BERTEMU WALI

Cerpen Yus R. Ismail

Pagi berkabut turun di desa Karang Tumaritis. Matahari kalah bersaing dengan gerimis yang kemudian turun. Orang-orang seperti yang malas untuk pergi bekerja. Udara memang dingin mencucuk tulang.
Tapi di rumah Kang Alpan terasa hangat dengan kedatangan Dirman.
“Apa yang dikatakannya, Dir?” tanya Kang Alpan.
“Wah, lupa Kang. Melihatnya berjalan saja, dengan senyumnya yang khas, membuat saya terpana,” kisah Dirman.
“Berjalannya memang seperti itu? Tangan yang satu ke depan, dan tangan yang satunya lagi ke belakang?”
“Ya, keseimbangan, Kang.” Dirman seperti yang terperanjat. “Betul Kang, beliau mengatakan itu. Hidup haruslah seimbang. Orang hebat itu bukan yang tidak pernah salah. Tapi orang yang cepat memperbaiki kesalahannya dan tidak pernah mengulanginya lagi. Beliau kan Wali, Kang.
“Lalu?”
“Lalu beliau berjalan. Di ujung jalan, beliau naik tangga. Tangga cahaya, Kang. Ke langit.”
Kang Alpan berdecak kagum. Lalu tatapan matanya beralih ke luar rumah, ke hamparan kabut yang mulai menipis. Sudah lama dia ingin bertemu dengan Wali. Sejak kecil Kang Alpan sudah mendengar cerita tentang Wali yang wujudnya seperti Semar, kadang dilihat penduduk berkeliling kampung. Kata bapaknya, ibunya, kakeknya, itulah leluhur Karang Tumaritis yang selalu menjaga keseimbangan mental orang Karang Tumaritis.
Berbagai usaha telah dilakukan Kang Alpan. Puasa, berjikir, tidak makan dari yang bernapas, sedekah, dan entah apa lagi. Tapi malah Dirman, sekretarisnya, yang mendapat rejeki didatangi beliau.
**

Kabar Dirman bertemu Wali segera menyebar ke seluruh desa. Dirman selalu ditanya oleh orang-orang desa yang ingin tahu. Pasar, warung kopi, kebun, sawah, menjadi tempat menyebarnya kabar itu. Ketika orang-orang yang sedang membicarakan Wali itu melihat Dirman, mereka segera memanggil sekertaris desa itu dengan hormat.
“Kang Dirman, mampir dulu sini,” kata Pak Jaju saat Dirman lewat ke gubuk di pinggir sawah. Dirman meminggirkan sepeda ontelnya. Sudah biasa dia mampir ke tempat orang-orang desa berkumpul. Sekedar menengok, atau ingin tahu apa yang sedang menjadi permasalahan orang-orang desa.
“Kang Dirman, apa ada petunjuk dari pertemuan sampean itu?” tanya Pak Jaju mewakili lainnya. Ada sekitar sepuluh orang petani yang waktu itu berkumpul di gubuk pinggir sawah. Mereka sedang istirahat setelah menyiangi padi, membersihkan rumput-rumput gulma yang akan mengganggu pertumbuhan padi.
“Pertemuan yang mana, Pak?” Kang Dirman malah balik bertanya.
“Itu, pertemuan sampean dengan yang kita impikan itu, kangjeng Wali.”
“Oh, saya hanya bermimpi melihatnya, Pak. Tidak ada petunjuk apa-apa.”
“Apakah beliau tidak mengisyaratkan, sebaiknya musim tanam sekarang sawah itu ditanami palawija karena airnya semakin susah?”
“Haha... Pak Jaju ini. Tidaklah. Saya hanya bermimpi melihatnya.” Kang Dirman tertawa renyah. Sementara para petani yang ada di sekitarnya begitu seksama mendengarkannya, ingin tahu apa yang telah terjadi. “Artinya, kita harus tetap bekerja giat di bidang kita masing-masing. Petani ya bertani yang rajin, pedagang ya berjualan yang jujur, pegawai ya bekerja yang semangat.”
Begitu biasanya Kang Dirman akan berkata bila orang-orang desa memanggilnya. Dia tidak pernah mengatakan sejujurnya apa yang dilihatnya. Dia takut orang-orang desa menjadi terganggu dengan berbagai bayangan yang ada di kepala mereka. Tidak mengatakan yang sejujurnya pun, mimpi Dirman bertemu Wali itu berkembang ke mana-mana. Katanya Dirman nantinya akan menjadi pejabat negara. Katanya desanya akan subur makmur meski tanpa bekerja yang rajin. Katanya desanya akan dicoba dengan berbagai bencana kecil sebelum semakin makmur.
Dirman hanya mengatakan yang sejujurnya kepada Kang Alpan.
**

Suatu pagi Dirman terburu-buru ke rumah Kang Alpan.
“Saya bermimpi ketemu lagi, Kang,” kata Dirman dengan suara yang lemah dan gugup. “Tapi beliau marah kali ini.”
“Marah? Marah bagaimana?”
“Katanya, dia tidak suka dengan apa yang dilakukan Haji Fahri. Meski sudah ke tanah suci, Haji Fahri mendaftarkan anaknya menjadi polisi lewat jalur belakang, dengan membayar tiga ratus juta rupiah entah kepada siapa.”
Kang Alpan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lalu juga beliau tidak suka kepada Ceu Omoh, pedagang daging ayam di pasar, karena Ceu Omoh sering mengurangi timbangan. Pak Sutar juga dikritik. Kata beliau, jangan menyalahgunakan jabatan bendahara hanya untuk memperkaya diri sendiri. Karena kekayaan seperti itu hanya akan melilitnya seperti ular, bukan membebaskannya.”
Kang Alpan terdiam. Dia mulai berpikir, apa yang dikatakan Wali adalah amanat. Wali bukan hanya mengoreksi Haji Fahri, Ceu Omoh, dan Pak Sutar, tapi yang utamanya adalah menegur dirinya sebagai kepada desa.
“Apa lagi yang dikatakannya, Dir?” tanya Kang Alpan.
“Tidak ada. Hanya itu, Kang. Lalu seperti mimpi yang lalu, beliau pergi lagi, berjalan meniti tangga cahaya, ke langit yang bercahaya.”
Kang Alpan terdiam beberapa jenak. Ada yang harus dikerjakannya sebagai kepala desa, tapi apa? Wali pasti memberikan petunjuk dengan perilaku dan perkataannya, tapi apa?
“Kang, kenapa mesti saya yang dipilih beliau. Saya selalu bersedih yang sangat, kadang sehabis bertemu saya menangis, karena saya pun merasa bukan orang yang bersih,” kata Dirman.
“Hus, jangan berkata begitu. Kamu itu orang pilihan, Dir. Karena kamu dekat dengan aku. Dan aku pun harus berani menyampaikan pesan beliau kepada orang-orang yang ditujunya. Tentu saja harus dibarengi dengan kamu.”
**

Kabarnya ketika Kang Alpan dan Dirman menemui Haji Fahri, Ceu Omoh, dan Pak Sutar, ketiga tokoh desa itu menangis. Mereka menyesali apa yang sudah dilakukannya. Haji Fahri memeluk Dirman, berkali-kali berterima kasih sudah diingatkan.
“Bapak ini ketakutan, Dir, Bapak ketakutan,” kata Haji Fahri setelah memeluk Dirman. “Bapak ini takut anak-anak tidak hidup cukup rejekinya. Padahal soal rejeki sudah ada yang mengaturNya, tugas kita hanya mengusahakannya dengan sebersih-bersihnya. Padahal semakin Bapak tua, semakin yakin, dunia ini sementara, rejeki itu hanya titipan.”
Kang Alpan dan Dirman tidak banyak bicara melihat Haji Fahri menangis di hadapan mereka.
“Mengapa Bapak sampai gelap mata, menghalalkan segala cara, hanya karena ketakutan yang tidak berdasar itu. Bagaimana Bapak mesti bertobat, Kang Alpan?” kata Haji Fahri sambil menahan tangisnya. 
Tidak banyak yang dikatakan Kang Alpan dan Dirman. Mereka hanya berjanji, besok-lusa akan datang lagi. Mereka hanya menyampaikan, dan benar-benar tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
“Itulah hidup yang seimbang, Dir. Makanya beliau selalu berjalan dengan tangan yang satu ke depan dan yang satunya lagi ke belakang, biar selalu ingat dengan keseimbangan,” kata Kang Alpan ketika mereka pulang dari rumah Haji Fahri.
**

Berpuluh tahun kemudian, kabarnya semakin banyak orang desa Karang Tumaritis yang bertemu Semar. Termasuk Kang Alpan. Kenyataan itu yang membuat desa Karang Tumaritis terkenal. Kabar lisan dari mulut ke mulut, media cetak, internet, menjadikan desa Karang Tumaritis dikenal dunia.
Tentu saja banyak orang yang sengaja datang ke desa Karang Tumaritis. Karena kabar penduduk desa Karang Tumaritis sering bertemu Wali diikuti oleh prestasi yang luar biasa. Alamnya asri, indah, penduduknya ramah, gemar menolong, merasa bahagia dengan hidup bersih, dan beribadah menjadi keseharian mereka.
Organisasi massa, partai politik, para pejabat eksekutif, legislatif, perguruan tinggi, juga melakukan penelitian di desa Karang Tumaritis. Bertahun-tahun mereka melakukan berbagai cara untuk bertemu Wali. Apa yang dilakukan penduduk Karang Tumaritis ditirunya sesempurna mungkin.
           Tapi tidak seorang pun yang bertemu Wali. Ya, karena mereka tidak tahu, Wali selalu hadir di hati dan kesadaran penduduk Karang Tumaritis, bukan di dunia nyata. ***

Cerpen ini pernah tayang di Tribun Jabar 22 September 2019

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BERTEMU WALI"

Posting Komentar