihat anak-anak tetangga, saudara, orang-orang kampung lainnya yang mayoritas hidup sederhana. Mereka hanya bisa belajar iqro di masjid dan madrasah. Hapal huruf dan bisa baca huruf sambung saja sudah bersyukur.
“Begitulah keinginan saya, Ustadz. Saya merasa sakit hati dengan pesantren-pesantren yang untuk masuknya saja harus punya uang puluhan juta rupiah. Bagaimana anak-anak saudara kita, tetangga kita, yang untuk makan saja sering kerja serabutan, apakah mereka tidak punya hak untuk masuk Surga?” kata Luguwan kepada Ustadz Yusuf, sahabatnya yang menjadi pengajar di sebuah madrasah kecil.
“Ana sudah lama mengkhawatirkan itu. Ana terharu bila Antum punya rencana seperti itu,” kata Ustadz Yusuf dengan berurai airmata.
Maka dibangunlah sebuah rumah sederhana. Awalnya anak tetangga, saudara, orang-orang kampung, belajar di Rumah Qur’an Luguwan. Guru-gurunya adalah anak-anak muda yang tidak saja mencari pekerjaan, tapi juga ingin membaktikan ilmunya. Mereka adalah para hafidz dan hafidzah lulusan pesantren besar dan perguruan tinggi di Mesir, Turki, Yordania dan lainnya.
“Anak siapapun boleh belajar di sini. Mulai dari iqra sampai menjadi hafidz dan hafidzah, bayarannya semampunya. Modal utamanya adalah kemauan, keseriusan, dan semangat untuk hidup lebih baik dengan mengerti Al-Qur’an yang sesungguhnya.” Begitu biasanya bila Luguwan pidato membuka tahun ajaran baru. “Anak siapapun boleh belajar di sini. Anak orang Persis, Muhammadiyah, NU, partai ini partai itu, pemilih presiden no 1 atau no 2; boleh belajar di sini. Asal syaratnya, orang tuanya jangan berantem.”
Dengan rumah belajar yang sederhana itulah, siapa sangka Luguwan menjadi sangat terkenal. Sosok, Rumah Qur’an, warung baksonya, seringkali hilir mudik di media massa dan media sosial. Saat itulah Parsyah datang dan datang lagi menemui Luguwan dan mengatakan hal yang sama.
“Suara Tuhan itu sekarang sedang menuntunmu, sedang ada dalam tubuhmu,” kata Parsyah.
Akhirnya Luguwan pun menurut. Dia menjadi nomor urut 1 dari Partai Rantai yang dipimpin Parsyah di kabupatennya dalam Pemilu Legislatif. Dan betul saja, tanpa promosi yang berlebihan sekalipun, tanpa memasang poster di pohon-pohon dan tembok-tembok pun, Luguwan terpilih menjadi salah seorang yang terhormat Wakil Rakyat.
“Suara Rakyat itu Suara Tuhan, dan itu sekarang sedang berbisik di hatimu. Dengan menjadi Wakil Rakyat, tidak saja Rumah Qur’an yang kecil dan sederhana yang bisa kamu persembahkan buat masyarakat, tapi jjaaauuuhhh lebih besar dari itu,” kata Parsyah.
Luguwan percaya itu. Dan memang betul, beberapa tahun kemudian rumah belajar sederhana dengan guru-guru muda yang shaleh dan shalehah itu sudah berubah menjadi pesantren dengan masjid yang megah. Anak-anak pejabat, anak-anak orang kaya, para kenalan Luguwan yang semakin banyak, mulai belajar di Pesantren Luguwan. Pengelola yang pikiran bisnisnya lebih modern mulai direkrut.
Dan Luguwan sendiri, sudah berubah juga. Dia tidak seramah dan sesederhana dulu. Luguwan semakin pandai berorasi dan semakin sensitif. Dia cepat curiga terhadap apapun yang menyentuh sensitifitasnya.
“Orang yang duduk di pojok itu patut dicurigai. Dia sudah bicara tidak jelas. Dia sudah melakukan penghinaan. Dia harus diperiksa!” kata Luguwan setelah jadi pembicara dalam Diskusi Politik Untuk Publik.
Orang yang duduk di pojok  itu pun ditangkap. Tuduhan pencemaran nama baik disematkan kepadanya. Tapi sebelum masuk ke pengadilan, asisten pribadi membisikkan sesuatu kepada Luguwan.
“Kami sudah periksa semua kamera yang merekam kegiatan kemarin itu, Pak. Orang itu tidak mengatakan apapun. Memangnya kata-kata apa yang terdengar oleh Bapak?” kata asistennya.
“Oh, tidak. Tidak apapun.”
Begitulah, Luguwan jadi cepat curiga dengan orang-orang yang sepertinya mengatakan sesuatu. Dia mendengar dengan jelas kata-kata itu. “Suara Rakyat itu Suara Tuhan. Tapi Suara Tuhan telah kamu bungkam!” Begitu Luguwan mendengarnya.
Setahun menjelang masa jabatannya selesai, Luguwan tertangkap tangan KPK menerima uang 5 miliar rupiah saat mengatur perijinan Perumahan dan Sekolah Internasional di kotanya. Semua orang terkejut. Beritanya cepat viral di media massa dan media sosial. Pro kontra, percaya dan tidak, tidak pernah ada habisnya. Orang-orang terdekatnya melakukan pembelaan. Di masjid megah yang didirikannya, setiap malam digelar doa bersama untuk Luguwan.
Sementara Luguwan sendiri, di dalam penjara, semakin yakin, suara yang mengejek itu memang ada. Semakin jelas. “Suara Tuhan telah kamu bungkam!” kata suara itu.
Suara dari dalam hatinya sendiri. ***

Sumedang, 8 Desember 2018

Cerpen ini terbit harian Fajar 8 September 2019

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SUARA TUHAN"

Posting Komentar