PENGHUNI RUMAHKU


Dia datang tengah malam. Entah bagaimana caranya, entah kunci apa yang dipakainya, pintu belakang terbuka begitu saja. Lalu dia masuk dan duduk di meja makan. Senyumnya mengembang setelah membuka tudung saji. Mengambil piring di rak, menyiduk nasi di magicom, lalu begitu lahap menghabiskan opor ayam di mangkok.
Suara sendawanya begitu keras. Mangkok bekas opor ayam itu lalu diisi kolak pisang, langkahnya begitu meyakinkan ke tengah rumah seolah penghuni yang sudah bertahun-tahun tinggal. Remote televisi dipijitnya, suap kolak pisangnya lebih tenang karena kekenyangan, duduk menyandar di sofa dengan kaki selonjor ke meja.
Waktu itu aku sedang tugas ronda. Sendirian. Entah ke mana teman-teman yang malam ini kebagian jadwal. Kang Juhe, Ocim, Mang Asip, Pak Jejen, dipanggil-panggil di depan rumahnya tapi tidak ada jawaban. Aku berkeliling kampung beberapa kali. Kentungan dipukul lebih sering. Kadang juga tiang listrik dipukul bila sudah waktunya perpindahan jam.  
Harus diakui, tidak nyaman meronda sendirian. Membuat api unggun, membakar singkong sepohon pun tidak habis. Tidak ada suara-suara ramai saat makan singkong kepanasan. Tidak ada perbincangan tanpa arah dan tanpa tema. Tidak ada seruput kopi dan sedot rokok yang nikmat.  
Akhirnya aku melamun. Melayang-layang. Mengunjungi negara-negara sampai ke pelosok dunia. Akhirnya tamat juga meronda sampai subuh. Eh, sampai siang. Karena ketiduran, begitu bangun matahari sudah hangat membelai kulit wajah. Aku bangun, mengusap iler yang masih mengalir, memperhatikan sekeliling. Aman. Tidak seorang pun yang terlihat di sekitar situ. Api unggun sudah padam.
Segera aku pulang. Dia membuka pintu sebelum aku membuka kunci.
“Mau ke siapa?” katanya.
Tentu saja aku terkejut. Apa tidak salah? Kenapa dia bertanya begitu, aku ini kan pribumi.
“Ada keperluan apa, ya?” tanyanya lagi.
“Tidak perlu apa-apa. Aku pulang!” kataku kasar.
Dia berlalu ke dapur. Lalu terdengar suara orang menggoreng sesuatu. Waktu aku hampir ketiduran lagi saat melihat berita pagi televisi, di dapur terdengar yang sedang makan sambil berbincang. Suara decaknya begitu jelas terdengar. Lalu suara tawa membahan. Penasaran, aku mengintipnya. Ternya dia berdua. Entah dengan pacarnya, istrinya, atau siapanya? Ah, muak aku melihatnya.
Aku ke kamar dengan hati kesal. Pintu aku tutup dengan tenaga penuh. Suaranya begitu keras. Bruukk! Biar dia tahu aku tidak suka dengan kedatangannya. Lalu aku tidur.....
@@

Aku terbangun saat hari sudah siang. Perut terasa melilit. Lapar. Suara kerubuknya begitu jelas. Seperti biasa aku ke dapur, tudung saji dibuka, melihat lemari, membuka kulkas, sambil membayangkan akan makan apa kali ini. Betapa menyebalkannya saat melihat opor ayam tinggal wadahnya. Telor, tempe, sosis, ikan, sayuran, buah-buahan, rendang, pindang presto, kornet, nugget, pada ke mana?

Kulit telor, kaleng kornet, plastik sosis, kulit pisang, duri ikan, dan sampah lainnya, berserakan di lantai kotor, meja makan, rak piring, lemari makanan. Tentu saja hatiku seperti terbakar. Makhluk kurang ajar! Menghabiskan makanan, buang sampah sembarangan, setelah kenyang istirahat di kamar tamu.

Seluruh penghuni kebun binatang aku panggil dalam gerutuan, sambil pintu kututup sekerasnya, sampah kutendang sepuasnya. Tapi setelah puas meluapkan kekesalan, aku teringat lagi dengan perut yang semakin berbunyi. Mengganti baju, mengambil topi, sebaiknya aku ke Rumah Makan Padang. Waktu aku bercermin mengamati wajah yang takut masih kotor, berderit suara pintu kamar tamu dibuka. Dia menghampiriku dan memberikan selembar kertas.

“Ini daftar belanjaan. Di supermarket ada, di pasar tradisional juga banyak,” katanya sambil tersenyum. “Jangan lupa, pulangnya beli pepes ikan di warung Umi Hana  ya, belum tercatat di daftar.”           Aku bengong. Terkejut. Tidak mengira. Siapa sih dia? Kenapa begitu beraninya menyuruhku? Mau marah dengan perbendaharaan kata terkasar yang pernah ada, menunjuk-nunjuk hidungnya, malah sampai mengusir juga bisa saja; tidak kuat aku melakukannya karena hati begitu lemah dan kecewa. Bibir terkatup tidak bisa bicara. Napas memburu yang tertahan menandakan amarah yang sudah naik ke ubun-ubun.

Dia tersenyum, lalu masuk lagi ke kamar tamu, menutupnya begitu tenang, suara kunci diputar begitu jelas. Trek!

Aku keluar dari rumah dengan pikiran kacau. Di Rumah Makan Padang, malah terpana waktu ditanya nasi dengan ikan apa? Rendang dan sambal hijau seperti tidak berasa apa-apa. Beda dari biasanya, masakan Padang adalah pemuas lapar yang paling menyenangkan bagi saya.

Lalu belanja di super market. Pulangnya mampir ke warung nasi Umi Hana, memborong pepes ikan. Perasaanku tidak enak  bila tidak memenuhi pesanannya. Sampai di rumah dia sedang menonton televisi dengan wanita yang mungkin istrinya atau pacarnya atau hanya kenalannya.

“Belanjaannya langsung disimpan di kulkas ya. Pepes ikan di meja makan saja,” katanya.

Tidak ingin menjawab apapun. Aku ke dapur. Semua belanjaan aku masukkan ke kulkas, lemari, sampai penuh. Lalu ke kamar. Badan rasanya lebih nyaman terlentang di atas kasur. Waktu pintu dibuka, kenapa terkunci?

“Kamarnya yang itu, biasakan yang itu ya,” kata dia waktu aku terpana di depan pintu kamar. “Kamar itu biar buat si Sayang. Harus kamar yang lebih luas, nyaman, kan dia sudah merasa mual-mual sekarang, hamil...”

Wanita di sebelahnya tersenyum. Muak aku melihatnya. Lalu berlalu dan masuk ke kamar sebelah, kamar tamu.

@@

 

Sejak itu hidupku seperti layangan putus. Pulang kerja tidak langsung pulang ke rumah. Lebih nyaman nongkrong dulu di kafé atau warung kopi. Setelah malam baru pulang. Rumah semakin berantakan. Dia dan wanita yang entah istrinya atau pacarnya atau hanya kenalannya itu, makan dan buang sampah di mana saja.

Di ruangan depan sambil nonton televisi, di teras rumah, di dapur; dan tidak pernah mau beres-beres. Lalat kemudian datang menyambut tempat sampah baru. Dia sendiri tidak pernah lagi menyapaku. Seperti yang tidak kenal sama sekali. Walau satu rumah. Dia hanya memberikan kertas daftar belanjaan bila makanan di kulkas dan lemari sudah kosong. Besoknya pulang kerja aku belanja. Perasaanku, lebih enak seperti itu dibanding harus ada pembicaraan dengannya walau satu kata.

Hari Minggu hatiku lebih tenang. Mungkin karena aku mulai menerima kehadiarannya apa adanya. Aku rasa lebih baik jogging, olah raga sekalian menikmati suasana luar rumah. Tapi saat peregangan, aku malah terpana melihat halaman rumah. Taman tidak terurus. Dulu bunga-bunga yang tumbuh dan mekar di halaman jadi pujian orang-orang yang lewat. Bunga bakung merah dan putih berjajar membatasi pinggir halaman. Bunga dahlia anggun di tengah seperti seorang putri. Kemuning berbunga di pot-pot besar, harumnya menyebar ke mana- mana. Sekarang bebungaan itu berebut tempat dengan rumput-rumput liar.  

Pulang jogging, setelah istirahat di teras sambil minum jus jeruk, begitu saja tangan ini mencabuti rerumputan yang sudah tinggi. Dari dulu aku memang hobi berkebun. Dulu, setiap teman yang bertamu selalu memuji taman halaman ini. Mereka kira tangan tukang kebun yang menatanya. Padahal aku sendiri yang menggambar sampai mengerjakannya.

Sekarang pun yang ada di pikiranku menata kembali taman yang lama ditelantarkan. Tapi saat sedang mencabuti rerumputan, dia keluar dari rumah. Wanita yang mungkin istrinya atau pacarnya atau hanya kenalannya yang mengikuti di belakangnya, perutnya sudah membuncit.

“Menata halaman itu jangan seperti ini,” kata dia sambil mencabuti kembang bakung. “Ini kemauan jabang bayi di dalam perut itu, pepohonannya kita ganti.”

Dia lalu menanam pohon kiara, beringin, alang-alang, bambu kecil, cerry, dan entah pohon apa lagi. Pastinya halaman menjadi gelap menyeramkan dengan pepohonan seperti itu. Tapi aku malah diam. Mulutku terkunci. Sebagai pernyataan ketidaksetujuanku, aku masuk ke dalam rumah.

Benar saja, tidak begitu lama menunggu, halaman rumahku jadi menyeramkan. Bila senja tiba, apalagi malam, tidak ada yang berani lewat di depan rumahku. Apalagi suatu hari dia menanam ular setengah karung. Ular hijau dan sanca melingkar di dahan dan dedaunan. Ular belang, kobra, mengintip di dedaunan kering. Hari lain dia menanam sepasang buaya sebesar pohon pisang.

“Ini keinginan jabang bayi, jangan dilarang-larang,” kata dia.

Aku tidak menanggapi. Kekesalan di dalam hati tidak lagi mangkel sebesar mangga, tapi sudah membesar menyamai kerbau.

@@

 

Setiap bercermin aku mengeluh. Badan semakin ringkih. Mata semakin kusam. Wajah pucat. Gurat-gurat ketuaan datang sebelum waktunya.

Pulang kerja aku tidak lagi mampir di kafe atau warung kopi. Tapi suka pergi ke pantai, karena ingin meneriakkan kesumpekan ke tengah laut. Sepuasnya. Sekerasnya. Di pantai pastinya tidak akan ada yang terganggu dengan kesumpekanku. Setelah puas dan lelah berteriak, lalu melamun sambil menatap ombak bergulung-gulung, datang tak pernah berhenti.

“Kok, melamun di tempat sepi begini?” kata sebuah suara dari belakang.

Tentu saja aku terkejut. Kang Iman berdiri di belakang sambil tersenyum. Lalu ikut duduk di sebelahku. Kang Iman ini sahabatku sejak kecil. Selalu mengajak bermain dan membimbing karena Kang Iman lebih tua tiga tahun dariku.

“Beginilah Kang, hidupku sepertinya sudah lelah dan bosan,” kataku seenaknya.

“Huss! Ngomong asal saja.”

“Hidupku sudah tidak merdeka, Kang. Seperti terjajah!”

“Dijajah siapa?”

“Ya, yang menghuni rumahku. Keinginanku begini, kemauannya begitu. Aku hanya sekedar pesuruh. Banyak keinginanku yang tidak terlaksana karena dia melarang. Banyak kelakuan yang terpaksa dikerjakan karena dia menginginkan begitu.”

“Akang ini kan selain sahabat, adalah tetanggamu. Di rumahmu tidak ada siapa-siapa. Makanya cepat berkeluarga. Cepat tenangkan hati dan pikiran.”  

“Akang belum pernah melihat yang menghuni rumahku? Dia yang membuat halaman rumahku gelap dan menyeramkan. Dia yang membuat sekeliling rumahku seperti tempat sampah.”

“Pulang saja sekarang. Tenangkan pikiran. Tenangkan hati.”

@@

 

Sampai di rumah aku membuka-buka pintu, jendela, kaca nako, gorden, kamar-kamar. Betul saja, ternyata tidak ada siapa-siapa. Tapi sampah tetap berserakan di mana-mana. Lalat berpesta dan terbang ke mana-mana. Halaman rumah tetap gelap dan menyeramkan.

Terkejut waktu aku bercermin. Wajah pias sudah berubah. Ringkih, keriput, sedih, sakit, sudah tidak tampak lagi. Kulit pipi begitu kencang dan berseri-seri. Mataku begitu cemerlang. Senyumku begitu manis. Sepertinya ini bukan aku. Ya, karena aku yang di dalam badan tetap sakit. Tetap penuh keluh dan nelangsa.

Celaka, dia dan wanita yang mungkin istrinya atau pacarnya atau malah hanya kenalannya itu, yang selalu berlaku memuakkan itu, yang menghuni rumahku itu; sepertinya sudah pindah. Sekarang mereka sepertinya menghuni pikiran dan hatiku.

Siapa tahu sudah beranak-pinak.

 @@@

 

Pamulihan, 16-17 Desember 2018

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENGHUNI RUMAHKU"

Posting Komentar