PENGHUNI RUMAHKU
Aku terbangun
saat hari sudah siang. Perut terasa melilit. Lapar. Suara kerubuknya begitu
jelas. Seperti biasa aku ke dapur, tudung saji dibuka, melihat lemari, membuka
kulkas, sambil membayangkan akan makan apa kali ini. Betapa menyebalkannya saat
melihat opor ayam tinggal wadahnya. Telor, tempe, sosis, ikan, sayuran, buah-buahan,
rendang, pindang presto, kornet, nugget, pada ke mana?
Kulit telor,
kaleng kornet, plastik sosis, kulit pisang, duri ikan, dan sampah lainnya,
berserakan di lantai kotor, meja makan, rak piring, lemari makanan. Tentu saja
hatiku seperti terbakar. Makhluk kurang ajar! Menghabiskan makanan, buang
sampah sembarangan, setelah kenyang istirahat di kamar tamu.
Seluruh penghuni
kebun binatang aku panggil dalam gerutuan, sambil pintu kututup sekerasnya,
sampah kutendang sepuasnya. Tapi setelah puas meluapkan kekesalan, aku teringat
lagi dengan perut yang semakin berbunyi. Mengganti baju, mengambil topi,
sebaiknya aku ke Rumah Makan Padang. Waktu aku bercermin mengamati wajah yang
takut masih kotor, berderit suara pintu kamar tamu dibuka. Dia menghampiriku
dan memberikan selembar kertas.
“Ini daftar belanjaan. Di supermarket ada, di pasar tradisional juga banyak,” katanya sambil tersenyum. “Jangan lupa, pulangnya beli pepes ikan di warung Umi Hana ya, belum tercatat di daftar.” Aku bengong. Terkejut. Tidak mengira. Siapa sih dia? Kenapa begitu beraninya menyuruhku? Mau marah dengan perbendaharaan kata terkasar yang pernah ada, menunjuk-nunjuk hidungnya, malah sampai mengusir juga bisa saja; tidak kuat aku melakukannya karena hati begitu lemah dan kecewa. Bibir terkatup tidak bisa bicara. Napas memburu yang tertahan menandakan amarah yang sudah naik ke ubun-ubun.
Dia tersenyum,
lalu masuk lagi ke kamar tamu, menutupnya begitu tenang, suara kunci diputar
begitu jelas. Trek!
Aku keluar dari
rumah dengan pikiran kacau. Di Rumah Makan Padang, malah terpana waktu ditanya
nasi dengan ikan apa? Rendang dan sambal hijau seperti tidak berasa apa-apa.
Beda dari biasanya, masakan Padang adalah pemuas lapar yang paling menyenangkan
bagi saya.
Lalu belanja di
super market. Pulangnya mampir ke warung nasi Umi Hana, memborong pepes ikan.
Perasaanku tidak enak bila tidak memenuhi
pesanannya. Sampai di rumah dia sedang menonton televisi dengan wanita yang
mungkin istrinya atau pacarnya atau hanya kenalannya.
“Belanjaannya
langsung disimpan di kulkas ya. Pepes ikan di meja makan saja,” katanya.
Tidak ingin
menjawab apapun. Aku ke dapur. Semua belanjaan aku masukkan ke kulkas, lemari,
sampai penuh. Lalu ke kamar. Badan rasanya lebih nyaman terlentang di atas
kasur. Waktu pintu dibuka, kenapa terkunci?
“Kamarnya yang
itu, biasakan yang itu ya,” kata dia waktu aku terpana di depan pintu kamar.
“Kamar itu biar buat si Sayang. Harus kamar yang lebih luas, nyaman, kan dia
sudah merasa mual-mual sekarang, hamil...”
Wanita di
sebelahnya tersenyum. Muak aku melihatnya. Lalu berlalu dan masuk ke kamar
sebelah, kamar tamu.
@@
Sejak itu hidupku
seperti layangan putus. Pulang kerja tidak langsung pulang ke rumah. Lebih
nyaman nongkrong dulu di kafé atau warung kopi. Setelah malam baru pulang.
Rumah semakin berantakan. Dia dan wanita yang entah istrinya atau pacarnya atau
hanya kenalannya itu, makan dan buang sampah di mana saja.
Di ruangan depan
sambil nonton televisi, di teras rumah, di dapur; dan tidak pernah mau
beres-beres. Lalat kemudian datang menyambut tempat sampah baru. Dia sendiri
tidak pernah lagi menyapaku. Seperti yang tidak kenal sama sekali. Walau satu
rumah. Dia hanya memberikan kertas daftar belanjaan bila makanan di kulkas dan
lemari sudah kosong. Besoknya pulang kerja aku belanja. Perasaanku, lebih enak
seperti itu dibanding harus ada pembicaraan dengannya walau satu kata.
Hari Minggu
hatiku lebih tenang. Mungkin karena aku mulai menerima kehadiarannya apa
adanya. Aku rasa lebih baik jogging, olah raga sekalian menikmati suasana luar
rumah. Tapi saat peregangan, aku malah terpana melihat halaman rumah. Taman
tidak terurus. Dulu bunga-bunga yang tumbuh dan mekar di halaman jadi pujian
orang-orang yang lewat. Bunga bakung merah dan putih berjajar membatasi pinggir
halaman. Bunga dahlia anggun di tengah seperti seorang putri. Kemuning berbunga
di pot-pot besar, harumnya menyebar ke mana- mana. Sekarang bebungaan itu
berebut tempat dengan rumput-rumput liar.
Pulang jogging,
setelah istirahat di teras sambil minum jus jeruk, begitu saja tangan ini
mencabuti rerumputan yang sudah tinggi. Dari dulu aku memang hobi berkebun. Dulu,
setiap teman yang bertamu selalu memuji taman halaman ini. Mereka kira tangan
tukang kebun yang menatanya. Padahal aku sendiri yang menggambar sampai
mengerjakannya.
Sekarang pun yang
ada di pikiranku menata kembali taman yang lama ditelantarkan. Tapi saat sedang
mencabuti rerumputan, dia keluar dari rumah. Wanita yang mungkin istrinya atau
pacarnya atau hanya kenalannya yang mengikuti di belakangnya, perutnya sudah
membuncit.
“Menata halaman
itu jangan seperti ini,” kata dia sambil mencabuti kembang bakung. “Ini kemauan
jabang bayi di dalam perut itu, pepohonannya kita ganti.”
Dia lalu menanam
pohon kiara, beringin, alang-alang, bambu kecil, cerry, dan entah pohon apa
lagi. Pastinya halaman menjadi gelap menyeramkan dengan pepohonan seperti itu. Tapi
aku malah diam. Mulutku terkunci. Sebagai pernyataan ketidaksetujuanku, aku
masuk ke dalam rumah.
Benar saja,
tidak begitu lama menunggu, halaman rumahku jadi menyeramkan. Bila senja tiba,
apalagi malam, tidak ada yang berani lewat di depan rumahku. Apalagi suatu hari
dia menanam ular setengah karung. Ular hijau dan sanca melingkar di dahan dan dedaunan.
Ular belang, kobra, mengintip di dedaunan kering. Hari lain dia menanam
sepasang buaya sebesar pohon pisang.
“Ini keinginan
jabang bayi, jangan dilarang-larang,” kata dia.
Aku tidak
menanggapi. Kekesalan di dalam hati tidak lagi mangkel sebesar mangga, tapi
sudah membesar menyamai kerbau.
@@
Setiap bercermin
aku mengeluh. Badan semakin ringkih. Mata semakin kusam. Wajah pucat. Gurat-gurat
ketuaan datang sebelum waktunya.
Pulang kerja aku
tidak lagi mampir di kafe atau warung kopi. Tapi suka pergi ke pantai, karena
ingin meneriakkan kesumpekan ke tengah laut. Sepuasnya. Sekerasnya. Di pantai
pastinya tidak akan ada yang terganggu dengan kesumpekanku. Setelah puas dan
lelah berteriak, lalu melamun sambil menatap ombak bergulung-gulung, datang tak
pernah berhenti.
“Kok, melamun di
tempat sepi begini?” kata sebuah suara dari belakang.
Tentu saja aku
terkejut. Kang Iman berdiri di belakang sambil tersenyum. Lalu ikut duduk di
sebelahku. Kang Iman ini sahabatku sejak kecil. Selalu mengajak bermain dan membimbing
karena Kang Iman lebih tua tiga tahun dariku.
“Beginilah Kang,
hidupku sepertinya sudah lelah dan bosan,” kataku seenaknya.
“Huss! Ngomong
asal saja.”
“Hidupku sudah
tidak merdeka, Kang. Seperti terjajah!”
“Dijajah siapa?”
“Ya, yang
menghuni rumahku. Keinginanku begini, kemauannya begitu. Aku hanya sekedar
pesuruh. Banyak keinginanku yang tidak terlaksana karena dia melarang. Banyak
kelakuan yang terpaksa dikerjakan karena dia menginginkan begitu.”
“Akang ini kan
selain sahabat, adalah tetanggamu. Di rumahmu tidak ada siapa-siapa. Makanya
cepat berkeluarga. Cepat tenangkan hati dan pikiran.”
“Akang belum
pernah melihat yang menghuni rumahku? Dia yang membuat halaman rumahku gelap
dan menyeramkan. Dia yang membuat sekeliling rumahku seperti tempat sampah.”
“Pulang saja
sekarang. Tenangkan pikiran. Tenangkan hati.”
@@
Sampai di rumah
aku membuka-buka pintu, jendela, kaca nako, gorden, kamar-kamar. Betul saja,
ternyata tidak ada siapa-siapa. Tapi sampah tetap berserakan di mana-mana.
Lalat berpesta dan terbang ke mana-mana. Halaman rumah tetap gelap dan
menyeramkan.
Terkejut waktu
aku bercermin. Wajah pias sudah berubah. Ringkih, keriput, sedih, sakit, sudah
tidak tampak lagi. Kulit pipi begitu kencang dan berseri-seri. Mataku begitu
cemerlang. Senyumku begitu manis. Sepertinya ini bukan aku. Ya, karena aku yang
di dalam badan tetap sakit. Tetap penuh keluh dan nelangsa.
Celaka, dia dan
wanita yang mungkin istrinya atau pacarnya atau malah hanya kenalannya itu, yang
selalu berlaku memuakkan itu, yang menghuni rumahku itu; sepertinya sudah
pindah. Sekarang mereka sepertinya menghuni pikiran dan hatiku.
Siapa tahu sudah
beranak-pinak.
@@@
Pamulihan, 16-17 Desember 2018
0 Response to "PENGHUNI RUMAHKU"
Posting Komentar